Monday, February 23, 2009

Menuju Jalan Indonesia yang Demokratis dengan Reformasi Konstitusi

*Essay ini ditulis dalam rangka pengumpulan tugas untuk mata kuliah Sistem Politik Indonesia. Sebuah mata kuliah yang dibimbing oleh Eep Saefulloh Fattah. Oleh karena itu, essay ini ditujukan untuk beliau dan Anda Sekalian. Semoga berkenan! Terima Kasih



Reformasi Konstitusi dianggap sebagai sebuah langkah yang fundamental di dalam proses demokratisasi sebuah negara. Kenapa? Karena konstitusi biasanya terbentuk di dalam sebuah konteks waktu tersendiri, dan sesuai dengan perkembangan zaman di saat konstitusi itu dirancang. Hal ini berdampak langsung bagi sebuah negara, sehingga konstitusi merupakan sesuatu yang dinamis, dan mempunyai konteks yang sama seiring perkembangan zaman.. Tidak jarang konstitusi yang disusun hanya mewakili sejumlah kelompok kepentingan tertentu. Bahkan terkadang konstitusi dipersiapkan dalam sebuah ketergesa–gesaan dan waktu yang singkat, karena didesak oleh momentum pendeklarasian kemerdekaan sebuah negara. Hal ini terutama berlaku untuk negara – negara bekas jajahan, dan juga termasuk Indonesia. Oleh karena itulah, reformasi konstitusi dipandang sebagai sebuah cara yang dinamis bagi sebuah negara untuk melakukan sebuah perubahan yang mendasar, terutama yang berhubungan dengan sistem pemerintahan negara itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan proses reformasi konstitusi yang diharapkan mampu menjadi katalisator bagi proses demokratisasi di Indonesia? Bagaimana pula dengan prospeknya di masa mendatang? Saya sendiri mencoba menjelaskannya dengan membandingkan dua proses reformasi konstitusi yang sudah maupun sedang berjalan di Indonesia, lalu menggunakan satu negara pembanding ( Venezuela ), yang saya rasa sudah cukup efektif melaksanakan proses reformasi konstitusi dalam sebuah tahapan transisi demokrasi. Adapun perbandingan itu akan digunakan untuk menggali kelemahan yang terjadi dalam proses reformasi konstitusi Indonesia, dan mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Indonesia sendiri -paska Reformasi 1998- sedang mengalami proses redemokratisasi, setelah proses demokratisasi pertama berjalan pada era Demokrasi Parlementer 1950-1959. Kedua masa ini ditandai dengan upaya reformasi konstitusi UUD 1945. Reformasi konstitusi pada era demokrasi parlementer gagal, disebabkan oleh beberapa hal yang akan saya sebut belakangan.



Sejak awal, UUD 1945 yang dipersiapkan oleh tim BPUPKI dan PPKI merupakan konstitusi yang bersifat sementara dan kilat.[1] Oleh karena itu, Soekarno membentuk sebuah Dewan Konstituante pada tahun 1956 dan diketuai Wilopo.[2] Menurut saya, pembentukan sebuah dewan khusus untuk menangani reformasi konstitusi merupakan sebuah langkah yang tepat, utamanya dewan itu merupakan perwakilan dari partai-partai politik yang dianggap sebagai representasi masyarakat Indonesia. Namun pada kenyataannya, dewan ini dianggap kurang serius dalam melakukan penggarapan konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Masalah yang kerapkali terjadi adalah jumlah anggota yang hadir pada setiap rapat, selalu tidak memenuhi kuorum. Masalah berikutnya, umur negara Indonesia sendiri yang waktu itu baru genap berusia sepuluh tahun, sehingga belum memiliki dasar dan landasan negara yang kuat. Seringkali di dalam Dewan Konstituante terjadi pertentangan yang berlarut- larut antara partai dari kalangan Islam dan partai kalangan nasionalis. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Sri Soemantri, mantan anggota Dewan Konstituante, bahwa pembahasan mengenai pasal-pasal yang berhubungan dengan HAM selalu lebih cepat mencapai konsensus dibandingkan dengan pembahasan mengenai dasar negara.[3] Kedua hal inilah yang menyebabkan kinerja Dewan Konstituante selalu berlarut – larut dan selalu gagal untuk menyusun sebuah UUD yang baru. Bahkan pada akhirnya mereka selalu mengeluarkan wacana untuk kembali pada UUD 1945, dengan tiga kali melakukan voting.[4] Soekarno sendiri akhirnya tidak sabar dengan kinerja Dewan yang dinilai tidak menghasilkan apa – apa, lalu dengan resmi membubarkan dewan ini melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Proses demokratisasi Indonesia yang pertama terhenti pada fase reformasi konstitusi, dan Indonesia masuk kepada era non-demokratis pada masa Demokrasi Terpimpin.



Proses demokratisasi yang kedua dimulai paska reformasi 1998, dan masih berlanjut hingga saat ini. Terdapat beberapa perbedaan proses reformasi konstitusi pada masa ini dibandingkan pada masa Demokrasi Parlementer. Perbedaan yang utama dan sangat mencolok di sini adalah mengenai lembaga yang berwewenang dalam melakukan reformasi tersebut. Apabila Dewan Konstituante mempunyai wewenang untuk melakukan reformasi pada masa terdahulu, kini wewenang itu diemban oleh MPR. Sayangnya, penetapan MPR sebagai lembaga yang berwewenang tersebut, dianggap tidak cukup untuk mewakili masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dalam melakukan perancangan UUD yang notabene menyangkut keseluruhan hak dan kewajiban rakyat. Belum lagi apabila ditambahkan dengan argumentasi yang dilontarkan oleh Bahtiar Effendy di dalam tulisannya “Reformasi Konstitusi Sebagai Prasyarat Demokratisasi : Pengalaman Indonesia”, bahwa timbul kesan reformasi konstitusi harus disesuaikan dengan langgam dan kepentingan kerja lembaga berwewenang tersebut ( MPR ).[5] Perbedaan yang berikutnya menyangkut hasil yang diperoleh sejauh reformasi konstitusi dilakukan. Pada masa ini, hasil yang diperoleh bisa dibilang lebih baik dibandingkan dengan proses reformasi konstitusi sebelumnya. Sudah empat kali amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan ( sementara reformasi konstitusi pada era Demokrasi Parlementer menghasilkan tiga buah amandeman ). Substansi yang diubah di dalam reformasi konstitusi kedua ini juga lebih menyeluruh, dan lebih memberikan definisi dan pembatasan yang jelas terhadap tiga lembaga pemerintah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kendati demikian, bukan berarti amandemen yang dilakukan telah tepat sasaran. Salah satu contohnya adalah penggunaan prinsip bikameral pada lembaga legislatif. Konsep bikameral ini ditengarai sebagai solusi jalan tengah di antara kubu yang menghendaki perubahan bentuk negara menjadi federal (sehingga kepentingan daerah lokal dapat tersalurkan), dan kubu yang tetap menghendaki Indonesia untuk berdiri sebagai sebuah negara kesatuan.[6] Pada akhirnya reformasi konstitusi di era ini juga belum berlangsung dengan sempurna. Salah satu hal cukup mendasar yang juga saya amati adalah perihal sosialisasi amandemen itu sendiri. Mengenai sosialisasi tersebut, akan menjadi sebuah poin tersendiri yang akan saya bahas lebih mendalam pada kesimpulan tulisan ini.



Tentu akan kurang baik apabila saya merangkum dan memberikan kesimpulan mengenai reformasi konstitusi, tanpa memaparkan bagaimana bentuk reformasi ini yang sudah cukup berhasil dilaksanakan di sebuah negara. Dalam konteks negara ini, saya cukup tertarik untuk menggunakan negara Venezuela sebagai salah satu contoh umum.



Sebelum masuk kepada pembahasan mengenai reformasi konstitusi dan transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia, saya ingin memaparkan tiga cara dilaksanakannya reformasi konstitusi yang dikemukakan oleh I Made Leo Wiratma.[7] Ketiga cara tersebut adalah Amandemen yang berarti langkah penyempurnaan terhadap pasal – pasal tertentu dari konstitusi tanpa mengubah ketentuan aslinya.[8] Kemudian yang kedua adalah perubahan, yaitu langkah yang mengubah pasal – pasal tertentu dari konstitusi, bahkan terhadap substansinya sekalipun.[9] Cara yang terakhir adalah penggantian konstitusi secara keseluruhan.[10]

Venezuela sendiri mengalami reformasi pada tahun 1998. Aktivis politik Hugo Chavez ( selanjutnya menjadi presiden ), kerapkali mengkampanyekan sebuah langkah reformasi konstitusi dalam rangka pembentukan negara Venezuela yang lebih demokratis, setelah mengalami desakralisasi pemerintahan. Pada tahun 1999, referendum dilemparkan kepada masayarakat, untuk mengetahui seberapa jauh keperluan masyarakat membentuk sebuah Majelis Konstituante dalam wacana pembuatan kembali konstitusi Venezuela. Referendum disetujui, dan kemudian langsung diadakan pemilihan anggota masyarakat yang akan duduk di dalam majelis tersebut. Dengan demikian, Majelis Konstituante resmi terbentuk dan terpilih anggotanya pada 25 Juli 1999.[11] Majelis ini melibatkan partisipasi dari masyarakat terbawah sekalipun melalui diskusi, untuk membantu dalam menyusun konstitusi yang dinilai mewakili hak dan kewajiban rakyat. Hebatnya, pada bulan Desember, konstitusi yang baru ( diberi nama Konstitusi 1999 ) sudah terbentuk dan menggantikan Konstitusi 1961.[12] Substansi yang dikandungpun juga pada akhirnya berbeda samasekali dengan Konstitusi 1961, dan benar-benar menjadi sebuah konstitusi yang dibutuhkan Venezuela pada masa ini.



Contoh singkat dari reformasi Venezuela memberikan banyak pandangan kepada saya, bahwasanya reformasi konstitusi yang mendekati kesempurnaan bukan hal yang mustahil untuk dilakukan Indonesia pada masa kini. Jangan membandingkan waktu tempuh yang dialami Venezuela untuk mensukseskan reformasi konstitusi ( kurang lebih 6 bulan ), dengan yang terjadi di Indonesia selama hampir sepuluh tahun. Perbedaan waktu itu diakibatkan oleh berbagai macam faktor yang kurang tepat untuk dipaparkan di sini. Salah satu hal yang menurut saya perlu untuk dilakukan Indonesia saat ini adalah kembali membentuk dewan atau majelis terpisah dari lembaga legislatif ( MPR ), yang berwewenang untuk menyusun perubahan (atau bahkan penggantian) UUD 1945 itu sendiri. Hal ini terkait dengan beberapa argumen di awal tulisan, dan disertai dengan adanya optimisme bahwa lembaga mandiri ini berpotensi untuk bekerja lebih fokus dalam pelaksanaan reformasi konstitusi ini. Selain itu, wacana untuk membuat konstitusi yang lebih steril dari kepentingan lembaga–lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif pemerintah juga lebih dapat terakomodasi dengan adanya dewan/lembaga/majelis otonom ini.

Poin yang berikutnya adalah, bahwa Indonesia masih terkesan ragu – ragu dengan bentuk perubahan yang dikehendaki. Saya memang tidak memberikan gagasan untuk membuat sebuah konstitusi cair seperti yang digunakan Australia dan bahkan Inggris. Tapi setidaknya jadikanlah konstitusi ini menjadi sebuah objek yang fleksibel, dalam artian bahwa bentuk perubahan yang sangat mendalam diperlukan di sini. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk membentuk sebuah UUD baru pengganti UUD 1945, apabila memang diperlukan. Apalagi, tidak seperti masa Demokrasi Parlementer, gagasan dan pertikaian soal dasar negara yang kerap menghambat proses reformasi tidak terasa segencar dulu. Artinya, UUD yang dikembangkan ini tidak melulu harus terbentur pada masalah fundamental seperti itu, namun juga harus banyak memajukan unsur hak dan kewajiban warganegara. Hal inilah yang kemudian menentukan besarnya partisipasi politik masyarakat di dalam suatu negara.



Yang menjadi masalah berikutnya adalah sosialisasi. Jangankan sosialisasi soal amandemen yang sudah dilakukan, substansi dari UUD 1945 yang masih terlampau sederhanapun hanya diketahui oleh minoritas masayarakat di negara ini. Rakyat kebanyakan masih tidak tahu tentang hak dan kewaijaban mereka terhadap negara, bisa jadi justru tidak peduli. Kalau sudah begitu, bagaimana mereka bisa diharapkan untuk menjadi masyarakat yang turut aktif dalam proses politik? Saya sendiri pernah melihat sebuah film mengenai Venezuela yang berjudul No Volveran. Di film itu digambarkan bagaimana masyarakat Venezuela, bahkan samapai kepada komunitas terbawah, turut aktif dalam penyusunan konstitusi dan kondisi perpolitikan yang tengah berlangsung di Venezuela. Hal itu terjadi karena mereka memahami sepenuhnya bagaimana proses demokratisasi berjalan, dan apa substansi dari konstitusi yang kiranya melibatkan mereka. Bagaimana masyarakat bisa mengetahui substansi tersebut? Ternyata pemerintah Venezuela mencantumkan pasal – pasal konstitusi yang berisikan hak dan kewajiban mereka pada setiap bungkus produk yang mereka beli. Jadi terbukti, bagaimana sebuah sosialisasi yang baik mengenai konstitusi dapat meningkatkan kesadaran berpolitik masyarakat, yang ke depannya menjadikan proses demokratisasi menjadi lebih baik. Karena pada dasarnya, esensi demokrasi adalah tingginya peran serta masyarakat di dalam sebuah negara.



Sebagai penutup, saya ingin mengeluarkan pendapat akhir mengenai bagaimana alur yang kiranya diperlukan Indonesia dalam rangka suksesi reformasi konstitusi. Yang pertama adalah masalah sosialisasi, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sadar akan pentingnya hak dan kewajiban mereka di dalam sebuah negara. Seiring dengan meningkatnya kesadaran tersebut, lahirnya sebuah dewan atau majelis otonom untuk melakukan reformasi konstitusi, harus mulai digagas. Melakukan reformasi terhadap sebuah konstitusi bukan merupakan hal yang bisa dilakukan sembari mengurusi masalah ketatanegaraan lainnya. Bukan juga masalah yang bisa dilaksanakan hanya oleh segelintir masyarakat di lembaga legislatif, yang juga hanya mewakili segelintir kepentingan yang menggebu-gebu. Proses yang kompleks ini akan jauh lebih baik apabila ditangani oleh lembaga otonom yang diharapkan benar – benar mewakili dan akan merangkum semua hak dan kewajiban rakyat. Mengenai cara perubahan, saya memiliki kecenderungan berpendapat untuk melakukan penggantian menyeluruh seperangkat konstitusi yang dimiliki Indonesia sejak 64 tahun silam. Tidak begitupun, perubahan pasal (asalkan masih sesuai konteks dan berlaku seiring perkembangan zaman sekarang) juga sebenarnya cukup. Hanya saja terkadang implementasi amandemen di Indonesia ditanggapi kurang serius, seiring dengan munculnya asumsi bahwa reformasi konstitusi ini juga dilakukan dengan tidak serius. Konstitusi (utamanya UUD 1945) memang suatu hal yang kerapkali dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Namun bukan berarti tidak memiliki fleksibilitas untuk berubah. Karena pada dasarnya, sebuah konstitusi dibentuk untuk memberikan guidance kepada sebuah negara. Namun guidance tersebut tidak selalu akan bertahan seiring dengan berkembangnya zaman, dan terkadang pula mutlak diperlukan perubahan agar konstitusi tidak lekang dimakan waktu.

Daftar Pustaka


Sumber Buku dan Jurnal

Effendy, Bahtiar. Reformasi Konstitusi Sebagai Prasyarat Demokratisasi : Pengalaman Indonesia”, dalam Analisa CSIS. Jakarta : Centre For Strategic and International Studies, 2000



Lijphart, Arend. Refleksi Lima Tahun Amandemen UUD 1945 : Menyempurnakan Konstitusi, Memberantas Korupsi, dalam Patterns of Democracy : Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. London: Yale University Press, 1999 (Terjemahan)



Soyomukti, Nurani. Chavez Vs. Amerika Serikat. Yogyakarta : Penerbit Garasi, 2008



Wiratma, I Made Leo. “Reformasi Konstitusi : Potret Demokrasi dalam Proses Pembelajaran”, dalam Analisa CSIS. Jakarta : Centre For Strategic and International Studies, 2000



Sumber Majalah



“Panas di Sidang, Akrab di Luar”, Tempo, 17 Agustus 2007



[1] I Made Leo Wiratma, “Reformasi Konstitusi : Potret Demokrasi dalam Proses Pembelajaran”, dalam Analisa CSIS, ( Jakarta : Centre For Strategic and International Studies, 2000 ), 402-403

[2] “Panas di Sidang, Akrab di Luar”, Tempo, 17 Agustus 2007, 40-42

[3] Ibid, 41

[4] Ibid, 40

[5] Bahtiar Effendy, “Reformasi Konstitusi Sebagai Prasyarat Demokratisasi : Pengalaman Indonesia”, dalam Analisa CSIS. ( Jakarta : Centre For Strategic and International Studies, 2000 ), 397

[6] Arend Lijphart, “Refleksi Lima Tahun Amandemen UUD 1945 : Menyempurnakan Konstitusi, Memberantas Korupsi, dalam Patterns of Democracy : Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. (London: Yale University Press, 1999) (Terjemahan), 18

[7] Wiratma, Op. Cit, 401

[8] Ibid, 403

[9] Ibid, 404

[10] Ibid, 404

[11] Nurani Soyomukti. Hugo Chavez Vs. Amerika Serikat. ( Yogyakarta : Penerbit Garasi, 2008 ), 78

[12] Ibid, 78

No comments:

Post a Comment