Saturday, August 20, 2011

PB...Petak Benteng yang Menjadi Point Blank

"Banyak nyamuk di rumahku, gara-gara kamu malas bersih-bersih...."

Itulah sepenggal kalimat pertama yang tertutur dari senandung Enno Lerian.
Mungkin Enno adalah artis yang pertama kali saya idolai, jauh sebelum saya mengenal Reza Artamevia atau bahkan Kevin Vierra.

Dan mungkin tidak banyak yang ingat bahwa penyanyi cilik yang kini menjadi basis ternama, Bondan Prakoso, memiliki seorang rival bernama Eza Yayang. Lenggak-lenggok Eza Yayang yang kerap bergaya Michael Jackson seolah mampu menyihir setiap penonton cilik di rumahnya masing-masing. Jangan kecualikan saya..hehe.

Lalu setiap sore sehabis mandi, Dandy cilik selalu menyempatkan diri untuk bermain keluar rumah dengan anak tetangga. Bermain kejar-kejaran, atau sekedar melepas guyonan. Dan nyaris setiap akhir minggu, baru saya diperbolehkan bermain Nintendo (yang susah payah saya peroleh setelah derai air mata guna membujuk si papi-mami). Masih ada yang ingat dengan game Mario Bros, Contra, Ica Climber, atau Tetris? Sepertinya itulah tekonologi terpesat yang dinikmati oleh anak-anak segenerasi saya. Jangan tanya generasi di atas kami, yang mungkin bahkan belum mengenal video games. Tapi generasi kamipun sebenarnya sudah cukup senang dengan sebuah benda bulat bertali yang dimainkan naik turun. Namanya....ah saya ingat....Yoyo. Bahkan faktanya tanpa alat bernama Yoyo-pun, kami sudah sangat bahagia apabila banyak anak berkumpul untuk bermain petak umpet, petak benteng (yang lebih populer disebut bentengan), ataupun mencari alasan untuk bisa puas jongkok dengan bermain petak jongkok. Kadang ada yang terlalu bersemangat, sampai jatuh tersungkur dan berdarah, dan mungkin dia menangis setelah itu. Tapi yang jelas itu hanyalah selingan sesaat sebelum "si korban" kembali tersenyum setelah ditraktir es lilin oleh teman-teman yang lain. Setelah itu, bolehlah kami melanjutkan bermain sampai langit mulai agak gelap dan adzan Maghrib berkumandang. Saatnya pulang atau kami akan dikuncikan di luar rumah.

Itu tadi soal permainan, lalu bagaimana dengan acara televisi?
Si Unyil dan Pak Raden, serta Si Komo, seolah menjadi ikon televisi yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Anak mana yang mau melewatkan Pak Raden bercerita sambil menggambar, atau Si Komo yang bernyanyi bersama Si Belu, Ulil, dan Dompu? Dan jangan lupakan pula sinetron keluarga bertajuk "Sahabat Pilihan" yang bercerita tentang kisah pedagang koran bernama Dado dan Ading. Sinetron yang kemudian berganti tongkat estafet sinetron keluarga generasi berikutnya menjadi "Keluarga Cemara". Lagi-lagi berkisah tentang anak keluarga kurang mampu yang terpaksa berdagang opak sambil sekolah. Saya ingat betapa kami dimanjakan dengan sinetron-sinetron yang secara tersurat memberikan nilai tentang makna bersyukur dalam kesederhanaan.

Itu semua adalah suvenir yang diperoleh generasi anak-anak yang besar pada era akhir 80-an dan awal 90-an. Tidak banyak sesuatu yang canggih. Bahkan mungkin kami terkesan agak bodoh dan buta teknologi. Satu-satunya anak yang melek teknologi saat itu hanyalah si Lex (cucu John Hammond dalam film Jurassic Park) yang mampu mengoperasikan sistem keamanan taman dinosaurus dalam keadaan darurat. Lex yang bisa membuat kami berdecak kagum karena mampu menghambat gerakan seekor Velociraptor dewasa hanya dengan menggerakkan dan menekan-nekan mouse. Mouse adalah benda misterius bagi kebanyakan bocah kecil di tahun 1993. Padahal ketika sekarang saya mengetik tulisan ini, percaya atau tidak, saya menyentuh mouse hingga puluhan kali..hehe.

Mari warp sejenak sejauh 16 tahun ke depan. Masa ketika saya baru melampaui fase remaja, dan terhenyak melihat seorang bocah kecil di tengah pusat perbelanjaan. Banyak alasan kenapa saya bisa sampai terhenyak melihat bocah kecil yang usianya belum genap 5 tahun tersebut. Alasan yang pertama, mungkin dia memiliki tato sebuah naga besar di lengan kanannya. Tapi alasan lain yang agak lebih masuk akal adalah fakta bahwa bocah itu mengalungi sebuah handphone. Bukan handphone biasa, tapi merk tertentu yang berlogo dua buah huruf B. Ya, merk dagang yang saat itu sedang mulai menjamur di Indonesia, hingga satu buah barangnya bisa lebih mahal sekitar 2 sampai 3 kali lipat dari harga setahun kemudian untuk jenis yang sama. Toh saya tidak bisa terhenyak berlama-lama, karena kemudian saya 'dipaksa' harus menganga ketika melihat si bocah mendadak mengangkat HP-nya, dan kemudian asik tenggelam dalam sebuah percakapan singkat. Agak aneh ketika saya mencuri dengar percakapan tersebut, yang terdengar adalah obrolan singkat :

"Iyah...aku lagi pelgi sama papaku. Kemana ya? Aku juga ga tau ini dimana.. Papa habis ini ngajak ke lestolan katanya, kamu ganggu aja deh. Nanti aku telpon kamu lagi. Nggak bicaaaaaa, nanti paling si mbak yang mencetin hpku biar bisa nelpon kamu. Udah ya..dadaah"

Hal ini mungkin memberikan dampak yang tidak jauh berbeda kepada saya, dibandingkan dengan misalnya si bocah itu benar-benar memiliki tato naga besar di lengannya. Mungkin dia belum bisa mengoperasikan HP-nya, sama ketika saya belum bisa mengoperasikan sebuah mouse. Tapi Dandy cilik tidak menenteng mouse ke lapangan untuk bermain gobak sodor, bahkan ketika itu Dandy cilik belum memiliki mouse di rumahnya karena belum ada unsur mendesak yang diperlukan untuk memiliki benda tersebut. Menunjukkan status sosial? Barangkali. Tapi apa gunanya anak sekecil itu sudah harus memikirkan status sosial?

Rasa penasaran itu membuat saya selama 3 hari berturut-turut menunggu di halaman depan rumah ketika sore menjenguk. Apa pasal? Saya ingin melihat kegiatan anak-anak di sore hari. Tetangga tepat di sebelah kiri punya anak kelas 4 SD bernama Karel. Tetangga sebelah kanan saya memiliki anak kelas 3 SD bernama....saya lupa...hehe. Toh ketika saya menunggu sampai maghrib, saya hanya mendapati ibu-ibu tetangga hilir mudik, dan beberapa abang tukang somay dan tukang roti lalu lalang. Tidak ada Karel, tidak ada.....saya sebut saja Gufi. Padahal baru sekitar 5 tahun lalu saya masih bisa mendengar Soya, tetangga sebelah yang sekarang sudah SMA, masih berlari-lari dan bermain petak umpet bersama teman-temannya.
Dan ketika saya memergoki si Gufi yang baru pulang sekolah, itu adalah kesempatan terbaik untuk melakukan interogasi. Dengan iming-iming permen, saya coba untuk ajak dia ngobrol. Ternyata iming-iming permen tidak cukup, karena si bocah minta saya untuk menginstall game PC terbaru di komputernya baru dia bersedia diajak ngobrol. Memang hebat gaya negosiasi anak sekarang. Tapi jangan remehkan anak generasi kami yang lebih fleksibel, sayapun akhirnya bisa mengubah tuntutannya menjadi bentuk yang lebih tradisional....mengajari dia main monopoli, hehehe. Setelah interogasi, usut punya usut, bahkan dia tidak mengenal si Karel. Memang dia pernah melihat Karel, tapi jangankan tegur sapa, dia bahkan tidak tahu nama anak tetangganya paling dekat secara geografis.

Agak menyedihkan dalam sudut pandang saya, karena mereka bahkan tidak mengenali orang-orang di lingkungan sekitarnya. Namun apakah itu menyedihkan dalam sudut pandang mereka? Saya rasa belum tentu, bahkan mungkin tidak samasekali. Bagi mereka tentu ada kegiatan substitusi lain yang mampu menggantikan proses interaksi tersebut. Misalnya bermain video game, atau menonton Insert Ivestigasi, mungkin juga berlatih mengemudikan mobil di atas kecepatan 100 Km/Jam. Atau bisa jadi sebenarnya mereka tidak kehilangan proses interaksi tersebut, melainkan mereka melakukan komunikasi via pesan singkat atau saling menelepon menggunakan handphone. Who knows?
Menyedihkan hanyalah sudut pandang. Bahkan sekarang mungkin ayah saya berdecak gemas melihat saya yang menghabiskan waktu 2-3 jam beruntun di depan komputer. Hal yang untuk saya lumrah saja, namun tidak lazim bagi orang tua saya. Tenang, di sini saya juga tidak mau menghakimi bahwa anak generasi sekarang tidak lebih baik dari anak generasi kapanpun juga, ataupun sebaliknya.

Di luar soal menyedihkan, yang jelas saya berani menjamin bahwa mereka lebih melek teknologi dan melek informasi dibandingkan anak-anak generasi kami. Bahkan bisa jadi Lex Hammond yang kami kagumi, terlihat begitu bodoh dan sangat fiktif di mata mereka. Mereka tentu tidak akan percaya tindakan heroik tersebut mampu dilakukan oleh Lex, karena mereka sudah paham mengenai batasan tekonologi yang mustahil dan yang masuk akal untuk satu masa. Mana mungkin pada masa itu seorang bocah dapat semudah itu mengoperasikan sistem keamanan sebuah taman dinosaurus?
Namun ada satu hal berkebalikan yang saya juga jamin, bahwa rata-rata anak pada generasi kami lebih terlatih dan mampu bersosialisasi. Mungkin juga memiliki kebugaran yang lebih (kalau yang ini bukan jaminan, tapi asumsi..hehe). Pada faktanya teriakan kami lebih keras dan tawa kami lebih meledak saat kami tertangkap di dalam permainan petak benteng, dibandingkan teriakan dan tawa mereka saat karakter mereka tertembak mati dalam game Point Blank bukan?

Lantas, apa poin yang hendak ditekankan dalam tulisan ini? Nyaris tidak ada...hehe. Pada awalnya saya hanya ingin menulis tentang kenangan masa kecil saya. Namun pada perkembangannya, saya menemukan fakta yang menarik terkait dengan perkembangan anak jaman sekarang. Tapi sekali lagi bukan berarti saya menuding bahwa anak jaman sekarang kurang bahagia. Mereka bahagia dengan caranya sendiri, sama halnya dengan generasi ayah-ibu kita yang bahagia dengan memiliki satu saluran televisi saja. Namun sebagai perwakilan (muda) dari generasi yang lahir pada tahun 1980-an, saya dengan senang hati mengakui bahwa saya lebih menggilai Hanson ketimbang Jonas Brothers :)

Monday, October 18, 2010

Wacana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto : Sudahkah Layak?

*Begian terakhir belum selesai, karena keterbatasan waktu...hehe. Terima kasih!

Senin 18 Oktober, seorang teman bercerita dan bertanya kepada saya..."Gw mau apa tau pendapat lo soal wacana pemberian gelar 'Pahlawan Nasional' kepada Soeharto, beserta alasan-asalannya". Kalau cuma ditanya tentang apa pendapat saya...saya akan jawab tidak setuju. Tapi untuk alasannya, saya lebih suka memaparkan via blog ini, atau bertemu langsung dengan orang yang bersangkutan (orang bersangkutan ini maksudnya teman saya yang berinisial 'P', bukan Soeharto).

Inilah sedikit ulasan mengenai alasan saya yang tidak setuju kepada pemberian gelar kepada Soharto. Perlu diingat bahwa tulisan ini hanyalah essay kecil, tentang pendapat pribadi yang berdasarkan sedikit literatur (yang dapat saya percaya). Jadi ini hanya essay saja, dan bukan karya ilmiah yang sudah diujikan keabsahannya dalam sidang atau presentasi!

Here's your answer P :

Saya membagi tulisan ini ke dalam beberapa bagian, yang kiranya dapat menjelaskan dengan lebih runtun mengenai azas kesesuaian pemberian gelar 'Pahlawan Nasional' kepada Soeharto. Yang pertama, tentu saja kita harus mengetahui definisi 'Pahlawan Nasional', dan batasan-batasan serta indikator yang dapat merujuk kepada status sesorang yang hendak dianugerahi gelar tersebut. Baru pada tahap berikutnya, diperlukan sebuah riset kecil tentang apa saja yang sudah dilakukan oleh Soeharto semasa hidupnya. Kemudian kita akan meninjau kesesuaian batasan-batasan tersebut, dengan nilai-nilai yang sudah dibawa tokoh tersebut.


A. Definisi dan Indikator-Indikator "Pahlawan Nasional"

Setidaknya ada dua hal yang bisa digunakan sebagai alat ukur dalam penetapan kriteria gelar "Pahlawan Nasional". Yang pertama adalah definisi "Pahlawan Nasional" secara etimologis bahasa Indonesia. Yang kedua adalah melihat definisi dan kriteria gelar "Pahlawan Nasional" yang diakui dan tercantum di dalam Perpres No. 33 Tahun 1964.

Untuk mencari asal dan definisi frase “Pahlawan Nasional” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terus terang saya mengalami kesulitan teknis. Mengapa? Karena kebetulan saya tidak punya KBBI……hehe. Tapi biasanya saya selalu mencari lewat situs buatan Diknas yang berisi salinan langsung dari KBBI, menjadi KBBi versi online. Entah mengapa, sudah 2 bulan ini situs tersebut tidak bisa diakses. Mohon maaf sebelumnya, tapi saya terpaksa menggunakan definisi dari kamus bahasa Indonesia lainnya, yang saya peroleh dari situs ini http://kamusbahasaindonesia.org. Menurut situs tersebut, definisi pahlawan dan nasional adalah sebagai berikut[1] :

pah.la.wan
[n] orang yg menonjol krn keberanian dan pengorbanannya dl membela kebenaran; pejuang yg gagah berani

na.si.o.nal
[a] bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dr bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa: cita-cita --; perusahaan --; tarian --

Definisi harus saya bagi menjadi dua, karena kamus tersebut tidak menjelaskan frase langsung pahlawan nasional. Adapun dari definisi tersebut, dapat ditarik beberapa indikator yang kemudian dapat dijadikan sebagai kriteria seorang pahlawan nasional. Untuk lebih ringkasnya, saya menjadikan “nasional” sebagai bagian yang menerangkan (dalam Frase Diterangkan-Menerangkan), sehingga bahasan dan indikator utama akan saya turunkan hanya dari “pahlawan”.

Berikut indikator yang saya turunkan dari “pahlawan” :

  1. Pejuang
  2. Menonjol karena keberanian
  3. Menonjol karena pengorbanan
  4. Membela kebenaran

Sedangkan “nasional” hanya bersifat penjelas, sebagi keterangan sifat dari “pahlawan” itu sendiri.

Berikutnya, kita akan mengurai kepada hal yang lebih spesifik dan lebih jelas, yaitu definisi dan kriteria “Pahlawan Nasional” yang termaktubkan di dalam Perpres No. 33 Tahun 1964[2].

Yang dimaksudkan dengan "Pahlawan" dalam peraturan ini ialah::

a. Warga Negara Republik Indonesia yang gugur atau tewas atau meninggal dunia

karena akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai jasa perjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela Negara dan Bangsa;

b. Warga Negara Republik Indonesia yang masih diridhoi dalam keadaan hidup sesudah

melakukan tindak kepahlawanannya yang cukup membuktikan jasa-pengorbanan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela Negara dan Bangsa dan yang dalam riwayat hidup

selanjutnya tidak ternoda oleh suatu tindak atau perbuatan yang menyebabkan menjadi cacad nilai perjuangan karenanya.

Poin b dapat kita hilangkan, karena wacana pemberian gelar Soeharto baru diapungkan setelah beliau meninggal. Lebih jauh, Perpres tersebut memberikan definisi yang jelas mengenai bentuk dari “jasa” dan”pengorbanan”.

(1) Yang dimaksudkan dengan "jasa" adalah nilai kemenangan dan/atau prestasi

yang telah dicapai, termasuk pula segala tindak dan/atau perbuatan yang menyebabkan

tercapainya kemenangan dan/atau prestasi tersebut.

(2) Yang dimaksudkan dengan "pengorbanan" adalah penderitaan dan/atau

kerugian yang terjadi, akibat suatu pendharmaan diri dalam pelaksanaan tugas dan/atau

perjuangan untuk kepentingan Negara dan Bangsa.

Lebih jauh, definisi dan penjelas tersebut dapat kita tarik menjadi beberapa indikator lagi. Yaitu :

  1. Pencapaian kemenangan dan prestasi
  2. Tindak-tanduk yang mendukung pencapaian
  3. Penderitaan dan kerugian
  4. Pendharmaan diri
  5. Kepentingan negara dan bangsa

Dari kedua sudut pandang tersebut, makan saya memeroleh 7 buah poin yang kiranya dapat menjadi kriteria penetapan seorang “Pahlawan Nasional”, yaitu :

1. Pejuang

2. Menonjol karena keberanian

3. Membela kebenaran

4. Pencapaian kemenangan dan prestasi

5. Tindak-tanduk yang mendukung pencapaian

6. Penderitaan dalam pendharmaan diri

7. Kepentingan negara dan bangsa

Dengan demikian, kita telah memiliki sebuah kriteria sederhana pendefinisian seorang tokoh yang dapat disebut sebagai Pahlawan Nasional.

B. Rekam Jejak Soeharto

Pada bagian ini, akan sedikit saya paparkan apa saja tindakan-tindakan dan pin-poin secara garis besar, yang kiranya dapat dijadikan sebagai acuan mengenai apa saja yang sudah dilakukan Soeharto untuk RI. Sebagai penjelas, banyak dari sekian banyak catatan ini yang diwarnai dengan kontroversi, mengenai sejarah yang sudah dibengkokkan. Karena sudah jamak bagi sejarah di negara manapun, bahwa berlaku hukum yang familiar disebut sebagai “The winner takes all”, termasuk perubahan alur sejarah.

Berikut adalah beberapa daftarnya :

  1. Peran Soeharto dalam perjuangan kemerdekaan, Serangan Umum 1 Maret 1949.

Studi literatur maupun beberapa dokumen yang diungkap pada masa orde baru (baik tertulis, maupun visualisasi dokumen yang menjadi sebuah film layar lebar), menyebutkan bahwa Letkol Soeharto adalah tokoh yang pertama kali mencanangkan, memrakarsai, dan memimpin langsung Serangan Umum 1 Maret terhadap Ibu Kota RI saat itu (Jogjakarta), agar dapat mendeklamasikan RI yang masih berdiri dan masih memiliki eksistensi. Letkol Soeharto terhitung berhasil dalam melaksanakan tugasnya memimpin pasukan gerilya, dengan berhasi menduduki Jogjakart selama 6 jam, dan menyiarkan kepada dunia internasional bahwa RI saat itu masih berdiri. Namun, yang menjadi kontroversi di sini adalah peran Soeharto yang dinilai dibesar-besarkan, dan dianggap hanya sebagai propaganda di saat ia menjabat sebagai presiden di masa Orba. Pendapat ini muncul dari dokumen-dokumen yang dimiliki oleh kekeratonan Jogja, dan laporan saksi, bahwa di dokumen berikutnya yang ditemukan pada saat orab dan film yang dibuat di jaman Orba, digambarkan bahwa Letkol Soeharto pemrakarsa, dan tidak menggambarkan peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX di situ. Padahal, menurut beberapa sumber yang diakui keabsahannya, justru Sri Sultan HB IX yang terlebih dahulu memrakarsai, dan merancang serangan tersebut, sebelum berikutnya kemudian dilaksanakan oleh Letkol Seoharto[3]

  1. Peran Soeharto dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, 1962. Setelah keberhasilannya memimpin tentara gerilyawan dan menduduki Yogyakarta selama 6 jam, karier Soeharto do militer terus meningkat. Hingga pada januari 1962, ia dilantik menjadi Mayor Jenderal, dan diserahi tanggung jawab untuk memimpin operasi militer pembebasan Irian Barat (Komando Mandala). Sejauh ini, belum ada kontroversi soal keberhasilan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala, dalam membebaskan Irian Barat.

  1. Poin berikutnya yang menarik untuk dibahas adalah persoalan mengenai gerakan 30 September 1965. Kontroversi mengenai dalang dibalik peristiwa ini masih bergulir hingga kini, dan bisa jadi tidak dapat diurai dengan sempurna hingga kapanpun. Hal itu berkaitan dengan dokumen-dokumen yang hilang, dan makin sedikitnya jumlah saksi hidup yang dapat dimintai keterangan. Namun, siapapun dalangnya, Soeharto jelas mempunyai pengaruh di dalam peristiwa ini. Hal ini juga diamini oleh John Roosa, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, yang menelurkan sebuah teori termutakhir, yang berusaha mengurai siapa pihak-pihak yang bertanggung jawab di belakang peristiwa 30 September. Di dalam bukunya Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia (yang kemudian diterbitkan di Indonesia sebagai : dalih pembunuhan missal), Roosa juga menyinggung tentang besarnya peranan yang dilakukan oleh Seoharto. Ia tidak menunjuk langsung kepada Soeharto bahwa ia figur sentral di balik peristiwa tersebut, namun lebih jauh ia mengurai tentang persaingan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Darat (AD) yang sedang panas pada pertangahan tahun 1960. Secara ringkas, Roosa menyebutkn bahwa perbutan kekuasaan di antara kedua pihak, membuat AD membuat seuatu rencana untuk menumpas PKI dalam sebuah gebrakan, dan hendak menempatkan orang dari AD di tampuk kekuasaan paska Soekarno. Oleh karena itu, AD membuat sebuah gerakan yang seolah-olah menunjuk bahwa PKI telah melakukan sebuah usaha kudeta, sehingga timbul pembenaran untuk menghabisi PKI hingga ke akar-akarnya. Dan rencana itu dipungkas dengan naiknya Seoharto yang mengambil kursi kekuasaan dari Soekarno, yang dianggap dalam keadaan tidak mampu untuk memimpin.[4]

Kontroversi soal ini juga dilanjutkan dengan Surat Perintah Sebelas Maret 1966, yang diklaim Soeharto sebagai surat penunjukkan dirinya oleh Soekarno, sebagai pemegang kekuasaan (sementara) yang sah, ketika Soekarno masih sakit. Namun hingga saat ini, dokumen tersebut diragukan kebenarnnya (karena hingga saat ini, Supersemar yang beredar hanylah berupa salinan). Dan beberapa saksi sejarah juga menyatakan bahwa surat itu ditandatangani Soekarno, di bawah intimidasi, sementara.saksi lainnya mengatakn bahwa Soekarno tidak pernah menulis surat perintah tersebut. Sementara, bukti lain menunjukkan bahwa Soekarno tidak menulis Supersemar sebagai pengalihan kekuasaan kepada Soeharto, melainkan hanya mandat untuk mengamankan keadaan.[5]

  1. Bagian yang berikutnya adalah bagian saat Soeharto sudah resmi menjabat sebagai presiden hasil legislatif, paska Pemilu 1971. Seharusnya bagian ini justru harus dibuat lebih fokus lagi, tapi karena keterbatasan...errrrr....waktu, maka akan saya singkat saja di dalam poin ini. Sebuah ‘prestasi’ yang menonjol dari Soeharto adalah pembangunan dan kekuatan ekonominya. Saat Indonesia dapat mencapai swasembada pangan, dan PELITA berjalan dengan cukup sukses. Itu sebuah pencapaian, yang banyak dikenang oleh banyak orang tua hingga kini. Biasanya dibumbui dengan kalimat “masih enak jaman Pak Harto daripada sekarang...harga-harga murah, makanan terjangkau”. Sebuah kalimat yang bisa menjadi pujian tersendiri bagi rezim kekuasaannya. Namun benarkah demikian? Benarkah bahwa sejatinya, pertumbuhan ekonomi pada jaman Soeharto jauh lebih pesat dan mencapai hasil yang lebih tinggi daripada sekarang? Pantaskah kalimat pujian tersebut disematkan? Nyatanya, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan bersifat semu. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai, merupakan hasil dari suntikan dana dan hutang dari IMF. Pembangunan memang harus diakui terjadi (ini yang membuat Pak Harto digelari “Bapak Pembangunan”), namun nyatanya pembangunan besar-besaran juga dilandasi di atas hutang. Dan tahun 1998 adalah pukulan telak bagi negara ini yang dibangun di atas hutang. Jadi seharusnya statement tentang “lebih enak jaman Pak Harto” tadi, lebih baik dikoreksi atau dicabut sama sekali. Karena kondisi ekonomi Indonesia akan semakin merosot apabila gaya kepemimpinan Soeharto diteruskan. Dosen saya, yang juga seorang peneilit sosial-politik pernah mengadakan studi dengan kawan-kawannya. Ia menghitung jumlah hutang Indonesia saat ini, dan dibagi dengan angka kelahiran Indonesia di tahun 2004. Saat itu, beliau mendapati hasil bahwa setiap bayi yang lahir pada tahun itu, masing-masing sudah menanggung hutang sekitar 3 juta rupiah. Hal ini belum diperparah dengan korupsi yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya, sewaktu ia masih menjabat menjadi presiden.

Di luar pembangunan ekonomi, permasalahan sosial dan budaya juga harus disorot dengan lebih jelas. Dari segi budaya, rezim Soeharto berusaha membuat kebijakan-kebijakan yang menyeragamkan masyarakat Indonesia, dan justru menghilangkan nilai-nilai asli banga Indonesia. Untuk kaum TiongHoa misalnya, banyak kebijakan Orde Baru yang mewaijbkan orang TiongHoa untuk meninggalkan unsur budaya mereka, misalnya nama, budaya, hingga kepercayaan. Begitu pula dengan penyeragaman masyarakat sosial di pedalaman. Misalnya pergantian nagari di Minang, menjadi desa, yang berbeda secara struktur.

Permasalahan sosial juga kerapkali ditutupi-tutupi oleh Soeharto, sebagai usaha untuk menjalankan sebuah pemerintahan yang solid dan terkesan kondusif. Dengan kata lain, banyak kegiatan yang harus dilakukan secara bawah tanah, agar isu-isu yang berpotensi mengguncang stabilitas nasional, dapat diredam. Salah satu bagian dari usaha bawah tanah tersebut adalah pengiriman intel ke tengah-tengah masyarakat. Tujuannya untuk mengawasi tindak0tanduk atau gerak-gerik yang berafiliasi dengan penciptaan instabilitas dan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Orde Baru. Banyak dosen saya di Ilmu Politik (yang dahulu masih menjadi mahasiswa), harus berusaha ekstra keras hanya untuk mendapatkan kopian buku Das Kapital. Setiap acara keorganisasianpun juga kerapkali diawasi. Dosen saya yang dahulu juga sudah menjadi dosen, kerap disusup intel di dalam kelasnya sendiri. Ia kerap ditegur, karena memberikan kuliah ataupun referensi buku, yang dianggap tidak sejalan dengan pemerinthan Orde Baru. Program ABRI Masuk Desa juga ditengarai sebagai salah satu cara untuk menyisipikan Intel ke dalam masyarakat-masyarakat suburban. Di luar itu, banyak isu-isu tersebut yang kemudian meledak menjadi sebuah gerakan, dan harus ditanggapi dengan kekerasan oleh pemerintahan Orba. Dalam pemerintahan Seoharto, tercatat berbagai kasus yang berhubungan dengan kekerasan, hingga penculikan orang-orang yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Apakah Soeharto secara langsung terlibat? Hal itu baru merupakan asumsi besar, dan hingga kini belum ada pembuktian yang diusahakan oleh penegak hukum Indonesia. Namun satu yang pasti, langsung maupun tidak, Soeharto memiliki keterlibatan. Karena bagaimanapun, kasus-kasus tersebut terjadi di bawah rezimnya.

Di bidang politikpun, banyak dugaan yang merujuk kepada penggunaan kekuasaan dari Soeharto saat itum untuk makin melanggengkan kekuasaannya lagi. Ia memiliki kendaraan politik yang dapat beroperasi dengan ideal dan leluasa, ia memiliki rantai birokrasi yang makin memudahkannya untuk meluaskan jaringannya, dan ia punya popularitas untuk mendongkrak namanya agar semakin dicintai rakyat. Golkar pada masa Orde Baru merupakan partai yang tak mungkin tertandingi. Di bawah masa Soeharto, hanya Golkar yang boleh melakukan aktivitas kampanye hingga ke tingkat paling bawah (grass root), sedangkan PDI dan PPP hanya boleh berkampanye dan memiliki kantor cabang hingga tingkat kota/kabupaten. Menyoal nama Golkar juga pertimbangan yang sangat jitu dari Soeharto dan kroninya. Di satu sisi, pandangan masyarakat terhadap partai, selepas Orde Lama tidaklah baik. Hal ini disebabkan karena trauma Gerakan 30 September yang terjadi karena perselisihan partai politik. Dengan cermat, Soeharto memfusikan partai-partai lain dibawah PDI dan PPP (dengan tetap menggunakan imbuhan ‘P’ sebagai ‘Partai’), sementara Golkar sebagai kendaraan politiknya, tidak diberi status sebagai partai politik. Golkar sat itu mengklaim bahwa mereka bukan Partai Politik, melainkan hanya sebagai sebuah yayasan, dan organisasi sosial saja. Padahal sudah awam di kalangan akademisi politik, bahwa organisasi apapun yang mengikuti pemilu, termasuk dalam definisi sebuah partai politik. Selain itu, Golkar juga hendak dibuat sebagai figur yang menengah, sebuah medium dari dua parti lainnya (PDI dan PPP). Hal itu terlihat dari nomor urut partai saat pemilu. Nomor urut partai yang seharusnya diacak dalam setiap pemilu, tidak berlaku pada zaman Orde Baru. Golkar selalu memeroleh Nomer 2, di tengah-tengah PPP (nomor 1), dan PDI (nomor 2). Dan masih banyak cerita lain yang membuat Golkar menjadi partai sekaligus kendaraan politik yang hegemonik dari Seoharto, sementara kedua partai lain hanyalah pelengkap saja.

Demikianlah sedikit dari sekian banyak hal yang harus diurai dalam langkah Seoharti di Indonesia. Keterbatasan waktu membuat saya mustahil untuk memberikan penulisan lebih jauh, dan juga sumber yang lebih banyak.



[1] http://kamusbahasaindonesia.org (diakses pada tanggal 19 Oktober 2010, pukul 23.00 WIB)

[2] http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/

PERPRES/PERPRES_1964_33_PENETAPAN,%20PENGHARGAAN%20DAN%20PEMBINAAN%20TERHADAP%20PAHLAWAN.pdf (diakses pada tanggal 19 Oktober 2010, pukul 23.07 WIB)

[3] Anonim. Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949 : Polemik tentang Pemrakarsa dan Pelaksana Serangan. (Yogyakarta : Media Pressindo, 2000). Hal 39

[4] John Roosa. (terj.) Dalih pembunuhan missal. (Jakarta : Institut Sejarah Sosial Indonesia. 2008). Hal 250-291

[5] Budi Setiawanto. Setelah 42 Tahun, Siapa tahu Supersemar?.http://web.pab-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=9896 (diakses pada tanggal 21 Oktober 2010, pukul 00.50 WIB)

Saturday, October 9, 2010

Nebeng Numpang Beken

"Si Komo itu bukan Kak Seto, tapi Oom gw! Oom gw yang ngisi suaranya si Komo!!"

(Saya -ketika berdebat dengan teman yang meyakini bahwa Kak Seto-lah si Komo)

Wednesday, September 22, 2010

Coldplay - Fix You Lyric

From the luckiest man in the world that became the most unlucky man in the world
To....you

When you try your best, but you don't succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can't sleep
Stuck in reverse

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse?

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

And high up above or down below
When you're too in love to let it go
But if you never try you'll never know
Just what you're worth

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

Tears stream down on your face
When you lose something you cannot replace
Tears stream down on your face
And on your face I...

Tears stream down on your face
I promise you I will learn from my mistakes
Tears stream down on your face
And on your face I...

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

Monday, September 20, 2010

Saya Sungguh Menyesal kepada Anda

Dimulai dari sebuah kecerobohan, diakhiri dengan penyesalan.
Itu masalah klasik yang kerap terjadi pada dalam kisah hidup manusia.
Menyesal pasti akibat tindakan yang niatnya A, tapi hasilnya B.
Tidak pernah ada cerita tentang 'menyesal', yang memang dimaksudkan hasilnya demikian.

Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, menyesal kerap terjadi dalam kisah hidup manusia.
Saya tidak pernah masuk dalam pengecualian, termasuk sekarang ini.

Pernahkah Anda tersangkut dengan sesuatu yang datang dari masa lalu?
Bedakan antara 'tersangkut', dengan 'terjebak' atau 'terikat'
Tersangkut adalah posisi yang lebih tipis dan lebi tidak disengaja daripada terjebak,
tdaik ada pihak lain yang mengiginkan Anda dalam posisi yang demikian, namun memang hal itu terjadi begitu saja. Itulah tersangkut.
Anda merasa sama sekali tidak mersakan sesuatu yang ganjil...yang tidak ada apa-apanya.
Namun tiba-tiba sesuatu atau seseorang mengingatkan Anda bahwa ada sesuatu yang menempel pada Anda.
Seperti anda merasa berjalan dengan normal...namun tiba-tiba pucuk celana anda tersangkut pada sebuah paku yang menyembul di pinggiran meja.

Itu yang sedang saya rasakan. Saya tersangkut dalam masa lalu.
Saya memang tidak berniat untuk menyimpan segala memori yang tidak perlu.
Bukannya ingin bersikap dingin dan antipati terhadap masa lalu, tapi ada hal-hal dari masa lalu yang tidak sesuai dengan kondisi sekarang, dan tidak baik untuk dipertahankan.
Ketidaksesuaian itu dapat menyebabkan 'terjebak' dalam masa lalu, atau menyinggung dan melukai perasaan seseorang.
Saya terus maju bersama blog ini, tanpa memedulikan hal-hal kecil yang sudah saya tulis sebelumnya.
Hal-hal kecil dari masa lalu yang kirany tidak signifkan bagi saya, dan memcang terlupakan.
Namun jejak-jejak lama yang bagi seorang pribadi hanya sebuah jejak biasa, dapat dilihat sebagai sebuah eksistensi makhluk yang utuh bagi pribadi yang lainnya.
Tidak hanya bentuk telapak yang tercetak, namun wujud itu bisa menjelma menjadi kaki sungguhan yang seolah menjadi entitas pengejar dari masa lalu.
Sebuah blunder apabila melupakan hal seperti itu.
Apa yang kita rasakan,belum tentu sama dengan apa yang dirasakan dan diterjemahkan oleh orang lain.
Mungkin juga oleh Anda yang sedang membaca tulisan ini sekarang.

Saya lalai menghapus jejak-jejak yang sebenarnya sudah tidak saya perlukan dan pikirkan itu.
Bagi saya, itu akan sama dengan menyapu rumah berdebu saya yang penuh dengan siluet sol sepatu lalu-lalang.
Namun yang harusnya bagi saya tidak berat,ternyata malah terlewatkan.
Saya malah tertidur, dan membuat debu itu menebal dan menyebabkan saya terbatuk dan tercekik sendiri.
Dan dari paradigma pribadi lain, hal itu bisa jadi merupakan sesuatu yang menyinggung mereka.

Dan itulah yang saya lakukan, dan sudah terjadi.
Saya lalai, dan saya menyebabkan orang terluka karena itu.
Saya minta maaf....dan saya tidak tahu harus apa lagi.
Seperti ucapan klise yang saya dengungkan di atas. Menyesal selalu datang belakangan.
Saya Sungguh Menyesal kepada Anda.

-untuk seseorang yang berarti bagi saya-