Tuesday, February 24, 2009

Mencoba Menguak Fenomena Alay (Not a Kind of Discrimination, Just Resolving the Conception)

*Sebelumnya gw minta maaf yang sebesar-besarnya, yang sebanget-bangetnya. Mungkin bakal ada - atau banyak- yang tersinggung dengan tulisan gw ini. Gw cuma mau ngingetin, apapun yang gw tulis di blog, semua murni pendapat dan pandangan gw (kecuali tentang "Politik" yang emang melalui riset dan penelitian..hehe). Jadi khusus untuk topik ini, gw banyak menyinggung masalah yang sensitif buat sebagian orang, terutama bagi yang merasa disebut. Kalo emang pada akhirnya, Anda yang merasa tersinggung itu, ngerasa dendam ato marah sama gw...no problem kok. Gw nulis topik ini dengan penuh kesadaran dan tau resikonya bagi mereka yang ngerasa tersinggung. Thank you buat perhatiannya



haiYyy, pa kaBar?? naMa Quw d@nDy. BoL3h keNalaN n69a???
BaLess YuPzZZzzz..... ^_^

Familiar dengan gaya penulisan kalimat seperti ini?
Pernah menerima SMS seperti ini?
Atau bahkan sering menggunakan gaya penulisan seperti ini?

Well, belakangan gaya penulisan kaya gini didiagnosa sebagai pengidap sindrom 'alay' (yang entah kenapa, istilah ini semakin menjamur pada tahun 2007 dan 2008).
Gw juga ga tau darimana asal muasal kata 'alay' itu ditemukan. Gw cuma tau bahwa pada mulanya Alay itu adalah sebuah akronim dari ANAK LAYANGAN. Kalo soal konsep anak layangan itu jadi bergeser belakangan ini...ya itu yang mau gw bahas di sini.
Yang jelas, definisi 'alay' sendiri sebenernya masih dalam struktur yang bias, kendati mungkin orang-orang secara commonsense udah bisa nge-vonis orang lain sebagai 'alay'. Bias terutama dalam segi kriteria dan batas-batas kriteria tersebut.
Kalo dari gw sendiri, alay merupakan kelompok marjinal (terutama dalam segi budaya), tapi memiliki strong willing untuk dianggap tidak lagi terpinggirkan. Yang terjadi kemudian, mereka kejebak dalam situasi dan usaha to be considered cool, yang akhirnya justru ngebuat mereka jadi makin ter-marjinalisasi kaya sekarang. (sok-sok an pake bahasa norak, yang ada malah ribet dan muter-muter).
Artinya gini..sejak awal mereka udah terdiskriminasi, tergencet dan terdoktrin oleh pikiran bahwa "anak muda harus punya gaya sendiri, harus gaul, harus ngerti semua tentang musik... That are the main things to be pretended as equal as the Jakarta's Boy that is cool, etc". Untuk itu, mereka ngerasa harus beradaptasi dengan budaya yang berkembang di tengah kalangan anak-anak 'gaul' pada masa itu. tapi entah, mungkin karena kesalahan intepretasi dan hal-hal lainnya, adaptasi itu gagal..dan makin memperlebar jurang pemisah antara mereka yang disebut 'alay', dan mereka yang tidak disebut demikian.
Hehe, masih njelimet ya? Oke gini deh....masih inget kehidupan remaja sekitar taun....2003-an?
Pernah ga lo liat alay (sesuai definisi dan konsep lo) zaman dulu? Pernah kan? Pasti pernah dong?? (maksa). Nah, apa alay zaman dulu itu bisa diidentifikasi (lagi-lagi, dengan definisi dan konsep lo) segampang sekarang? kalo tebakan gw bener....jawabannya, ga segampang itu. Mungkin emang tetep udah terklasifikasi kaya gitu di dalem image lo, tapi klasifikasi itu ga segampang sekarang kan?
Seinget gw, yang termasuk dalam golongan alay yang 'mudah untuk diklasifikasi' hanya mereka yang suka jongkok di pinggiran jalan, beberapa berambut merah, sambil kadang gonjrang-ganjreng gitar. Pas masa itu, klasifikasi itu masih sempit. Lain dengan sekarang yang kayanya konsep dan klasifikasi 'alay' itu udah mengalami generalisasi besar-besaran.
Apa sih yang sebenernya terjadi dalam kurun waktu kurang lebih 6 tahun itu (2003-2009)? Kenapa gelombang alay itu nge-trend banget sekarang? Kenapa mereka yang disebut 'alay' jadi makin terklasifikasi dalam struktur vertikal, dan bahkan menjurus ke diskriminasi?
Jujur, gw ga bisa ngasih jawaban pasti. Perlu ada penelitian khusus untuk itu (dan gwpun ngga/sedang ngga berminat untuk bikin penelitian mendalam dengan tema ini). Yang bisa gw jawab sekarang cuma berdasarkan asumsi gw semata.

Dan inilah asumsi gw itu :
Seperti yang gw bilang tadi, sejak awal mereka udah jadi kaum marjinal. Sejak kita menggolongkan mereka yang nongkrong dan berambut merah sebagai kaum sendiri. Sejak kita menuding mereka yang punya tampang rada pas-pasan dengan dandanan culun (maaf... gw sendiri juga ga ngerasa kegantengan dan stylish kok. Hanya cowo dengan muka dan dandanan biasa-biasa aja), mungkin dengan ditambahkan kata 'dekil', sebagai "anak kampung" (sekali lagi maaf, no mean to offense some classes).
Hal-hal macem gitulah yang bikin mereka jauh sejak dahulu sebenernya udah ngerasa terpinggirkan dan terdiskriminasi. Seakan mereka udah tergabung dalam sebuah kelompok yang pasti akan selalu di-nomorduakan, menerima caci-maki dan ejekan dari kebanyakan anak-anak Jakarta dan kota besar lainnya.
Lantas apa? Beberapa dari mereka punya dorongan untuk bisa diterima dengan sejajar sebagai bagian dari anak kota besar yang 'gaul'. Mungkin 'gaul' bukan padanan kata yang tepat juga sih...hemmmm, gw sendiri masih bingung nyari kata yang tepat itu. Tapi semoga lo ngertilah maksud gw (keahlian utama gw...melemparkan sebuah wacana, tanpa bertanggung jawab! haha)
Di saat zaman-zaman anak muda lain lagi ngetrend dengan baju-baju distro, mereka juga ga mau ketinggalan. Di saat musik emo lagi heboh-hebohnya, mereka juga harus ngerasa sebagai penggila dan pengidap akut musik emo. Alhasil, segala yang berbau distro dan segala yang berbau emo kerapkali jadi tolok ukur mereka untuk bisa dibilang keren.
Ngga heran kalo kemudian kita bisa mendeskripsikan orang-orang berambut 'poni lempar' ala emo (tapi 'poni lemparnya' harus lebay) sebagai seoarang alay. Bahkan juga ga cukup dengan 'poni lempar', terkadang ada juga yang dimerahin, atu di-blond cuma di bagian poninya aja. Udah gitu orangnya dekil, etc. Nah, makin kloplah kalo definisi alay dilekatkan kepada mereka.
Atau...barangkali banyak juga yang kemudian menilai alay berdasarkan merk baju, tas, dll? Temen gw pernah bilang sama gw : "Alay sekarang tuh pasti baju, tas, sama jaketnya banyak banget yang make merk B*ackID, atau Pr*shop!". Waw, apa emang demikian betulnya sampe-sampe merk clothing udah bisa dimasukkin sebagai unsur definitif alay?
Kalo gw simpulkan hanya dari dua kondisi itu, berarti orang yang berambut emo dan make clothing dengan merk di atas udah sangat mutlak didefiniskan sebagai alay dong? Hoo, terus terang gw juga makin mumet dengan konsep pemikiran kaya gini. Kenapa? Karena menurut gw cukup banyak orang yang punya style kaya gitu, tapi masih belum bisa masuk dalam alay kriteria gw. Entah kenapa, buat gw semua batas itu masih bias. Serba blur...
Lalu gimana dengan konsep bahasa mereka dalam sms? Terus terang, ada beberapa dari temen yang make gaya pengetikan kaya gitu dalam sms. Dan gw kerapkali harus mengeluarkan argumentasi defensif bahwa mereka bukan alay. Bahkan salah satu dari mereka adalah temen gw sejak kecil, dan gw tau banget kalo dia bukan alay-alay gitu. Terus kenapa kemudian gaya bahasa itu identik dengan alay? Karena toh gw yakin bahwa ada 'alay-alay sungguhan' (istilah dari mana coba?) yang ga harus menulis gaya bahasa kaya gitu dalam komunikasi mereka.
Intinya, dari semua tulisan gw yang njelimet di atas...gw berusaha untuk memaparkan semua kondisi dan permasalahan utama dalam kategoriasasi alay. Ya, masalah bias batas. Namun, pada akhir-akihrnya...gw masih aja cuma berkutat dengan satu ciri dan ciri lainnya, yang akhirnya ga bisa ngebawa gw menuju jawaban yang empiris tentang...bagaimana kategorisasi alay itu scara tepatnya. Karena,masih menurut gw, pada akhirnya emang cuma commonsense aja yang bisa bikin kita nunjuk seseorang sebagai alay. Toh pada akhirnya beberapa orang yang kita tunjuk dan maki ini istilah 'alay' ini keki berat dan ga ngerasa bahwa mereka bagian dari kelompok itu. Lalu kenapa istilah ini kemudian merujuk jadi konotasi negatif yang kemudian menggeneralisir? Sebelumnya gw udah bilang, untuk penelitian masalah ini ga bisa cuma dengan pengalamn sehari-hari doang. Perlu ada penelitian dan riset sendiri (dan sekali lagi gw tegaskan, gw ga minat meluangkan waktu untuk bikin penelitian macem begini!). Barangkali, ada yang berminat untuk ngasih pandangan lain?

Monday, February 23, 2009

Menuju Jalan Indonesia yang Demokratis dengan Reformasi Konstitusi

*Essay ini ditulis dalam rangka pengumpulan tugas untuk mata kuliah Sistem Politik Indonesia. Sebuah mata kuliah yang dibimbing oleh Eep Saefulloh Fattah. Oleh karena itu, essay ini ditujukan untuk beliau dan Anda Sekalian. Semoga berkenan! Terima Kasih



Reformasi Konstitusi dianggap sebagai sebuah langkah yang fundamental di dalam proses demokratisasi sebuah negara. Kenapa? Karena konstitusi biasanya terbentuk di dalam sebuah konteks waktu tersendiri, dan sesuai dengan perkembangan zaman di saat konstitusi itu dirancang. Hal ini berdampak langsung bagi sebuah negara, sehingga konstitusi merupakan sesuatu yang dinamis, dan mempunyai konteks yang sama seiring perkembangan zaman.. Tidak jarang konstitusi yang disusun hanya mewakili sejumlah kelompok kepentingan tertentu. Bahkan terkadang konstitusi dipersiapkan dalam sebuah ketergesa–gesaan dan waktu yang singkat, karena didesak oleh momentum pendeklarasian kemerdekaan sebuah negara. Hal ini terutama berlaku untuk negara – negara bekas jajahan, dan juga termasuk Indonesia. Oleh karena itulah, reformasi konstitusi dipandang sebagai sebuah cara yang dinamis bagi sebuah negara untuk melakukan sebuah perubahan yang mendasar, terutama yang berhubungan dengan sistem pemerintahan negara itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan proses reformasi konstitusi yang diharapkan mampu menjadi katalisator bagi proses demokratisasi di Indonesia? Bagaimana pula dengan prospeknya di masa mendatang? Saya sendiri mencoba menjelaskannya dengan membandingkan dua proses reformasi konstitusi yang sudah maupun sedang berjalan di Indonesia, lalu menggunakan satu negara pembanding ( Venezuela ), yang saya rasa sudah cukup efektif melaksanakan proses reformasi konstitusi dalam sebuah tahapan transisi demokrasi. Adapun perbandingan itu akan digunakan untuk menggali kelemahan yang terjadi dalam proses reformasi konstitusi Indonesia, dan mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Indonesia sendiri -paska Reformasi 1998- sedang mengalami proses redemokratisasi, setelah proses demokratisasi pertama berjalan pada era Demokrasi Parlementer 1950-1959. Kedua masa ini ditandai dengan upaya reformasi konstitusi UUD 1945. Reformasi konstitusi pada era demokrasi parlementer gagal, disebabkan oleh beberapa hal yang akan saya sebut belakangan.



Sejak awal, UUD 1945 yang dipersiapkan oleh tim BPUPKI dan PPKI merupakan konstitusi yang bersifat sementara dan kilat.[1] Oleh karena itu, Soekarno membentuk sebuah Dewan Konstituante pada tahun 1956 dan diketuai Wilopo.[2] Menurut saya, pembentukan sebuah dewan khusus untuk menangani reformasi konstitusi merupakan sebuah langkah yang tepat, utamanya dewan itu merupakan perwakilan dari partai-partai politik yang dianggap sebagai representasi masyarakat Indonesia. Namun pada kenyataannya, dewan ini dianggap kurang serius dalam melakukan penggarapan konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Masalah yang kerapkali terjadi adalah jumlah anggota yang hadir pada setiap rapat, selalu tidak memenuhi kuorum. Masalah berikutnya, umur negara Indonesia sendiri yang waktu itu baru genap berusia sepuluh tahun, sehingga belum memiliki dasar dan landasan negara yang kuat. Seringkali di dalam Dewan Konstituante terjadi pertentangan yang berlarut- larut antara partai dari kalangan Islam dan partai kalangan nasionalis. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Sri Soemantri, mantan anggota Dewan Konstituante, bahwa pembahasan mengenai pasal-pasal yang berhubungan dengan HAM selalu lebih cepat mencapai konsensus dibandingkan dengan pembahasan mengenai dasar negara.[3] Kedua hal inilah yang menyebabkan kinerja Dewan Konstituante selalu berlarut – larut dan selalu gagal untuk menyusun sebuah UUD yang baru. Bahkan pada akhirnya mereka selalu mengeluarkan wacana untuk kembali pada UUD 1945, dengan tiga kali melakukan voting.[4] Soekarno sendiri akhirnya tidak sabar dengan kinerja Dewan yang dinilai tidak menghasilkan apa – apa, lalu dengan resmi membubarkan dewan ini melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Proses demokratisasi Indonesia yang pertama terhenti pada fase reformasi konstitusi, dan Indonesia masuk kepada era non-demokratis pada masa Demokrasi Terpimpin.



Proses demokratisasi yang kedua dimulai paska reformasi 1998, dan masih berlanjut hingga saat ini. Terdapat beberapa perbedaan proses reformasi konstitusi pada masa ini dibandingkan pada masa Demokrasi Parlementer. Perbedaan yang utama dan sangat mencolok di sini adalah mengenai lembaga yang berwewenang dalam melakukan reformasi tersebut. Apabila Dewan Konstituante mempunyai wewenang untuk melakukan reformasi pada masa terdahulu, kini wewenang itu diemban oleh MPR. Sayangnya, penetapan MPR sebagai lembaga yang berwewenang tersebut, dianggap tidak cukup untuk mewakili masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dalam melakukan perancangan UUD yang notabene menyangkut keseluruhan hak dan kewajiban rakyat. Belum lagi apabila ditambahkan dengan argumentasi yang dilontarkan oleh Bahtiar Effendy di dalam tulisannya “Reformasi Konstitusi Sebagai Prasyarat Demokratisasi : Pengalaman Indonesia”, bahwa timbul kesan reformasi konstitusi harus disesuaikan dengan langgam dan kepentingan kerja lembaga berwewenang tersebut ( MPR ).[5] Perbedaan yang berikutnya menyangkut hasil yang diperoleh sejauh reformasi konstitusi dilakukan. Pada masa ini, hasil yang diperoleh bisa dibilang lebih baik dibandingkan dengan proses reformasi konstitusi sebelumnya. Sudah empat kali amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan ( sementara reformasi konstitusi pada era Demokrasi Parlementer menghasilkan tiga buah amandeman ). Substansi yang diubah di dalam reformasi konstitusi kedua ini juga lebih menyeluruh, dan lebih memberikan definisi dan pembatasan yang jelas terhadap tiga lembaga pemerintah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kendati demikian, bukan berarti amandemen yang dilakukan telah tepat sasaran. Salah satu contohnya adalah penggunaan prinsip bikameral pada lembaga legislatif. Konsep bikameral ini ditengarai sebagai solusi jalan tengah di antara kubu yang menghendaki perubahan bentuk negara menjadi federal (sehingga kepentingan daerah lokal dapat tersalurkan), dan kubu yang tetap menghendaki Indonesia untuk berdiri sebagai sebuah negara kesatuan.[6] Pada akhirnya reformasi konstitusi di era ini juga belum berlangsung dengan sempurna. Salah satu hal cukup mendasar yang juga saya amati adalah perihal sosialisasi amandemen itu sendiri. Mengenai sosialisasi tersebut, akan menjadi sebuah poin tersendiri yang akan saya bahas lebih mendalam pada kesimpulan tulisan ini.



Tentu akan kurang baik apabila saya merangkum dan memberikan kesimpulan mengenai reformasi konstitusi, tanpa memaparkan bagaimana bentuk reformasi ini yang sudah cukup berhasil dilaksanakan di sebuah negara. Dalam konteks negara ini, saya cukup tertarik untuk menggunakan negara Venezuela sebagai salah satu contoh umum.



Sebelum masuk kepada pembahasan mengenai reformasi konstitusi dan transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia, saya ingin memaparkan tiga cara dilaksanakannya reformasi konstitusi yang dikemukakan oleh I Made Leo Wiratma.[7] Ketiga cara tersebut adalah Amandemen yang berarti langkah penyempurnaan terhadap pasal – pasal tertentu dari konstitusi tanpa mengubah ketentuan aslinya.[8] Kemudian yang kedua adalah perubahan, yaitu langkah yang mengubah pasal – pasal tertentu dari konstitusi, bahkan terhadap substansinya sekalipun.[9] Cara yang terakhir adalah penggantian konstitusi secara keseluruhan.[10]

Venezuela sendiri mengalami reformasi pada tahun 1998. Aktivis politik Hugo Chavez ( selanjutnya menjadi presiden ), kerapkali mengkampanyekan sebuah langkah reformasi konstitusi dalam rangka pembentukan negara Venezuela yang lebih demokratis, setelah mengalami desakralisasi pemerintahan. Pada tahun 1999, referendum dilemparkan kepada masayarakat, untuk mengetahui seberapa jauh keperluan masyarakat membentuk sebuah Majelis Konstituante dalam wacana pembuatan kembali konstitusi Venezuela. Referendum disetujui, dan kemudian langsung diadakan pemilihan anggota masyarakat yang akan duduk di dalam majelis tersebut. Dengan demikian, Majelis Konstituante resmi terbentuk dan terpilih anggotanya pada 25 Juli 1999.[11] Majelis ini melibatkan partisipasi dari masyarakat terbawah sekalipun melalui diskusi, untuk membantu dalam menyusun konstitusi yang dinilai mewakili hak dan kewajiban rakyat. Hebatnya, pada bulan Desember, konstitusi yang baru ( diberi nama Konstitusi 1999 ) sudah terbentuk dan menggantikan Konstitusi 1961.[12] Substansi yang dikandungpun juga pada akhirnya berbeda samasekali dengan Konstitusi 1961, dan benar-benar menjadi sebuah konstitusi yang dibutuhkan Venezuela pada masa ini.



Contoh singkat dari reformasi Venezuela memberikan banyak pandangan kepada saya, bahwasanya reformasi konstitusi yang mendekati kesempurnaan bukan hal yang mustahil untuk dilakukan Indonesia pada masa kini. Jangan membandingkan waktu tempuh yang dialami Venezuela untuk mensukseskan reformasi konstitusi ( kurang lebih 6 bulan ), dengan yang terjadi di Indonesia selama hampir sepuluh tahun. Perbedaan waktu itu diakibatkan oleh berbagai macam faktor yang kurang tepat untuk dipaparkan di sini. Salah satu hal yang menurut saya perlu untuk dilakukan Indonesia saat ini adalah kembali membentuk dewan atau majelis terpisah dari lembaga legislatif ( MPR ), yang berwewenang untuk menyusun perubahan (atau bahkan penggantian) UUD 1945 itu sendiri. Hal ini terkait dengan beberapa argumen di awal tulisan, dan disertai dengan adanya optimisme bahwa lembaga mandiri ini berpotensi untuk bekerja lebih fokus dalam pelaksanaan reformasi konstitusi ini. Selain itu, wacana untuk membuat konstitusi yang lebih steril dari kepentingan lembaga–lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif pemerintah juga lebih dapat terakomodasi dengan adanya dewan/lembaga/majelis otonom ini.

Poin yang berikutnya adalah, bahwa Indonesia masih terkesan ragu – ragu dengan bentuk perubahan yang dikehendaki. Saya memang tidak memberikan gagasan untuk membuat sebuah konstitusi cair seperti yang digunakan Australia dan bahkan Inggris. Tapi setidaknya jadikanlah konstitusi ini menjadi sebuah objek yang fleksibel, dalam artian bahwa bentuk perubahan yang sangat mendalam diperlukan di sini. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk membentuk sebuah UUD baru pengganti UUD 1945, apabila memang diperlukan. Apalagi, tidak seperti masa Demokrasi Parlementer, gagasan dan pertikaian soal dasar negara yang kerap menghambat proses reformasi tidak terasa segencar dulu. Artinya, UUD yang dikembangkan ini tidak melulu harus terbentur pada masalah fundamental seperti itu, namun juga harus banyak memajukan unsur hak dan kewajiban warganegara. Hal inilah yang kemudian menentukan besarnya partisipasi politik masyarakat di dalam suatu negara.



Yang menjadi masalah berikutnya adalah sosialisasi. Jangankan sosialisasi soal amandemen yang sudah dilakukan, substansi dari UUD 1945 yang masih terlampau sederhanapun hanya diketahui oleh minoritas masayarakat di negara ini. Rakyat kebanyakan masih tidak tahu tentang hak dan kewaijaban mereka terhadap negara, bisa jadi justru tidak peduli. Kalau sudah begitu, bagaimana mereka bisa diharapkan untuk menjadi masyarakat yang turut aktif dalam proses politik? Saya sendiri pernah melihat sebuah film mengenai Venezuela yang berjudul No Volveran. Di film itu digambarkan bagaimana masyarakat Venezuela, bahkan samapai kepada komunitas terbawah, turut aktif dalam penyusunan konstitusi dan kondisi perpolitikan yang tengah berlangsung di Venezuela. Hal itu terjadi karena mereka memahami sepenuhnya bagaimana proses demokratisasi berjalan, dan apa substansi dari konstitusi yang kiranya melibatkan mereka. Bagaimana masyarakat bisa mengetahui substansi tersebut? Ternyata pemerintah Venezuela mencantumkan pasal – pasal konstitusi yang berisikan hak dan kewajiban mereka pada setiap bungkus produk yang mereka beli. Jadi terbukti, bagaimana sebuah sosialisasi yang baik mengenai konstitusi dapat meningkatkan kesadaran berpolitik masyarakat, yang ke depannya menjadikan proses demokratisasi menjadi lebih baik. Karena pada dasarnya, esensi demokrasi adalah tingginya peran serta masyarakat di dalam sebuah negara.



Sebagai penutup, saya ingin mengeluarkan pendapat akhir mengenai bagaimana alur yang kiranya diperlukan Indonesia dalam rangka suksesi reformasi konstitusi. Yang pertama adalah masalah sosialisasi, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sadar akan pentingnya hak dan kewajiban mereka di dalam sebuah negara. Seiring dengan meningkatnya kesadaran tersebut, lahirnya sebuah dewan atau majelis otonom untuk melakukan reformasi konstitusi, harus mulai digagas. Melakukan reformasi terhadap sebuah konstitusi bukan merupakan hal yang bisa dilakukan sembari mengurusi masalah ketatanegaraan lainnya. Bukan juga masalah yang bisa dilaksanakan hanya oleh segelintir masyarakat di lembaga legislatif, yang juga hanya mewakili segelintir kepentingan yang menggebu-gebu. Proses yang kompleks ini akan jauh lebih baik apabila ditangani oleh lembaga otonom yang diharapkan benar – benar mewakili dan akan merangkum semua hak dan kewajiban rakyat. Mengenai cara perubahan, saya memiliki kecenderungan berpendapat untuk melakukan penggantian menyeluruh seperangkat konstitusi yang dimiliki Indonesia sejak 64 tahun silam. Tidak begitupun, perubahan pasal (asalkan masih sesuai konteks dan berlaku seiring perkembangan zaman sekarang) juga sebenarnya cukup. Hanya saja terkadang implementasi amandemen di Indonesia ditanggapi kurang serius, seiring dengan munculnya asumsi bahwa reformasi konstitusi ini juga dilakukan dengan tidak serius. Konstitusi (utamanya UUD 1945) memang suatu hal yang kerapkali dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Namun bukan berarti tidak memiliki fleksibilitas untuk berubah. Karena pada dasarnya, sebuah konstitusi dibentuk untuk memberikan guidance kepada sebuah negara. Namun guidance tersebut tidak selalu akan bertahan seiring dengan berkembangnya zaman, dan terkadang pula mutlak diperlukan perubahan agar konstitusi tidak lekang dimakan waktu.

Daftar Pustaka


Sumber Buku dan Jurnal

Effendy, Bahtiar. Reformasi Konstitusi Sebagai Prasyarat Demokratisasi : Pengalaman Indonesia”, dalam Analisa CSIS. Jakarta : Centre For Strategic and International Studies, 2000



Lijphart, Arend. Refleksi Lima Tahun Amandemen UUD 1945 : Menyempurnakan Konstitusi, Memberantas Korupsi, dalam Patterns of Democracy : Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. London: Yale University Press, 1999 (Terjemahan)



Soyomukti, Nurani. Chavez Vs. Amerika Serikat. Yogyakarta : Penerbit Garasi, 2008



Wiratma, I Made Leo. “Reformasi Konstitusi : Potret Demokrasi dalam Proses Pembelajaran”, dalam Analisa CSIS. Jakarta : Centre For Strategic and International Studies, 2000



Sumber Majalah



“Panas di Sidang, Akrab di Luar”, Tempo, 17 Agustus 2007



[1] I Made Leo Wiratma, “Reformasi Konstitusi : Potret Demokrasi dalam Proses Pembelajaran”, dalam Analisa CSIS, ( Jakarta : Centre For Strategic and International Studies, 2000 ), 402-403

[2] “Panas di Sidang, Akrab di Luar”, Tempo, 17 Agustus 2007, 40-42

[3] Ibid, 41

[4] Ibid, 40

[5] Bahtiar Effendy, “Reformasi Konstitusi Sebagai Prasyarat Demokratisasi : Pengalaman Indonesia”, dalam Analisa CSIS. ( Jakarta : Centre For Strategic and International Studies, 2000 ), 397

[6] Arend Lijphart, “Refleksi Lima Tahun Amandemen UUD 1945 : Menyempurnakan Konstitusi, Memberantas Korupsi, dalam Patterns of Democracy : Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. (London: Yale University Press, 1999) (Terjemahan), 18

[7] Wiratma, Op. Cit, 401

[8] Ibid, 403

[9] Ibid, 404

[10] Ibid, 404

[11] Nurani Soyomukti. Hugo Chavez Vs. Amerika Serikat. ( Yogyakarta : Penerbit Garasi, 2008 ), 78

[12] Ibid, 78

Thursday, February 12, 2009

Dunia Berperang ( Part II : Dan Tuhan Memberikan Ilmu Pengetahuan sebagai Berkah dan Kutukan )

Sekelumit cerita mengenai perjuangan Easy Company dalam perang dunia II ( baca Dunia Berperang Part I : Currahee ) hanyalah sebagian kecil dari perjalanan perang yang sudah dialami dunia selama ratusan, bahkan ribuan, tahun. Sebelum perang dunia ke II, tentu dunia saat itu masih teringat dengan hingar bingar perang dunia I (1914-1918) yang diawali dengan terbunuhnya pangeran Franz Ferdinand dan diakhiri dengan kekalahan telak Jerman beserta blok fasis Triple Entente. Apabila ditarik labih jauh ke belakang, sejarah setiap perang sudah dimulai sejak zaman prasejarah dan purbawi. Perang manusia purba yang ditengarai langsung memusnahkan spesies Cro Magnon, lalu ribuan tahun kemudian saat Caesar berambisi menguasai desa Gaulle (Galia) di Prancis, perang salib selama masa Dark Ages dalam kurun waktu 10 abad, perang besar kemerdekaan Jepang - Rusia 1907, dan contoh lain yang terlalu banyak untuk disebutkan. Pasca perang dunia II pun, lembaran sejarah masih turut diisi dengan berbagai tinta hitam peperangan seperti perang Vietnam, perang gurun (Operation Dessert Storm) dan belakangan, perang Israel - Palestina yang bahkan akarnya sudah dimulai sejak puluhan tahun silam.
Gw yakin bahwa butuh sebuah catatan dengan ribuan halaman hanya untuk mendeskripikan sebagian dari semua perang yang sudah terjadi di dunia ini. Inti dari terjadinya sebuah peperangan sebenernya hal yang sederhana. Perebutan kekuasaan, pengukuhan dominasi dan hegemoni, dan hal-hal lainnya yang menjadi sifat alamiah manusia.
Satu hal yang menjadi asumsi (dan kemudian menjadi catatan) pribadi gw. Peranglah yang menyebabkan sebuah lompatan dan kemajuan teknologi. Gw tidak menyebutkan kemajuan peradaban, tapi sekali lagi gw garis bawahi...kemajuan teknologi.
Untuk bukti otentik mengenai perkembangan zaman prasejarah dan sebelum masehi, gw akui bahwa gw cukup mengalami kesulitan untuk memaparkan di sini secara gamblang. Tapi gw yakin, bahwa untuk ukuran perkembangan teknologi zaman itu, terjadi sebuah regresi besar-besaran yang diakibatkan oleh peperangan. Oke, untuk pembuktian pertama gw akan coba melihat di abad 19. Alfred Bernhard Nobel pada mulanya adalah seorang ilmuwan, dan kemudian dikenal memiliki reputasi yang tinggi dalam penciptaan bahan peledak pada masanya. Ia memiliki pabrik peledak yang yang mulanya digunakan untuk penggalian tambang, penghancuran gedung, dan lain sebagainya. Pada saat Swedia berperang, ia diminta pemerintah Swedia, membuat sebuah peledak yang efektif untuk menenggelamkan kapal laut. Apa yang terjadi? Hanya butuh beberapa tahun yang singkat baginya untuk menemukan ranjau laut. Sebuah ranjau yang mempu mengambang pada ketinggian tertentu, dan dapat disebar di dalam laut seluas-luasnya. Sebuah konsep yang awalnya tidak terpikirkan oleh siapapun, namun pada akhirnya mengalami perkembangan besar-besaran, sehingga terbentuk varian ranjau darat, dan lain sebagainya.
Atau bagi Anda penggemar perang dunia ke II? Tentu masih ingat dengan peristiwa D-Day 6 Juni 1944 yang sudah saya singgung dalam tulisan sebelumnya? Sekutu saat itu benar-benar membuat penemuan militer besar-besaran. Kendaraan Amfibi, pasukan penerjun payung, selang penyalur bahan bakar yang tersambung dari benua Amerika ke Eropa dan ditanamkan di bawah laut ( seinget gw, beken dengan nama PLUTO. Pipe Line Under The Ocean ), hingga sebuah tank dengan atap rata yang bertujuan sebagai pijakan tank tempur untuk medan berlumpur yang sulit untuk dilewati tank tempur tersebut. Pihak Jerman sendiri bahkan sempat membuat sebuah kapal selam terbesar dan paling menakutkan yang sayangnya (untungnya) belum sempat diluncurkan. Gw sendiri lupa dengan nama kapal itu... Perang Vietnampun juga ditandai dengan era penggunaan helikopter di dalam perang untuk pertamakalinya. Siapa yang tidak berani berfantasi bahwa mungkin saja akan terjadi teknologi yang jauh lebih futuristik selama perang masih berkecamuk?

Nyatanya, perkembangan teknolgi makin lama makin berkembang ke arah yang menguntungkan sekaligus menyeramkan, terutama di bidang militer.
Siapa yang menyangka bahwa alokasi dana pengembangan militer Amerika ternyata masih jauh lebih besar daripada alokasi dana militer di 8 negara yang merupakan 'musuh potensial' Amerika? Total akumulasi alokasi 8 negara itu hanya mencapai seperempat dari alokasi yang diajukan Amerika! (data detil dan sumber, akan gw cantumin belakangan).
Sekarang udah ada roket dan nuklir yang bahkan dimiliki negara-negara timur tengah. Udah ada satelit yang bisa meluluhlantakkan sebuah negara, hanya dengan mengeset koordinat negara yang dituju. Ibaratnya, kalau dahulu London diserang sampai hancur oleh Jerman dengan roket V2nya, saat mengirimkan tentaranya dalam pasukan sekutu, sekarang Jakarta bisa langsung hilang dari peta kalo pasukan jihad Indonesia turut ngotot, radikal, dan militan berperang di medan timur tengah.

Ya, Tuhan memberikan manusia kemampuan untuk mengembangkan teknologi yang sekaligus mampu mengembangkan peradaban. Namun siapa sangka, kemajuan itu juga mampu mendatangkan potensi yang justru dapat melenyapkan peradaban itu sendiri?

Dunia Berperang ( Part I : Currahee )

Bagi Anda penggemar cerita dan film dengan tema perang dunia kedua, pasti familar dengan kata itu. Ya, itu adalah semboyan Easy Company, sebuah kompi dari Infantri Tempur Penerjun Payung Divisi 502 Amerika Serikat, pada perang dunia II. Gw pun sebagai salah satu penggemar fanatik jalannya perang dunia II, ga pernah lepas dari cerita heroik seputar para pahlawan perang.
Semboyan Currahee sendiri merupakan semboyan yang lahir ketika kompi ini berlatih pada sekitar tahun 1942. Sebuah semboyan perjuangan, yang mewakili sifat 'bertempur tanpa menyerah'. Dalam konteks yang berbeda, mungkin semboyan ini dapat dianalogikan sebagai teriakan ''AllahuAkbar" para laskar Jihad, maupun pekik "Merdeka atau Mati!" pejuang bambu runcing Indonesia.
Currahee dan cerita seputar Easy Company itu dapat diikuti dalam bentuk novel dan mini seri sejumlah 9 keping vcd (dan harus diakui, lagi-lagi sebagai penggemar dan pengikut cerita seputar perang dunia ke II, gw juga punya koleksi novel dan vcd itu..hehe, pamer dikit aaah). Namun, di sini gw ga mau ngebahas perihal film maupun novel itu. Anggaplah sedikit kisah mengenai Richard Dick Winters dan anak buahnya tersebut sebagai pengantar dari tulisan yang mau gw sampaikan...
Kompi yang dipimpin Letnan Winters (selanjutnya menjadi Mayor Winters) ini berada di medan perang Eropa selama kurang dari satu tahun. Mereka diterjunkan sebagai pasukan penerjun payung (paratroops) pada D-Day 6 Juni 1944, saat dimana semua kekuatan sekutu disiapkan untuk menggempur Eropa yang sudah hampir dikuasai Hitler (satu-satunya perjuangan paling kuat dan gagal dicapai Hitler hanyalah Rusia dan peristiwa Red Square-nya). Sekutu menggempur Eropa melali serangan darat, laut, dan udara secara serempak pada satu lokasi yang terpusat, yaitu pantai selatan Prancis. Sebuah peristiwa bersejarah yang sanagt menentukan hasil dari perang dunia II dan juga....nasib dunia setelahnya.
Dari kurang lebih 120-an orang yang diterjunkan pada saat D-Day, kompi ini hanya menyisakan sekitar 60-50 an orang lamanya (orang-orang yang telah dilatih sejak 1942), pada saat V.E Day (Victory over Europe) sekitar Mei 1945. Ada yang meninggal setelah terhunus bayonet, terkena ledakan mortar, tembakan sniper, terkena granat, dan bahkan meninggal sebelum mereka sempat untuk terjun keluar dari pesawat saat D-Day (Pesawat mereka meledak terkena tembakan, bahkan sebelum seorangpun berhasil keluar pesawat. Diantara mereka yang meninggal dalam keadaan ini, terdapat Letnan Thomas Meehan selaku pemimpin utama Easy Company. Winters adalah pengganti Meehan yang terbunuh di dalam pesawat ini).



Keterangan Gambar : Pasukan Paratroops yang terjun pada saat Operasi Market Garden. Titik - titik kecil dibelakang juga memperlihatkan semua Paratroop yang turut terjun dalam Operasi ini. Penerjunan pasukan pada D-Day ratusan kali jauh lebih banyak dibandingkan yang terfoto dalam Operasi Market Garden ini


Mungkin bagi Anda yang sudah melihat filmnya, akan ngeri sekaligus terkesan melihat visual effect yang ditampilkan film ini saat menggambarkan kompi ini sedang digempur mortar di Bastogne. Ya, adegan kaki putus dan menggantung, dengan darah menyebar di tengah tumpukan salju..mungkin masih segar di tengah ingatan Anda.
Pun begitu, kompi ini tetap bertahan sampai akhir, dan tercatat sebagai salah satu kompi terbaik (secara statistik) yang berjuang mati-matian di dalam perang itu. Ya, mengandalkan semboyan Currahee dan semangat saling melindungi, mereka bertahan menghadapi tembakan mortar, serangan tank, berondongan machine gun (beken dengan tipe MG-42 pada zaman ini), hunusan bayonet, serta incaran penembak jitu.
Masalahnya....apa harga yang harus mereka bayar untuk mendapatkan kemenangan gemilang itu? Cukupkah semboyan Currahee sebagai penukar nyawa puluhan anggota kompi tersebut yang rata-rata baru berusia 20 tahun itu?
Tentu sebagai orang yang tidak terlibat langsung dalam perang itu, gw bisa berkata bahwa "nyawa mereka tidak sia-sia, karena mereka telah mengubah nasib dunia secara keseluruhan", atau kalimat lainnya yang berintikan simpati dan duka, namun tetap memberikan persetujuan atas apa yang sudah terjadi.
Ya, mungkin itu memang benar adanya. Perang Dunia II telah berakhir dengan andil Easy Company dan juga jutaan prajurit lainnya, baik dari satuan infanteri, artileri, dan sebagainya. Di satu sisi, Perang Dunia II juga berakhir juga setelah merenggut jutaan nyawa lainnya, baik tentara maupun penduduk sipil.

Well, kira-kira seperti itulah pengantar gw menuju tulisan berikutnya (hehe, mungkin kepanjangan juga sih. Tapi entah kenapa, gw selalu bersemangat kalau membicarakan obrolan seputar sejarah dan peristiwa Perang Dunia II). Selanjutnya, silakan baca terusannya pada part berikutnya...

Tuesday, February 10, 2009

Kapitalisasi, Penjajahan di Dunia Modern

Penjajah ga melulu cuma berwujud orang Belanda yang dipanggil Meneer terus minta upeti rakyat terus. Dan juga ga melulu orang bentuknya orang Jepang yang hobinya ngasarin dan mukulin wong cilik.
Ya, mungkin hampir semua orang tau dengan konsep itu.
Tapi walaupun begitu, rata-rata penjajahan dalam lintas regional itu punya beberapa motif utama yang kurang lebih ga jauh beda. Yang pertama, masalah keuntungan geografis. Hal ini terutama berlaku di tengah-tengah masa perang. Motif penjajahan negara bisa dilatarbelakangi letak negara itu yang menguntungkan untuk distribusi supply bahan makanan dan senjata, pembangunan pangkalan bersenjata, dan lain-lain. Namun motif yang kedua, merupakan motif yang juga kerapkali dianut, baik murni dengan tujuan itu, maupun sebagai turunan dari motif yang pertama tadi. Apakah itu? Kepentingan ekonomi.
Belanda mulai menjajah Indonesia karena sumber rempah (pastinya udah bosen denger ini sejak SD sampe sekarang). Pertama yang menguasai adalah kongsi dagang bernama VOC (yang ini juga pasti selalu keluar di soal IPS SD). Akhirnya VOC bubar, dan Indonesia diambilalih oleh pemerintah Belanda. Bahkan sampet juga dibawah pemerintahan Kekaisaran Prancis, saat Napoleon menguasai hampir seluruh eropa termasuk Belanda. Sebenarnya apa yang diharapkan Belanda dari Indonesia? Well, Indonesia diperlukan belanda untuk mengisi kas negaranya yang abis-abisan gara-bara perang. Alasan ekonomi...
Jepang? Awalnya memerlukan Indonesia sebagai 'sekutu' dan salah satu pangkalan pertahanan Jepang. Terutama di pulau Kalimantan dan Papua, dalam kepentingan Jepang untuk memenangkan perang Asia Pasifik. Tapi ujung-ujungnya sama aja. Jepang butuh Indonesia untuk nutup kerugiannya selama perang. Untuk irit, Jepang juga mendayagunakan minyak bumi dan tanaman jarak yang diproduksi di Indonesia. Lagi-lagi alesan ekonomi.

Hehe, dua contoh di atas cuma ilustrasi dan pembuka kok dari inti yang mau gw ceritain (jangan keburu muak dulu ya...haha).
Dewasa ini, penjajahn dengan motif ekonomi juga marak terjadi, terutama di dalam sistem perburuhan. Tapi jangan dibayangin buruh yang dicambukkin, ga dikasih makan berhari-hari dll. Buruh itu tetep ga bisa ngelawan, karena situasi dan kondisi ekonominya yang sangat buruk. Ironis, mereka dengan terpaksa memilih untuk dijajah seperti ini.
Oke, gw ambil contoh dengan kasus yang terjadi di Ethiopia. Pasti Anda tau dengan Starbucks kan? Mungkin juga Anda penikmat setianya. Pasokan kopi utama Starbucks berasal dari perlebunan Ethiopia yang digarap oleh petani lokal. Sekarang, harap baca ini baik-baik :

Sesuai dengan kesepakatan, petani menjual kopi kepada Starbucks dengan harga 0.5$ per kilogram kopi. Menurut perhitungan, satu kilogram kopi ditaksir bisa untuk membuat kurang lebih 60 gelas/cangkir kopi ukuran standar Starbucks. Berapa harga kopi Starbucks yang dijual ke masyarakat? Antara 1.5$-2$ pergelas/cangkirnya!
Oke, mungkin ada argumen bahwa pihak Starbucks juga harus mempertimbangkan adanya biaya lain seperti gula, creamer, gaji pegawai, ongkos sewa tempat, royalti, dll. Tapi coba kalikan 60 gelas dengan 1.5%, maka Anda akan mendapat angka 90$ (itu pendapatan minimum, bukan dengan pengali 2$). Apakah semua ongkos lain di luar biji kopi itu sebesar 89.5$ perkilogram? Sangat mustahil. Petani Ethiopia sangat layak untuk mendapat harga jauh di atas itu. Mereka terjebak dalam situasi ekonomi negara mereka yang sangat lemah. Satu-satunya opsi yang ditawarkan kepada mereka, hanya menerima harga itu. Penjajahan kapitalisasi.

Masih kurang contoh? Baik, contoh yang kedua gw akan menggunakan negara Indonesia. Gw dapet info ini setelah ngeliat film dokumenter Amerika (entah judulnya apa, dan sekarang masih gw cari-cari). Detail harganya pun kurang lebih, karena gw juga agak lupa. Yang jelas ga jauh dari angka itu. Oke, sebuah produsen sepatu olahraga dunia bermerk terkenal (katakan saja namanya Mawar..hehe. Anggep aja X deh, soalnya ga etis kalo berhubungan sama buruh Indonesia) mempunyai basis produksi di Indonesia. Sepatu itu dijual dengan harga dengan range 40$-60$ (kurang lebih Rp 450.000,- s/d Rp 650.000,-). Para buruh pembuat sepatu itu biasanya menerima order penjahitan sol sepatu. jam kerja mereka juga terdapat dalam kontrak. Yaitu short shift dan long shift. Gw lupa jam kerja short shift, yang jelas untuk long shift mereka harus kerja selama 36 jam dengan jam istirahat 8 jam saja! Bagaimana dengan upah mereka? Mereka mendapat Rp 1.250 (kurang lebih 110 sen atau hampir sepersepuluh Dollar) untuk persatu sol yang mereka jahit. Jadi kalau mereka menjahit sepasang, mereka hanya memperoleh sekitar Rp2.500,oo atau hampir seperlima Dollar saja! Padahal, apabila ditotal dengan semua bahan dan ongkos, satu sepatu merek tersebut tidak sampai Rp 100.000,00. Waw! lagi-lagi terjadi penjajahan di sini. Dan lagi-lagi penjajahan itu memanfaatkan celah-celah yang disebut dengan 'himpitan ekonomi'. Diprotespun, mereka bisa berargumen bahwa para buruh setuju dengan klausul kontrak yang telah ditawarkan... Cara yang cerdik namun licik. Dan lagi-lagi...penjajahan kapitalisme.

Gw rasa, kedua contoh itu cukup untuk ngegambarin apa yang terjadi di dunia industri belakangan ini. Masih banyak contoh yang lain misalnya di Cina, pertambangan emas Sierra Leone di Afrika, dan banyak sekali yang berasal dari Indonesia. Sulit untuk keluar dari keadaan ini, karena masalahnya sudah mengkompleks dan menyangkut masalah global dan lintas batas negara. Pemanfaatan bisa terjadi kapan saja. Bahkan menurut beberapa ahli ekonomi, dan politik, Globalisasi perdagangan yang terkenal dengan patron free trade bisa berubah menjadi unfair trade selama keadaan yang begini terus terjadi.

Politik itu Seperti Udara

Hari ini, gw mendapat kuliah yang sangat inspiratif sekali (dan juga satu semester ke depan, selama tiap senin). Kenapa? Dosen yang mengajar gw benar-benar orang cerdas, bisa membangkitkan motivasi, dan yang terpenting....idealis dan nasionalis sekali!
Ya, namanya Eep Saefulloh Fatah. Mungkin nama ini udah akrab di telinga Anda. Ya, beliau adalah pengamat politik (yang juga pernah terjun ke dunia politik praktis), dan seringkali diundang menjadi pembicara di berbagai seminar bergengsi (baik dalam negeri maupun luar negeri), serta bermacam televisi.
Hari ini pula, ada satu bagian pernyataan yang buat gw sangat bagus sekali, dan pingin gw quote.

"Kita semua adalah pelaku politik, namun berdasarkan persentase masing-masing. Ingat, penuntutan hak dan perjuangannya juga merupakan sebuah proses politik. Anda tidak akan pernah lepas dari politik, terlepas dari suka-tidak suka dan peduli-tidak pedulinya anda terhadap politik. Masalahnya, politik itu seperti udara. Kotorpun Anda harus tetap hirup, tidak mungkin Anda terus-terusan menahan nafas. Contohnya ketika kebijakan kenaikan harga BBM diberlakukan. Walaupun Anda meyakinkan penjaga pom bensin bahwa anda bukan pendukung pemerintahan SBY-JK, hal itu tidak akan berpengaruh. Anda tidak mungkin membayar kurang dari orang lain dengan argumen tersebut. Kenapa? Karena politik dalam berbagai tingakt sudah memasuki aspek kehidupan, bahkan ke bagian terkecilpun. Satu-satunya yang bisa Anda lakukan kalau Anda peduli dengan kebersihan udara itu adalah, membersihkannya sedikit demi sedikit"

Mungkin terdengar biasa, dan perumpaan yang ga aneh juga. Tapi yang jadi ga biasa adalah, kata-kata itu dikeluarkan oleh Mas Eep. Seorang yang gw cukup kenal betul kredibilitasnya. Seorang yang pernah merasakan duduk di bangku MPR hanya untuk 2 bulan, karena tidak bisa mentolerir praktek dan kebusukan yang ada di lingkungan itu. Kata-kata yang terdengar lebih kuat, karena didasarkan kepada prinsip yang kuat.
Nyatanya, beliau termasuk salah satu tokoh pemuda yang menggerakan reformasi. Dan gwpun cukup sepaham tentang ketidaksiapan Indonesia menanggung reformasi yang kebablasan, keterbukaan terhadap gerontokrasi, dan lain-lain. yang ngebuat gw makin senang, gw memikirkan ketidaksetujuan itu jauh sebelum beliau ngomong sendiri ke gw. Ibaratnya...gw mengeluarkan pendapat beserta argumen yang kemudian didukung penuh oleh Eep Saefulloh. Waw....puas, dan gw makin percaya bahwa beliau adalah salah satu tokoh yang sangat mungkin membangun bangsa ke arah yang baik (terutama, sesuai dengan keinginan gw..mengingat gw punya beberapa kesamaan pendapat, dan posisi beliau di politik sudah sangat diakui).
Selamat berjuang Mas Eep! Sampai jumpa di kuliah berikutnya!

Monday, February 9, 2009

Hari ini Rasanya Udah Kaya Jadi Mayat Hidup

Malam menunjukkan pukul 22.00, hari Sabtu 8 Februari 2009.
Gw memulai untuk ngerjain tugas review mata kuliah perbandingan politik. Ya, sekilas mungkik tugas review itu mudah, namun menjadi tidak kalau bahan bacaannya itu cukup berat, cukup banyak. terlebih, review itu dibatasin cuma boleh sampe kurang lebih 400 karakter. Padahal ada sekitar 50 halaman dengan huruf kecil-kecil. Bayangin, memadatkan kurang lebih jutaan karakter itu cuma jadi 400 karakter.Ya jutaan karakter yang semua isinya tampak penting. Bagian mana yang harus gw eliminasi biar cuman jadi 400?? Terlebih, sifatnya critical review, dimana gw harus ngeliat dengan kritis bacaan itu, bahkan kalo perlu menemukan kelemahan argumantasi dari para penulis jenius tersebut. Berat.....
Oke, dari jam 22.00 hari sabtu, proses itu baru selesai jam 06.00 hari minggunya. Dan gw ada janji untuk sparring futsal di Kelapa Gading jam 10.00. Kumpul dirumah temen gw (Ica) jam 09.00. Alhasil, gw ga berani tidur karena takut ga bisa bangun untuk kerumah Ica. Mau ga mau, mata harus tetep melek. Walaupun udah ngantuk-ngantuk, mata ngantong, lemes bgt, akhirnya gw berhasil nyampe rumah Ica dan berangkat ke Gading. Sesampainya di sana, gw makin teler. Jalan udah agak lemes sempoyongan, dan gw harus ngeladenin lawan sparring dengan badan rata-rata dua kali lipat gedenya daripada gw...selama full dua jam! Whew...bisakah gw melewatinya?
Sesuai perkiraan, walaupun tim kami (kemsot FC) main bagus dan menguasai game, gw tampil amat buruk. Ga bisa konsen, lemes, lari selalu kalah cepet, adu body selalu keteteran, dan tendangan selalu pelan dan ga terukur. Beberapa kali juga gw melakukan kesalahan yang berujung pada bobolnya gawang tim gw...hemmm,permainan nan buruk. Gw bener-bener ga bisa ngapa-ngapain.
Hal itu ditambah lagi dengan pesta gol yang dilakukan oleh Kemsot FC. Begitu banyak gol yang kami cetak. Dan bahkan, 7 dari 8 orang pemain kami semuanya udah bikin gol. Tebak siapa satu orang yang ga belum bikin? Ya....gw!! Untungnya gw tetep punya hoki hari itu. Walaupun udah tepar-tepar main hampir 2 jam, akhirnya gw sempet bikin gol juga! Haha, berawal dari temen gw yang minta dikasih umpan bola atas buat dia sundul. Kebetulan posisi temen gw berada persis di depan gawang musuh. Dari daerah gawang gw sendiri, gwpun mengirim bola seperti yang temen gw minta. Umpan lambung ke arah depan gawang lawan. Sialnya (atau untungnya), walaupun arahnya tepat ke temen gw yang nunggu di depan gawang musuh, umpan gw itu terlalu keras untuk disundul temen gw itu. Tapi justru di sini keberuntungan gw. Ternyata bola itu malah langsung meluncur mulus ke gawang lawan. Hehe, jadinya malah tampak kaya gol jarak jauh yang indah...untung bola itu ga kesundul temen gw. Alhasil, teparpun gw masih ga malu karena ga jadi satu-satunya orang yang ga turut serta dalam pesta gol itu.
Main dua jam dengan kondisi kaya gitu....ya, nyiksa bgt. Ga tidur semaleman ditambah harus lari mulu selama dua jam bener-bener bikin gw udah ga kuat bahkan cuma buat jalan.
Pulangnya, kita kembali mampir kerumah ica. Kebetulan doi baru ultah minggu lalu. Dan anak-anak udah nyiapin telor buat nyeplokin dia. tapi emang dasarnya pada pelit, telor yang disiapin cuma 2 biji!! Apa serunya? Tapi biarlah, toh gw yang diberi amanat untuk mengemban tugas mulia sebagai penceplok itu.
Walaupun dengan berjalan susah payah, gw berhasil nyeplok 2 telor itu tepat dibelakang kedua kepalanya dia. Satu yang gw lupa, siap-siap buat kabur karena dia udah menyiapkan rambutnya yang busuk telor itu untuk dipeper ke orang-orang (terutama gw sebagai suspect utama!). Orang ini larinya kenceng dan kuda. Trus gimana biar gw yang punya kondisi terlemes ini bisa kabur dari dia?? Akhirnya, mau ga mau gw lepas sandal....supaya bisa lari lebih cepet lagi. Dan lagi-lagi, di tengah kehilangan semua tenaga kaya gitu, gw harus sprint sekuatnya demi menghindar dari peperan telor busuk. Emang sih akhirnya gw lolos, tapi kondisi gw justru jauh lebih ngedrop lagi! Pusing-pusing udah kaya mau muntah, cape bgt.....kacau.
Gw udah kaya jadi zombie, jadi mayat hidup. Berjalan sempoyongan tanpa kesadaran. Bahkan untuk pulang kerumah aja gw ga punya tenaga. Ngantuknya terlalu berat.
Akhirnya gw memutuskan untuk istirahat sebentar dirumah Ica. Dari jam 4 sore, gw tidur dan akhirnya baru pulang kerumah jam 10 malem! Man, itupun gw masih belum sehat...masih pusing-pusing.
Pokoknya gw kapok deh gini lagi. Apalagi yang gw ngeri, ini bisa memperpendek nyawa gw....huffff. ga lagi-lagi kaya gini....

Sunday, February 8, 2009

Mengenang Masa SMA nan Jaya : Futsal dan Ribut antar Angkatan

Desember 2005
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu itu datang juga. Ya Class Meeting (CL) dihelat pada akhir Desember, selesai UAS. Ya, CL terakhir buat gw dan teman-teman dari kelas XII IPS 2. Gw sendiri iseng, turun pada dua cabang yang diolombain. Tenis Meja dan Futsal.
Untuk tenis meja gw langsung kandas di babak pertama, setelah kalah melalui game ketat dan rubber set oleh lawan yang akhirnya jadi juara turnamen.
Sementara itu, futsal menjadi cabang yang akhirnya paling niat gw bela. Apalagi, kelas gw termasuk dalam unggulan turnamen. Bersama dengan Ica, Alky, Anjas, Adit, Sanson, Ony, kelas gw diprediksi untuk minimal maju ke semifinal. Dan benar saja, kelas gw tanpa susah payah berhasil ngebantai kelas X waktu itu ( haha, bangga dikitlah)
Perjuangan terberat dimulai di semifinal. Lawan kami di babak itu adalah kelas XII IPS 3, yang ditasbihkan sebagai unggulan utama. Tanpa dinyana, di hari semifinal yang kiranya penting buat salah satu kenangan SMA itu, gw bangun kesiangan!! Buru-buru gw berangkat, dan akhirnya sampe dengan terengah-engah di depan lapangan. Saat gw nyampe, scorline memperlihatkan hasil 6-2 (ato 5-1 ya? gw lupa...yang jelas selisih 4 gol) untuk keunggulan XII IPS 3. Belum sempat masuk ke lapangan, hujan turun dan pertandingan ditunda sebentar. Masa break diisi dengan keluhan dari seluruh anggota tim. Semua kecewa, semua diam. Terutama si Ica yang keliatan paling down.
Babak lanjutan dimulai, dan gw baru masuk di saat itu. Baru berjalan semenit, muka gw udah kena gebok tendangan kuli-nya si Ridho, pas nahan bola biar ga masuk ke gawang (pokoknya, lebih kuli daripada kuli manapun deh). Gawang selamat, tapi tidak dengan muka gw....hehe. Pala gw pusing banget, dan bibir berdarah...untungnya ga sampe mimisan. Merasa kuat untuk terus, gwpun menyanggupi pertanyaan wasit untuk lanjut.
Pertandingan baru berjalan panas saat itu. Ga disangka-sangka, semangat tim yang udah ilang, kembali membara. Hingga beberapa detik sebelum bubar, kelas gw tinggal ketinggalan satu angka (7-8). Lima detik jelang peluit terakhir, si Ridho yang kiranya udah nge-gebok muka gw, bikin kesalahan dengan ngoper bola ke temen gw (namanya Alky) tepat di depan gawangnya sendiri. Tanpa ampun, Alky tidak menyia-nyiakan 'salah oper' itu, dan menghujamkan bola sekeras-kerasnya ke gawang lawan. Peluit akhir berbunyi tepat di saat kami menyamakan kedudukan!!! Teriakan dukungan membanjiri kami dari para suporter setia (dewe, naufal, dan cewe-cewe IPS 2). Pertandingan dilanjutkan dengan adu penalti. Dan....kami memenangkan adu penalti itu. Luapan kegembiraan berlanjut. Saling teriak dan peluk antara pemain (hemmmm....sounds gay), dan ucapan selamat dari teman-teman sekelas datang silih berganti. Kami telah mengalahkan sang unggulan utama!! Kebahagiaan makin bertambah setelah mengetahui bahwa lawan kami di final adalah kelas XI. Gelar juara tampak terbayang di mata kami.
Selesai pertandingan, kami semua menuju kantin. Minum sampe puas..dan gratis!! haha...semua tagihan kami ditanggung oleh salah seorang sponsor kelas.
Akhirnya, hari final tiba juga. Game terakhir kami semasa masih bersekolah menggunakan seragam SMU. Pastinya semua pemain di tim gw pingin bikin game terakhir itu sebagai game yang berkesan. Namun, keheranan mulai merayapi kami. Wasit yang memimpin ternyata sama-sama anak kelas XI. Padahal kalo menurut tradisi, wasit ga pernah berasal dari angkatan yang sama dari antara tim yang bertanding. Dan benar saja, keganjilan wasit mulai terjadi di dalam game. Di saat gw nahan pemain lawan untuk nendang, kakinya mengarah ke muka gw, walaupun gw bisa menghindar. Peluit bunyi, dan gw kira itu pelanggaran musuh ke gw. Ternyata justru gw yang dibilang melakukan kesalahan, gw dianggap udah ngedorong. DAMN!! Padahal justru muka gw yang hampir kesepak kakinya dia!!
Merasa kesel, gw protes sama wasit. Eh, di saat semua pemain tim gw protes dan belum siap...tendangan bebas udah diambil lawan, dan gol. Tantu, semua pemain tim gw kecewa dengan gol itu. Akibatnya fatal, semua bermain dengan cenderung kasar. Kesal karena permainan menunjukkan kecenderungan nggak adil. Suporter anak kelas XI juga rese'. Bawel dan provokatif, sementara suporter kelas XII ga banyak aksi (karena kebanyakan cewe, dan cowo-cowonya pada diem. Kalah suara sama suporter kelas XI). Gwpun sempat panas. Beberapa kali gw nebas bola, sekaligus sama kaki pemain lawan juga. Kejadiannya emang gitu, satu kekasaran pasti dibalas dengan kekasaran lainnya. Saling sikut, saling tebas, saling dorong, saling tendang. Ditambah dengan suporter lawan yang provokatif, gw teriak sama suporter gw sendiri "WOY, MANA SUPORTER KELAS XII NYA????? BRENGSEK, JANGAN SAMPE KALAH SUARA DONG!!!!!". Percuma, mereka berusaha untuk ngedukung lagi tapi pada akhirnya diem karena kalah jumlah. Lagi-lagi, satu gol kontroversial terjadi ke gawang kami. Kami mikir, percuma untuk protes, akibatnya bisa kartu kuning dan mungkin merah buat kami. game makin panas, makin kasar. Kontak fisik ampir selalu terjadi dengan diiringi umpatan kasar. Bahkan pemain tim kami Adit, yang biasanya dikenal sebagai anak rohis yang kalem dan sabar, ribut sama kiper lawan. Aksi saling dorong yang hampir menuju baku hantam. Untung sempat dilerai. Sayang, hingga peluit terakhir bunyi, kami kalah 3-5.....
Semua terduduk, semua lesu. Bahkan, gw ga memungkiri ada beberapa kawan tim gw yang nangis (hayo...yang nangis ngakuuuuuu,hehe. Bukan gw lho). Tent kecewalah, kalah dengan ga adil..terutama dengan permainan kasar semacem itu. Di saat satu tim gw duduk mojok di satu spot dengan tematik 'durjana', tiba-tiba ada ribut-ribut di lapangan. Para teman kami di kelas XII yang ga suka dengan game itu ternyata ngajak ribut para pentolan kelas XI yang daritadi provokatif. Bantrokan massal ga terhindarkan. Perhatian utama tertuju pada duel antar pentolan yang terjadi di lapangan Pandawa di dekat sekolah (sekarang lapangannya udah ga ada, digusur jadi pabrik....). Gw sendiri yang masih kesal, larut dalam rusuh-rusuh itu. Ga banyak omong, gw ribut sama anak kelas XI yang tadi jadi lawan gw di lapangan, yang berkali-kali saling dorong sama gw. Pokoknya, kalo saat itu para guru ga turun tangan, tawuran antar angkatan sangat mungkin terjadi.
Untung akhirnya masalah ini ga menjalar. Biang-biang ribut diamanin sama guru, Walaupun gitu, kabarnya ada beberapa yang masih punya masalah antar pribadi nyelesaiin ribut-ribut mereka di cipinang indah.
Entahlah..apapun yang terjadi. Gw ga bisa mengklasifikasikan apa kenangan terakhir yang terbaik selama gw sekolah di sman 61. Apa peristiwa ini condong ke arah sedih, atau justru seru karena di CL terakhir kami, ada peristiwa yang bahkan belom pernah kejadian selama gw sekolah di sana. Well, gimanapun...kami (kelas XII IPS 2) masih menganggap diri sebagai juara tanpa mahkota...hehe, tetep ga mau kalah..
Sampe sekarangpun, gw masih suka main futsal bareng anak-anak itu. Sayang, karena jadwal kuliah yang beda-beda dan domisili kuliah yang beda-beda, kami ga sempet untuk turut serta dalam berbagai turnamen umum..

Saturday, February 7, 2009

(R)evolusi Harga Jajanan dan Mainan Sejak SD sampai Kuliah

Zaman paling murah tuh gw masih SD, dibandingin saat yang lain (ya iyalah!). Lagipula mainan anak zaman dulu tuh lebih kreatif. Masih banyak permainan tradisional. Sekalinya ada yang elektronik, palingan gamewatch atau gameboy. itupun abang-abangnya supply powernya pake aki, ga pake baterai. Trus kalo udah sore, padahal gw bayar buat 10 menit...dikasihnya cuma 5 menit! Alesannya " De', abangnya mau pulang". Sial!


SD (1994-2000)


Makanan :

Indomie Rebus : Rp 500,-
Nasi Ulam : Rp 300,-
Es Kelapa : Rp 300,-
Es Teh Kenyot : Rp 50,-

Mainan/Piaraan :

Keong Kecil : Rp 250,-
Keong Gede : Rp 500,-
Gerobak Keong : Rp 500,-
Robot-Robotan : Rp 2.000,-
Gameboy (Pake Aki) : Rp 100,- / 1 game sampe gameover atau per 10 menit (orang jaman dulu kreatif banget ya..)
Tamagotchi : Rp 150.000,- ( Sampe ngerengek ga dibeliin juga)




SMP (2000-2003)


Makanan :

Nasi Kuning : Rp 1.500,-
Nasi Nuggets : Rp 2.500,-
Sate Ayam : Rp 5.000,-
Es Teh : Rp 500,-
Gado-Gado : Rp 3.000,-
Es Kelapa : Rp 1.500,-


Mainan :
CD Playstation : Rp 15.000,- (mahal banget buat zaman dulu)
Mobil-Mobilan (koleksi, merk Matchbox ) : Rp 13.000,-




SMA (2003-2006)


Makanan :

Nasi Rendang, Sayur, Kering Kentang : Rp 5.000,-
Nasi Goreng, Telor : Rp 2.500,-
Sate Ayam : Rp 6.000,-
Indomie Rebus + Telor : Rp 3.000,-
Bubur Ayam (Ayamnya dikit bgt ) : Rp 2.000,-
Es Teh Manis : Rp 1.000,-


Mainan :
CD PC : Rp 20.000,-
(Lupa apa lagi...kayanya SMA gw cuman maen komputer deh)



Kuliah (2006- .... )


Makanan :
Indomie Rebus + Telor : Rp 6.000,-
Nasi. Rendang, Sayur : Rp 8.000,-
Sate Ayam : Rp 9.000,-
Bubur Ayam : Rp 4.000,-
Ayam Kremes : Rp 9.000,-
Es Teh Manis : Rp 2.500,-
Es Kelapa : Rp 4.500,-
Kopi Susu : Rp 3.000,-
Soft Drink : Rp 2.500,-

Mainan :
CD PC : Rp 7.000,- (Gratis kalo Download...hehe)


Aaaaaaaaggggghhhhhh, gilaa. Kangen banget gw jaman SD dulu.
Jaman maen adu balap keong, trus mecahin biji karet. Kalo ga ada alat, maen benteng juga bisa.
Harga-harga masih pada murah banget. Duit Rp 25,- atao Rp 50,- aja masih kepake...

Hehe, post yang ga jelas. Intinya cuma kangen pas zaman bocah aja. Ga perlu mikirin yang aneh-aneh, Cuman bersenang-senang tiap hari

Peoples Are Created Equally. What a Shame if We Stick With Our Racism Behaviour

Di saat gw lagi break dari bikin sebuah laporan yang menjemukan...gw sedikit nostalgia ke masa lalu. Gw inget, gw pernah punya childhood friend gitu. Namanya Alvin. Dia warga keturunan TiongHoa, dan sejak tahun 1998 dia resmi kenal dan jadi temen gw. Saat itu dia baru pindah rumah ke komplek gw. Umur gw dan dia beda setaun, gw lebih tua. Alvin ini punya postur fisik yang mungkin bisa dibilang oleh orang awam sebagai : Koh - Koh. ( baca a la Indonesia : Ngkoh-Ngkoh). Dengan badan yang cukup tambun, mata sipit dan bibir yang senantiasa menyeringai...hehe.
Well, masa kecil gw biasa diisi dengan maen bareng dia. Sejak gw TK pun, gw ga canggung gaul sama warga keturunan. Maklum, gw lahir di tengah orang tua yang beda agama. Nyokap gw dulunya Katolik, sebelum pindah Islam tahun 1994. Dan kalo mau dibilang jujur, darah TiongHa juga ngalir di dalem badan gw. Jadi bokap dari nyokap gw (kakek gw) itu campuran TiongHoa-Jawa. Sedangkan bokapnya kakek gw itu justru orang TiongHoa yang dateng langsung dari Cina!! Waw..what a family tree...
Dari TK sampe SMP pun gw menimba ilmu di sekolah swasta Katolik, kendati agama gw tetep Islam. Nyokap maksa gw sekolah di sana, karena disiplin di sekolah itu tinggi banget. Lagipula juga ternyata sekolah itu lebih toleran dan heterogen dari yang gw kira. Makanya di sana gw biasa bergaul sama anak-anak TiongHoa, Medan, Manado, Maluku (Ambon) , bahkan sempet punya temen anak baru pindahan dari Papua!
Oke, balik ke Alvin. Sampe dimana tadi?
Oh ya...main bareng. Kita dulu lumayan kompak (kompak di sini tuh maksudnya dikejar anjing bareng, digigit anjing juga bareng...kompak selalu deh pokoknya! haha)
Ada satu pengalaman yang gw inget banget. Kejadiannya terjadi pas taun 2000. Waktu itu gw main sepeda sama dia, sampe jauh ke komplek rumah bagian belakang. Entah cape ato gimana, pas lagi ngayuh pedal sambil ketawa...dia jatuh dari sepedanya. 'Pemandangan' itu kebetulan terjadi di depan pemuda-pemuda dari kampung sebelah yang lagi nongkrong-nongkrong di jalanan. Setelah mereka ngeliat si Alvin jatuh, kontan mereka terbahak dengan kerasnya. Ga cuma terbahak, omongan bernada rasis nan kasar juga mereka lontarkan. Gw paling inget pas mereka teriak (maaf) : DASAR CINA GENDUT GOBLOK!!.
Saat itu, gw yang anak kelas 5 SD pun, bisa marah ngedenger itu. Padahal bukan gw juga yang dikatain. Gw cuma bisa mengumpat dalem hati. Maklum, untuk bertindak frontal, gw saat itu ga berani. Orang-orang yang ngetawain Alvin itu kisaran umur belasan sampe 20-an (bandingin dengan umur gw yang baru 11 taun, dan Alvin 10 taun). Merekapun ada banyak, lebih dari 5 orang seinget gw. Ya, gw ga bisa ngapa-ngapain. Gw cuma bisa ngebantu Alvin berdiri dan ngambil sepedanya, sambil ngomong "yaudah Vin, pulang aja yuk. Kaki lo berdarah tuh, diobatin aja dirumah...". Cuma itu yang bisa gw lakuin buat dia.
Kami berdua mengayuh sepeda ke arah rumah, sementara orang-orang itu masih aja ketawa-ketawa di belakang. Gw bener-bener udah panas banget saat itu, tapi ya tetep ga bisa apa-apa. Ga mungkin gw mau ngelawan mereka... Di jalan pulang, gw ngayuh sepeda sambil sesekali merhatiin Alvin (kali aja kakinya yang berdarah itu pincang buat ngayuh sepeda). Pas gw ngeliat dia....terus terang, gw cukup kaget. Alvin yang biasanya selalu cengegesan kalo gw isengin (hehe...sori sob!), mukanya berubah total. Ga pernah gw liat mukanya semarah itu. Ketara banget, semarah apapun gw, dia jauh lebih marah. Sepanjang jalan, kami cuma diem..ga ngomong apa-apa. Gw tau, percuma ngajak ngomong Alvin. Di saat gini, cuma marah doang yang dia rasain. Gw mau sok menghibur juga ga bakal ngaruh... Kejadian hari itu diakhiri dengan pulang ke rumah masing-masing. Tanpa saling pamit, karena dia masih diem dengan ekspresi marah yang luar biasa, dan gwpun ga bisa ngomong apa-apa juga.
Beberapa hari setelah itu, Alvin mohon pamit sama gw karena dia sekeluarga mau pindah rumah ke daerah Kelapa Gading. Bisnis Oom Paul waktu itu sukses (hehe, bahkan gw masih inget nama bokapnya!!). Dia pamit dengan sedih. Karena walaupun cuma tiga taun temenan, dia bilang dia ga bisa gaul sama anak-anak lain. Cuma gw (yang ber-background harus dibiasakan bergaul dengan anak-anak multietnis di SD gw) yang katanya nyambung sama dia. Anak-anak lain rata-rata males main sama dia, cuma karena....rasnya. Setelah dia pindah ke Gading, gw lost contact. Komunikasi terakhir antara gw dan dia terjadi pas taun 2001, pas gw nelepon dia. Lepas 2001, akhirnya gw bener-bener ga tau kabarnya lagi.
Seminggu kemaren, tanpa dinyana si Oom Paul main ke komplek gw. Rupanya dia mau ngecek rumah lamanya yang di komplek gw itu. Kabar-kabarnya, selama ini rumah itu masih hak milik dia, dan sekarang mau dibikin kantor. Gwpun nyamperin si Oom, sedikit berbasa-basi ngingetin dia akan gw (karena ternyata dia lupa sama gw!! Sial....hehe), dan gw nanya kabarnya si Alvin itu. Ternyata Alvin sekarang kuliah di Amerika. Dan pulang ke sini bakal agak lama, karena dia punya tante di sana. Ha, akhirnya gw cuma bisa nitip salam buat si Alvin.

Well, setelah gw mengenang kejadian yang ga ngenakin itu, gw kembali kasihan sama dia. Mungkin ga cuma sama dia, lebih luasnya...kasian sama etnis TiongHoa yang hingga hari ini dan detik ini...masih aja jadi korban rasisme bagi sebagian masyarakat Indonesia. Banyak dari orang pribumi yang cuma basa-basi aja kalo ketemu orang etnis itu. Padahal dibelakangnya, mereka selalu ngomong yang jelek-jelek soal 'orang Cina'. Temen-temen SMA gw pun banyak yang kaya gitu. Biasanya kalo mereka kaya gitu, gw cuma cengar-cengir dikit...asal omongannya masih ga parah. Tapi pernah, emosi gw lepas. Gw sempet ribut sama temen sendiri gara-gara dia ngomong yang keterlaluan soal Orang Cina itu, bahkan sampe kontak fisik. Perlu dicatat, gw marah bukan karena gw ngerasa gw punya seiprit darah Cina. Gw marah karena ga habis pikir...sampe kapan orang-orang mau rasis, mau diskriminatif? Zaman udah berlalu 10 tahun sejak kejadian Alvin itu, tapi perlakuan yang mereka terima ga jauh beda. Walaupun di era Gus Dur mereka mulai mendapat tempat, perlakuan masyarakat biasa masih sama aja. Terus terang, gw kecewa. Orang Cina yang selalu mereka jelek-jelekkin itu WNI juga bung! Dan lebih hebatnya, mereka suku yang ulet dan ga pernah nyerah dalam kerja. Gw tau banget, dan tau sendiri soal itu. Daripada ngomongin orang yang nggak-nggak, liat dulu nilai positifnya orang yang lo omongin itu..
Ironis emang, di saat integrasi Indonesia dalam masa-masa berat, justru kelompok rasis dan diskriminatif makin bikin panas suasana.
Sampe kapan kita mau berlaku kaya gini? Apa sampe orang Cina yang mereka maksud itu berubah jadi item dan matanya membesar? Sampe Orang Cina itu bisa berubah fisik layaknya pribumi?

Sekarang Alvin udah di Amerika. Mungkin itu yang terbaik buat dia. Karena di sana dia ga bakal ketemu sama orang-orang menyedihkan kaya' yang pernah ngatain dia selama hidupnya. Di sana dia bakal lebih tenang. Walaupun isu rasis juga ga lepas di Amerika. Paling nggak skalanya ga segede di sini.
Untuk sekarang gw cuma bisa bilang...
Yah, semoga lo betah di sana kawan! Kalo emang lo mau pindah WN, jangan lupain Indonesia. Inget kebaikannya dan lupain semua tindakan rasis yang pernah lo terima di sini..
Dan jangan pernah lupa prinsip bahwa semua manusia itu punya hak yang sama saat lahir. Punya kesetaraan satu sama lain. Jadi jangan berhenti berjuang!
See Ya' Buddy!!

Mengetik Tugas, Menahan Bulu Roma

*Lagi-lagi secuplik kisah ga penting
Saran : Kalo waktu lo ga bener-bener luaaaaaang bgt, mending ga usah baca ini deh! hehe

Entah ada kejadian apa malem ini.
Sebenernya kaya malem-malem biasa yang gw lewatin beberapa bulan terakhir.
Dari bulan Oktober sampe Desember 2008, yang namanya ngalong dirumah sampe jam 3-4 di depan komputer, udah biasa gw jalanin. Hal itu terkait dengan menggilanya tugas kuliah (dan terutama nyiapin penelitian buat sidang kuliah MPS!! Damn!!) yang harus gw bikin. Januaripun full sebulan gw tidur rata-rata di atas jam 3 pagi. Yaaa...liburan dan nganggur emang kombinasi maut. Biasanya gw ngalong kalo ga nge-net ya bikin beberapa tulisan buat nge-rekap tugas kuliah semester kemaren. Ato ga asyik download software dan nyari-nyari lagu.
Dalam kurun waktu itu, ga pernah ada kejadian yang bener-bener aneh dan bikin gw parno.
Begitupun dengan begadang pada tahun-tahun sebelumnya.

Lagi-lagi, entah ada apa dengan hari ini.
Jam 2.40 gw masih berkutat dengan tugas bandpol gw yang harus dikirim via e-mail hari minggu. Entah kenapa, suasana yang biasanya biasa-biasa aja...turns to spooky.
Dimulai dengan angin-angin mendung yang tiba-tiba menggila di rumah gw. Di teras belakang tempat gw ngetik, tiba-tiba ada bunyi gedubrak keras. Bunyi yang setelah gw cek, gw ga tau asal-usulnya dari mana. Setelah itu, diikuti dengan merinding dan rasa dingin yang menjalar di sekitar kening gw, pas gw lagi di teras belakang..ngadep ke kebun belakang rumah gw. Entah kenapa, gw tiba-tiba jadi deg-deg an dan parno. Feeling gw juga jadi ga enak bgt. Padahal, dalam malam-malam normal sebelumnya, kejadian kaya gini pernah juga gw alamin di teras belakang itu. Tapi biasanya gw cukup cuek, dan ga segitunya sampe bikin gw parno dan punya feeling..."gw harus masuk rumah dan nutup pintu teras ini sekarang juga!!".
Dan entah kenapa, setelah gw udah di dalem dan pintu penghubung teras gw tutup-pun...gw masih ngerasa ga enak. Deg-deg an itu masih nyisa, bahkan pas gw nulis post ini, kurang lebih 10 menit setelah kejadian itu. Whew.....pengalaman yang aneh

*seperti yang tadi gw bilang. Ini ga penting. Cuma selingan biar gw ga deg-degan dan tenang lagi aja. Haha, bagi yang udah ngebaca sampe sini...sori ya dah buang waktu lo, hehe.

Wednesday, February 4, 2009

Pukul Sana, Pukul Sini

Judul di atas mungkin udah sering didenger sama Chrisjon, petinju legendaris Indonesia. Bisa jadi waktu dia berlatih di sasana, pelatihnya seringkali neriakkin kata ini (sotoy...).
Di hadapan sandsack, Chrisjon berlatih mukulin karung pasir ini sampe mengayun dengan heboh, bahkan bisa jadi sampe sandsack itu luluh lantak. Itu baru sandsack yang dipukul. Itupun dipukulnya 'cuma' sama seorang Chrisjon.

Kebayang ga kalo yang dipukulin itu bapak-bapak berumur? Dan yang mukulin ga cuma satu orang bernama Chrisjon doang, tapi anak muda rame-rame? Mungkin bapak-bapak itu ga sampe bonyok dan bengap, tapi bisa jadi malah langsung meninggal!
Ya, itu yang terjadi hari ini di Sumatera Utara. Ketua DPRD Sumut, Abdul Azis Angkat tewas setelah menerima sekian belas (mungkin sekian puluh, dan mungkin sekian ratus!) bogem mentah massa. Apa pasal? Massa yang berdemo itu menuntut agar Tapanuli dapat berdiri sebagai sebuah propinsi yang otonom. Padahal, prosedur pendirian sebuah propinsi ga semudah itu. Prosedur itu harus ngelibatin 3 pihak, yaitu Depdagri, DPR dan DPD. Nggak segampang itu sebuah daerah bisa dimekarkan. Kalo emang segampang itu, daridulu gw udah minta Kecamatan Bintara, Bekasi Barat (rumah gw) jadi propinsi sendiri!
Lagipula kalo emang prosedurnya segampang itu, Indonesia udah pecah. Separatis dimana-mana...
Tapi massa seolah muak dengan DPRD Sumut yang masih belum menggolkan usulan propinsi Tapanuli itu. Chaos terjadi di ruang sidang paripurna DPRD Sumut. Massa ngejebol masuk, ngancurin kaca, ngebanting kursi, ngelempar tv, mukulin orang! Dan diantara massa yang ngamuk itu, terdapat beberapa orang yang make jaket almamater (entah kampus apa). Apa kaya gini perilaku orang terdidik?
Massa juga maksa Abdus Azis buat nandatanganin surat perjanjian bahwa dia bakal nge-golin proyek itu. Tapi Azis menolak. Massa jadi makin buas! Kelakuannya makin kaya binatang... Azis dipukulin rame-rame. Walaupun Azis langsung diamanin sama polisi, tetep aja sebiji-dua biji bogem colongan masih masuk ke muka Azis. Akhirnya beliau pingsan, karena penyakit jantungnya kumat. Pas mau dibawa ke rumah sakitpun, jalanan masih diblokir massa. Akhirnya Pak Azis meninggal saat di rumah sakit. Mungkin kalo nyampe lebih cepet, nyawanya masih bisa ketolong. Ya, mungkin massa ini penganut paham " Show No Mercy". Mungkin juga semua massa itu kebanyakan nonton film action tolol tentang Pasukan Militer Elit Amerika? Semua musuh dibabat..bener-bener no mercy....
Masalahnya, apa Pak Azis bener-bener dianggap sebagai musuh yang ga patut dikasihani? Apa mereka bener-bener udah segelap mata itu? Apa mereka pikir Pak Azis adalah pria yang begitu jantan dan perkasa dengan otot disana-sini, bisa ngeladenin bogem sebanyak itu? Man, They're pathethic!!
Dan mereka juga ga mikir kalo ngebunuh Pak Azis ga bakal nyelesaiin masalah. Yang ada nambah masalah buat mereka. Ya, mungkin dari massa itu ada yang pelajaran PPKn-nya pas di SMP dapet 100, sehingga dengan membusungkan dada mereka yang kurus, mereka bisa menafsirkan demokrasi dalam konteks mereka sendiri. Mereka menganggap, apa yang mereka lakuin itu bentuk dari demokrasi. Sebuah cara untuk mengintepretasikan keinginan mereka, tanpa dikekang pihak yang represif (dalam pikiran mereka, pihak itu ya pemda dan DPRD). Mereka dengan leluasa bisa ngebanting kursi, mecahin kaca, dan menganggap semua itu legal (dalam konteks demokrasi mereka). Sebagian dari mereka itu akademisi!! Kenapa kelakuannya bisa kaya binatang gitu sih?
Kalo gitu mungkin masalahnya balik lagi ke pemahaman mereka tentang demokrasi dan aplikasinya. Hemmmm, apa dalam buku PPkn, atau entah apa literatur referensi mereka, ada konsep demokrasi asal gaplok? Ada konsep demokrasi anarkis macem itukah? Apa di dalam buku itu demokrasi berarti melegalkan ngeroyok bapak-bapak? Waw, kalo buku itu beneran ada...gw pengen bisa baca buku itu.

Lepas dari track record Pak Azis sendiri (apakah beliau politikus bersih atau kotor) bukan hak mereka untuk asal pukul sana pukul sini. Apa mereka mau, dan kuat, kalo dipukulin puluhan orang kaya gitu? Ga usah puluhan orang deh, dipukulin seorang Chrisjon aja juga mereka pasti ga mau kan?

*Hemmm...mungkin tulisan ini agak dangkal (hehe, itu sih yang gw rasa). Tapi masa bodolah...dari awal gw udah komitmen, apa aja yang gw pengen tulis, ya gw tulis di sini. Jadi suka-ngga sukanya, silahkan Anda pilah sendiri...hehe