Tuesday, February 24, 2009

Mencoba Menguak Fenomena Alay (Not a Kind of Discrimination, Just Resolving the Conception)

*Sebelumnya gw minta maaf yang sebesar-besarnya, yang sebanget-bangetnya. Mungkin bakal ada - atau banyak- yang tersinggung dengan tulisan gw ini. Gw cuma mau ngingetin, apapun yang gw tulis di blog, semua murni pendapat dan pandangan gw (kecuali tentang "Politik" yang emang melalui riset dan penelitian..hehe). Jadi khusus untuk topik ini, gw banyak menyinggung masalah yang sensitif buat sebagian orang, terutama bagi yang merasa disebut. Kalo emang pada akhirnya, Anda yang merasa tersinggung itu, ngerasa dendam ato marah sama gw...no problem kok. Gw nulis topik ini dengan penuh kesadaran dan tau resikonya bagi mereka yang ngerasa tersinggung. Thank you buat perhatiannya



haiYyy, pa kaBar?? naMa Quw d@nDy. BoL3h keNalaN n69a???
BaLess YuPzZZzzz..... ^_^

Familiar dengan gaya penulisan kalimat seperti ini?
Pernah menerima SMS seperti ini?
Atau bahkan sering menggunakan gaya penulisan seperti ini?

Well, belakangan gaya penulisan kaya gini didiagnosa sebagai pengidap sindrom 'alay' (yang entah kenapa, istilah ini semakin menjamur pada tahun 2007 dan 2008).
Gw juga ga tau darimana asal muasal kata 'alay' itu ditemukan. Gw cuma tau bahwa pada mulanya Alay itu adalah sebuah akronim dari ANAK LAYANGAN. Kalo soal konsep anak layangan itu jadi bergeser belakangan ini...ya itu yang mau gw bahas di sini.
Yang jelas, definisi 'alay' sendiri sebenernya masih dalam struktur yang bias, kendati mungkin orang-orang secara commonsense udah bisa nge-vonis orang lain sebagai 'alay'. Bias terutama dalam segi kriteria dan batas-batas kriteria tersebut.
Kalo dari gw sendiri, alay merupakan kelompok marjinal (terutama dalam segi budaya), tapi memiliki strong willing untuk dianggap tidak lagi terpinggirkan. Yang terjadi kemudian, mereka kejebak dalam situasi dan usaha to be considered cool, yang akhirnya justru ngebuat mereka jadi makin ter-marjinalisasi kaya sekarang. (sok-sok an pake bahasa norak, yang ada malah ribet dan muter-muter).
Artinya gini..sejak awal mereka udah terdiskriminasi, tergencet dan terdoktrin oleh pikiran bahwa "anak muda harus punya gaya sendiri, harus gaul, harus ngerti semua tentang musik... That are the main things to be pretended as equal as the Jakarta's Boy that is cool, etc". Untuk itu, mereka ngerasa harus beradaptasi dengan budaya yang berkembang di tengah kalangan anak-anak 'gaul' pada masa itu. tapi entah, mungkin karena kesalahan intepretasi dan hal-hal lainnya, adaptasi itu gagal..dan makin memperlebar jurang pemisah antara mereka yang disebut 'alay', dan mereka yang tidak disebut demikian.
Hehe, masih njelimet ya? Oke gini deh....masih inget kehidupan remaja sekitar taun....2003-an?
Pernah ga lo liat alay (sesuai definisi dan konsep lo) zaman dulu? Pernah kan? Pasti pernah dong?? (maksa). Nah, apa alay zaman dulu itu bisa diidentifikasi (lagi-lagi, dengan definisi dan konsep lo) segampang sekarang? kalo tebakan gw bener....jawabannya, ga segampang itu. Mungkin emang tetep udah terklasifikasi kaya gitu di dalem image lo, tapi klasifikasi itu ga segampang sekarang kan?
Seinget gw, yang termasuk dalam golongan alay yang 'mudah untuk diklasifikasi' hanya mereka yang suka jongkok di pinggiran jalan, beberapa berambut merah, sambil kadang gonjrang-ganjreng gitar. Pas masa itu, klasifikasi itu masih sempit. Lain dengan sekarang yang kayanya konsep dan klasifikasi 'alay' itu udah mengalami generalisasi besar-besaran.
Apa sih yang sebenernya terjadi dalam kurun waktu kurang lebih 6 tahun itu (2003-2009)? Kenapa gelombang alay itu nge-trend banget sekarang? Kenapa mereka yang disebut 'alay' jadi makin terklasifikasi dalam struktur vertikal, dan bahkan menjurus ke diskriminasi?
Jujur, gw ga bisa ngasih jawaban pasti. Perlu ada penelitian khusus untuk itu (dan gwpun ngga/sedang ngga berminat untuk bikin penelitian mendalam dengan tema ini). Yang bisa gw jawab sekarang cuma berdasarkan asumsi gw semata.

Dan inilah asumsi gw itu :
Seperti yang gw bilang tadi, sejak awal mereka udah jadi kaum marjinal. Sejak kita menggolongkan mereka yang nongkrong dan berambut merah sebagai kaum sendiri. Sejak kita menuding mereka yang punya tampang rada pas-pasan dengan dandanan culun (maaf... gw sendiri juga ga ngerasa kegantengan dan stylish kok. Hanya cowo dengan muka dan dandanan biasa-biasa aja), mungkin dengan ditambahkan kata 'dekil', sebagai "anak kampung" (sekali lagi maaf, no mean to offense some classes).
Hal-hal macem gitulah yang bikin mereka jauh sejak dahulu sebenernya udah ngerasa terpinggirkan dan terdiskriminasi. Seakan mereka udah tergabung dalam sebuah kelompok yang pasti akan selalu di-nomorduakan, menerima caci-maki dan ejekan dari kebanyakan anak-anak Jakarta dan kota besar lainnya.
Lantas apa? Beberapa dari mereka punya dorongan untuk bisa diterima dengan sejajar sebagai bagian dari anak kota besar yang 'gaul'. Mungkin 'gaul' bukan padanan kata yang tepat juga sih...hemmmm, gw sendiri masih bingung nyari kata yang tepat itu. Tapi semoga lo ngertilah maksud gw (keahlian utama gw...melemparkan sebuah wacana, tanpa bertanggung jawab! haha)
Di saat zaman-zaman anak muda lain lagi ngetrend dengan baju-baju distro, mereka juga ga mau ketinggalan. Di saat musik emo lagi heboh-hebohnya, mereka juga harus ngerasa sebagai penggila dan pengidap akut musik emo. Alhasil, segala yang berbau distro dan segala yang berbau emo kerapkali jadi tolok ukur mereka untuk bisa dibilang keren.
Ngga heran kalo kemudian kita bisa mendeskripsikan orang-orang berambut 'poni lempar' ala emo (tapi 'poni lemparnya' harus lebay) sebagai seoarang alay. Bahkan juga ga cukup dengan 'poni lempar', terkadang ada juga yang dimerahin, atu di-blond cuma di bagian poninya aja. Udah gitu orangnya dekil, etc. Nah, makin kloplah kalo definisi alay dilekatkan kepada mereka.
Atau...barangkali banyak juga yang kemudian menilai alay berdasarkan merk baju, tas, dll? Temen gw pernah bilang sama gw : "Alay sekarang tuh pasti baju, tas, sama jaketnya banyak banget yang make merk B*ackID, atau Pr*shop!". Waw, apa emang demikian betulnya sampe-sampe merk clothing udah bisa dimasukkin sebagai unsur definitif alay?
Kalo gw simpulkan hanya dari dua kondisi itu, berarti orang yang berambut emo dan make clothing dengan merk di atas udah sangat mutlak didefiniskan sebagai alay dong? Hoo, terus terang gw juga makin mumet dengan konsep pemikiran kaya gini. Kenapa? Karena menurut gw cukup banyak orang yang punya style kaya gitu, tapi masih belum bisa masuk dalam alay kriteria gw. Entah kenapa, buat gw semua batas itu masih bias. Serba blur...
Lalu gimana dengan konsep bahasa mereka dalam sms? Terus terang, ada beberapa dari temen yang make gaya pengetikan kaya gitu dalam sms. Dan gw kerapkali harus mengeluarkan argumentasi defensif bahwa mereka bukan alay. Bahkan salah satu dari mereka adalah temen gw sejak kecil, dan gw tau banget kalo dia bukan alay-alay gitu. Terus kenapa kemudian gaya bahasa itu identik dengan alay? Karena toh gw yakin bahwa ada 'alay-alay sungguhan' (istilah dari mana coba?) yang ga harus menulis gaya bahasa kaya gitu dalam komunikasi mereka.
Intinya, dari semua tulisan gw yang njelimet di atas...gw berusaha untuk memaparkan semua kondisi dan permasalahan utama dalam kategoriasasi alay. Ya, masalah bias batas. Namun, pada akhir-akihrnya...gw masih aja cuma berkutat dengan satu ciri dan ciri lainnya, yang akhirnya ga bisa ngebawa gw menuju jawaban yang empiris tentang...bagaimana kategorisasi alay itu scara tepatnya. Karena,masih menurut gw, pada akhirnya emang cuma commonsense aja yang bisa bikin kita nunjuk seseorang sebagai alay. Toh pada akhirnya beberapa orang yang kita tunjuk dan maki ini istilah 'alay' ini keki berat dan ga ngerasa bahwa mereka bagian dari kelompok itu. Lalu kenapa istilah ini kemudian merujuk jadi konotasi negatif yang kemudian menggeneralisir? Sebelumnya gw udah bilang, untuk penelitian masalah ini ga bisa cuma dengan pengalamn sehari-hari doang. Perlu ada penelitian dan riset sendiri (dan sekali lagi gw tegaskan, gw ga minat meluangkan waktu untuk bikin penelitian macem begini!). Barangkali, ada yang berminat untuk ngasih pandangan lain?

2 comments:

  1. Setuju banget!, generalisasi dalam kata alay udah melenceng jauh. contohnya : Pee Wee Gaskins, band spesialis pensi (walaupun gue ga begitu suka)yang dicap sebagai band alay. memang band itu memiliki attitude yg buruk. tapi apa attitude itu sekarang masuk dalam klasifikasi alay? salah banget menurut gue. dan yg lebih parah, style mereka disebut alay jg (style distro seperti punya Dropdead)? bingung gue, apa anak layangan bisa beli baju distro yg harganya 80rb ? atau malah dropdead yg 200rb?. generasi yg melenceng jauh bgt menurut gue. Alay teriak alay jdnya

    ReplyDelete
  2. mungkin ada baiknya bila fenomena alay dihubungkan dengan budaya pop yang menuding media elektronik/maya/cetak sebagai penyebab lahirnya "komunitas" ini. Namun saya setuju bila terjadi generalisasi istilah alay yang tidak lagi merujuk pada cara berpakaian dan bahasa, namun lebih luas kepada tingkat ekonomi yang malah makin memarjinalkan kelas tertentu. Akan sangat mengerikan apabila istilah "alay" menjadi semacam jurang pemisah dan lahirnya kesenjangan sosial yang lebih luas

    ReplyDelete