Tuesday, February 10, 2009

Kapitalisasi, Penjajahan di Dunia Modern

Penjajah ga melulu cuma berwujud orang Belanda yang dipanggil Meneer terus minta upeti rakyat terus. Dan juga ga melulu orang bentuknya orang Jepang yang hobinya ngasarin dan mukulin wong cilik.
Ya, mungkin hampir semua orang tau dengan konsep itu.
Tapi walaupun begitu, rata-rata penjajahan dalam lintas regional itu punya beberapa motif utama yang kurang lebih ga jauh beda. Yang pertama, masalah keuntungan geografis. Hal ini terutama berlaku di tengah-tengah masa perang. Motif penjajahan negara bisa dilatarbelakangi letak negara itu yang menguntungkan untuk distribusi supply bahan makanan dan senjata, pembangunan pangkalan bersenjata, dan lain-lain. Namun motif yang kedua, merupakan motif yang juga kerapkali dianut, baik murni dengan tujuan itu, maupun sebagai turunan dari motif yang pertama tadi. Apakah itu? Kepentingan ekonomi.
Belanda mulai menjajah Indonesia karena sumber rempah (pastinya udah bosen denger ini sejak SD sampe sekarang). Pertama yang menguasai adalah kongsi dagang bernama VOC (yang ini juga pasti selalu keluar di soal IPS SD). Akhirnya VOC bubar, dan Indonesia diambilalih oleh pemerintah Belanda. Bahkan sampet juga dibawah pemerintahan Kekaisaran Prancis, saat Napoleon menguasai hampir seluruh eropa termasuk Belanda. Sebenarnya apa yang diharapkan Belanda dari Indonesia? Well, Indonesia diperlukan belanda untuk mengisi kas negaranya yang abis-abisan gara-bara perang. Alasan ekonomi...
Jepang? Awalnya memerlukan Indonesia sebagai 'sekutu' dan salah satu pangkalan pertahanan Jepang. Terutama di pulau Kalimantan dan Papua, dalam kepentingan Jepang untuk memenangkan perang Asia Pasifik. Tapi ujung-ujungnya sama aja. Jepang butuh Indonesia untuk nutup kerugiannya selama perang. Untuk irit, Jepang juga mendayagunakan minyak bumi dan tanaman jarak yang diproduksi di Indonesia. Lagi-lagi alesan ekonomi.

Hehe, dua contoh di atas cuma ilustrasi dan pembuka kok dari inti yang mau gw ceritain (jangan keburu muak dulu ya...haha).
Dewasa ini, penjajahn dengan motif ekonomi juga marak terjadi, terutama di dalam sistem perburuhan. Tapi jangan dibayangin buruh yang dicambukkin, ga dikasih makan berhari-hari dll. Buruh itu tetep ga bisa ngelawan, karena situasi dan kondisi ekonominya yang sangat buruk. Ironis, mereka dengan terpaksa memilih untuk dijajah seperti ini.
Oke, gw ambil contoh dengan kasus yang terjadi di Ethiopia. Pasti Anda tau dengan Starbucks kan? Mungkin juga Anda penikmat setianya. Pasokan kopi utama Starbucks berasal dari perlebunan Ethiopia yang digarap oleh petani lokal. Sekarang, harap baca ini baik-baik :

Sesuai dengan kesepakatan, petani menjual kopi kepada Starbucks dengan harga 0.5$ per kilogram kopi. Menurut perhitungan, satu kilogram kopi ditaksir bisa untuk membuat kurang lebih 60 gelas/cangkir kopi ukuran standar Starbucks. Berapa harga kopi Starbucks yang dijual ke masyarakat? Antara 1.5$-2$ pergelas/cangkirnya!
Oke, mungkin ada argumen bahwa pihak Starbucks juga harus mempertimbangkan adanya biaya lain seperti gula, creamer, gaji pegawai, ongkos sewa tempat, royalti, dll. Tapi coba kalikan 60 gelas dengan 1.5%, maka Anda akan mendapat angka 90$ (itu pendapatan minimum, bukan dengan pengali 2$). Apakah semua ongkos lain di luar biji kopi itu sebesar 89.5$ perkilogram? Sangat mustahil. Petani Ethiopia sangat layak untuk mendapat harga jauh di atas itu. Mereka terjebak dalam situasi ekonomi negara mereka yang sangat lemah. Satu-satunya opsi yang ditawarkan kepada mereka, hanya menerima harga itu. Penjajahan kapitalisasi.

Masih kurang contoh? Baik, contoh yang kedua gw akan menggunakan negara Indonesia. Gw dapet info ini setelah ngeliat film dokumenter Amerika (entah judulnya apa, dan sekarang masih gw cari-cari). Detail harganya pun kurang lebih, karena gw juga agak lupa. Yang jelas ga jauh dari angka itu. Oke, sebuah produsen sepatu olahraga dunia bermerk terkenal (katakan saja namanya Mawar..hehe. Anggep aja X deh, soalnya ga etis kalo berhubungan sama buruh Indonesia) mempunyai basis produksi di Indonesia. Sepatu itu dijual dengan harga dengan range 40$-60$ (kurang lebih Rp 450.000,- s/d Rp 650.000,-). Para buruh pembuat sepatu itu biasanya menerima order penjahitan sol sepatu. jam kerja mereka juga terdapat dalam kontrak. Yaitu short shift dan long shift. Gw lupa jam kerja short shift, yang jelas untuk long shift mereka harus kerja selama 36 jam dengan jam istirahat 8 jam saja! Bagaimana dengan upah mereka? Mereka mendapat Rp 1.250 (kurang lebih 110 sen atau hampir sepersepuluh Dollar) untuk persatu sol yang mereka jahit. Jadi kalau mereka menjahit sepasang, mereka hanya memperoleh sekitar Rp2.500,oo atau hampir seperlima Dollar saja! Padahal, apabila ditotal dengan semua bahan dan ongkos, satu sepatu merek tersebut tidak sampai Rp 100.000,00. Waw! lagi-lagi terjadi penjajahan di sini. Dan lagi-lagi penjajahan itu memanfaatkan celah-celah yang disebut dengan 'himpitan ekonomi'. Diprotespun, mereka bisa berargumen bahwa para buruh setuju dengan klausul kontrak yang telah ditawarkan... Cara yang cerdik namun licik. Dan lagi-lagi...penjajahan kapitalisme.

Gw rasa, kedua contoh itu cukup untuk ngegambarin apa yang terjadi di dunia industri belakangan ini. Masih banyak contoh yang lain misalnya di Cina, pertambangan emas Sierra Leone di Afrika, dan banyak sekali yang berasal dari Indonesia. Sulit untuk keluar dari keadaan ini, karena masalahnya sudah mengkompleks dan menyangkut masalah global dan lintas batas negara. Pemanfaatan bisa terjadi kapan saja. Bahkan menurut beberapa ahli ekonomi, dan politik, Globalisasi perdagangan yang terkenal dengan patron free trade bisa berubah menjadi unfair trade selama keadaan yang begini terus terjadi.

No comments:

Post a Comment