Saturday, August 20, 2011

PB...Petak Benteng yang Menjadi Point Blank

"Banyak nyamuk di rumahku, gara-gara kamu malas bersih-bersih...."

Itulah sepenggal kalimat pertama yang tertutur dari senandung Enno Lerian.
Mungkin Enno adalah artis yang pertama kali saya idolai, jauh sebelum saya mengenal Reza Artamevia atau bahkan Kevin Vierra.

Dan mungkin tidak banyak yang ingat bahwa penyanyi cilik yang kini menjadi basis ternama, Bondan Prakoso, memiliki seorang rival bernama Eza Yayang. Lenggak-lenggok Eza Yayang yang kerap bergaya Michael Jackson seolah mampu menyihir setiap penonton cilik di rumahnya masing-masing. Jangan kecualikan saya..hehe.

Lalu setiap sore sehabis mandi, Dandy cilik selalu menyempatkan diri untuk bermain keluar rumah dengan anak tetangga. Bermain kejar-kejaran, atau sekedar melepas guyonan. Dan nyaris setiap akhir minggu, baru saya diperbolehkan bermain Nintendo (yang susah payah saya peroleh setelah derai air mata guna membujuk si papi-mami). Masih ada yang ingat dengan game Mario Bros, Contra, Ica Climber, atau Tetris? Sepertinya itulah tekonologi terpesat yang dinikmati oleh anak-anak segenerasi saya. Jangan tanya generasi di atas kami, yang mungkin bahkan belum mengenal video games. Tapi generasi kamipun sebenarnya sudah cukup senang dengan sebuah benda bulat bertali yang dimainkan naik turun. Namanya....ah saya ingat....Yoyo. Bahkan faktanya tanpa alat bernama Yoyo-pun, kami sudah sangat bahagia apabila banyak anak berkumpul untuk bermain petak umpet, petak benteng (yang lebih populer disebut bentengan), ataupun mencari alasan untuk bisa puas jongkok dengan bermain petak jongkok. Kadang ada yang terlalu bersemangat, sampai jatuh tersungkur dan berdarah, dan mungkin dia menangis setelah itu. Tapi yang jelas itu hanyalah selingan sesaat sebelum "si korban" kembali tersenyum setelah ditraktir es lilin oleh teman-teman yang lain. Setelah itu, bolehlah kami melanjutkan bermain sampai langit mulai agak gelap dan adzan Maghrib berkumandang. Saatnya pulang atau kami akan dikuncikan di luar rumah.

Itu tadi soal permainan, lalu bagaimana dengan acara televisi?
Si Unyil dan Pak Raden, serta Si Komo, seolah menjadi ikon televisi yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Anak mana yang mau melewatkan Pak Raden bercerita sambil menggambar, atau Si Komo yang bernyanyi bersama Si Belu, Ulil, dan Dompu? Dan jangan lupakan pula sinetron keluarga bertajuk "Sahabat Pilihan" yang bercerita tentang kisah pedagang koran bernama Dado dan Ading. Sinetron yang kemudian berganti tongkat estafet sinetron keluarga generasi berikutnya menjadi "Keluarga Cemara". Lagi-lagi berkisah tentang anak keluarga kurang mampu yang terpaksa berdagang opak sambil sekolah. Saya ingat betapa kami dimanjakan dengan sinetron-sinetron yang secara tersurat memberikan nilai tentang makna bersyukur dalam kesederhanaan.

Itu semua adalah suvenir yang diperoleh generasi anak-anak yang besar pada era akhir 80-an dan awal 90-an. Tidak banyak sesuatu yang canggih. Bahkan mungkin kami terkesan agak bodoh dan buta teknologi. Satu-satunya anak yang melek teknologi saat itu hanyalah si Lex (cucu John Hammond dalam film Jurassic Park) yang mampu mengoperasikan sistem keamanan taman dinosaurus dalam keadaan darurat. Lex yang bisa membuat kami berdecak kagum karena mampu menghambat gerakan seekor Velociraptor dewasa hanya dengan menggerakkan dan menekan-nekan mouse. Mouse adalah benda misterius bagi kebanyakan bocah kecil di tahun 1993. Padahal ketika sekarang saya mengetik tulisan ini, percaya atau tidak, saya menyentuh mouse hingga puluhan kali..hehe.

Mari warp sejenak sejauh 16 tahun ke depan. Masa ketika saya baru melampaui fase remaja, dan terhenyak melihat seorang bocah kecil di tengah pusat perbelanjaan. Banyak alasan kenapa saya bisa sampai terhenyak melihat bocah kecil yang usianya belum genap 5 tahun tersebut. Alasan yang pertama, mungkin dia memiliki tato sebuah naga besar di lengan kanannya. Tapi alasan lain yang agak lebih masuk akal adalah fakta bahwa bocah itu mengalungi sebuah handphone. Bukan handphone biasa, tapi merk tertentu yang berlogo dua buah huruf B. Ya, merk dagang yang saat itu sedang mulai menjamur di Indonesia, hingga satu buah barangnya bisa lebih mahal sekitar 2 sampai 3 kali lipat dari harga setahun kemudian untuk jenis yang sama. Toh saya tidak bisa terhenyak berlama-lama, karena kemudian saya 'dipaksa' harus menganga ketika melihat si bocah mendadak mengangkat HP-nya, dan kemudian asik tenggelam dalam sebuah percakapan singkat. Agak aneh ketika saya mencuri dengar percakapan tersebut, yang terdengar adalah obrolan singkat :

"Iyah...aku lagi pelgi sama papaku. Kemana ya? Aku juga ga tau ini dimana.. Papa habis ini ngajak ke lestolan katanya, kamu ganggu aja deh. Nanti aku telpon kamu lagi. Nggak bicaaaaaa, nanti paling si mbak yang mencetin hpku biar bisa nelpon kamu. Udah ya..dadaah"

Hal ini mungkin memberikan dampak yang tidak jauh berbeda kepada saya, dibandingkan dengan misalnya si bocah itu benar-benar memiliki tato naga besar di lengannya. Mungkin dia belum bisa mengoperasikan HP-nya, sama ketika saya belum bisa mengoperasikan sebuah mouse. Tapi Dandy cilik tidak menenteng mouse ke lapangan untuk bermain gobak sodor, bahkan ketika itu Dandy cilik belum memiliki mouse di rumahnya karena belum ada unsur mendesak yang diperlukan untuk memiliki benda tersebut. Menunjukkan status sosial? Barangkali. Tapi apa gunanya anak sekecil itu sudah harus memikirkan status sosial?

Rasa penasaran itu membuat saya selama 3 hari berturut-turut menunggu di halaman depan rumah ketika sore menjenguk. Apa pasal? Saya ingin melihat kegiatan anak-anak di sore hari. Tetangga tepat di sebelah kiri punya anak kelas 4 SD bernama Karel. Tetangga sebelah kanan saya memiliki anak kelas 3 SD bernama....saya lupa...hehe. Toh ketika saya menunggu sampai maghrib, saya hanya mendapati ibu-ibu tetangga hilir mudik, dan beberapa abang tukang somay dan tukang roti lalu lalang. Tidak ada Karel, tidak ada.....saya sebut saja Gufi. Padahal baru sekitar 5 tahun lalu saya masih bisa mendengar Soya, tetangga sebelah yang sekarang sudah SMA, masih berlari-lari dan bermain petak umpet bersama teman-temannya.
Dan ketika saya memergoki si Gufi yang baru pulang sekolah, itu adalah kesempatan terbaik untuk melakukan interogasi. Dengan iming-iming permen, saya coba untuk ajak dia ngobrol. Ternyata iming-iming permen tidak cukup, karena si bocah minta saya untuk menginstall game PC terbaru di komputernya baru dia bersedia diajak ngobrol. Memang hebat gaya negosiasi anak sekarang. Tapi jangan remehkan anak generasi kami yang lebih fleksibel, sayapun akhirnya bisa mengubah tuntutannya menjadi bentuk yang lebih tradisional....mengajari dia main monopoli, hehehe. Setelah interogasi, usut punya usut, bahkan dia tidak mengenal si Karel. Memang dia pernah melihat Karel, tapi jangankan tegur sapa, dia bahkan tidak tahu nama anak tetangganya paling dekat secara geografis.

Agak menyedihkan dalam sudut pandang saya, karena mereka bahkan tidak mengenali orang-orang di lingkungan sekitarnya. Namun apakah itu menyedihkan dalam sudut pandang mereka? Saya rasa belum tentu, bahkan mungkin tidak samasekali. Bagi mereka tentu ada kegiatan substitusi lain yang mampu menggantikan proses interaksi tersebut. Misalnya bermain video game, atau menonton Insert Ivestigasi, mungkin juga berlatih mengemudikan mobil di atas kecepatan 100 Km/Jam. Atau bisa jadi sebenarnya mereka tidak kehilangan proses interaksi tersebut, melainkan mereka melakukan komunikasi via pesan singkat atau saling menelepon menggunakan handphone. Who knows?
Menyedihkan hanyalah sudut pandang. Bahkan sekarang mungkin ayah saya berdecak gemas melihat saya yang menghabiskan waktu 2-3 jam beruntun di depan komputer. Hal yang untuk saya lumrah saja, namun tidak lazim bagi orang tua saya. Tenang, di sini saya juga tidak mau menghakimi bahwa anak generasi sekarang tidak lebih baik dari anak generasi kapanpun juga, ataupun sebaliknya.

Di luar soal menyedihkan, yang jelas saya berani menjamin bahwa mereka lebih melek teknologi dan melek informasi dibandingkan anak-anak generasi kami. Bahkan bisa jadi Lex Hammond yang kami kagumi, terlihat begitu bodoh dan sangat fiktif di mata mereka. Mereka tentu tidak akan percaya tindakan heroik tersebut mampu dilakukan oleh Lex, karena mereka sudah paham mengenai batasan tekonologi yang mustahil dan yang masuk akal untuk satu masa. Mana mungkin pada masa itu seorang bocah dapat semudah itu mengoperasikan sistem keamanan sebuah taman dinosaurus?
Namun ada satu hal berkebalikan yang saya juga jamin, bahwa rata-rata anak pada generasi kami lebih terlatih dan mampu bersosialisasi. Mungkin juga memiliki kebugaran yang lebih (kalau yang ini bukan jaminan, tapi asumsi..hehe). Pada faktanya teriakan kami lebih keras dan tawa kami lebih meledak saat kami tertangkap di dalam permainan petak benteng, dibandingkan teriakan dan tawa mereka saat karakter mereka tertembak mati dalam game Point Blank bukan?

Lantas, apa poin yang hendak ditekankan dalam tulisan ini? Nyaris tidak ada...hehe. Pada awalnya saya hanya ingin menulis tentang kenangan masa kecil saya. Namun pada perkembangannya, saya menemukan fakta yang menarik terkait dengan perkembangan anak jaman sekarang. Tapi sekali lagi bukan berarti saya menuding bahwa anak jaman sekarang kurang bahagia. Mereka bahagia dengan caranya sendiri, sama halnya dengan generasi ayah-ibu kita yang bahagia dengan memiliki satu saluran televisi saja. Namun sebagai perwakilan (muda) dari generasi yang lahir pada tahun 1980-an, saya dengan senang hati mengakui bahwa saya lebih menggilai Hanson ketimbang Jonas Brothers :)

1 comment:

  1. baca tulisan ini gue jadi mikir panjaaaaaaang bgt hahaha.. iya iya, gap antara generasi itu jauh banget perubahannya. we're getting old *sigh* btw update tulisannya lagi dendoooottt :D

    ReplyDelete