Monday, August 24, 2009

Ngomong - Ngomong Soal Masa Lalu

Jakarta, 4 Agustus 2006

Gw masih inget, pagi-pagi buta gw udah keluar nyari koran di deket rumah. Apa pasal? Yang pasti bukan karena gw sangat berniat dan bernafsu untuk baca berita di hari yang sepagi itu. Bukan juga sekedar iseng untuk mungutin koran-koran bekas yang bertebaran di pinggir jalan (ehm..secara gw pecinta lingkungan. Hehehe)

Ya. gw berniat untuk nyari nama gw di daftar nama penerimaan SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Dan yang dinanti akhirnya dateng juga....nama gw tercantum di koran. Di tengah-tengah ribuan nama lainnya, yang pasti ga gw kenal (yaiyalah...). Saat itu dengan bangga gw bisa menepuk dada kerempeng gw, dan menasbihkan diri sebagai 'mahasiswa'. Akhirnya, setelah sekian belas tahun berstatus 'pelajar', 'anak sekolahan', dll..gw bisa melepas seragam dan menggantinya dengan 'baju bebas' (oke, sayangnya tidak termasuk baju renang).

Ga kerasa, masa itu udah berlalu cukup lama. Ga kerasa udah berselang 3 tahun masa-masa gw cabut di masa latian paduan suara, untuk kemudian ngeliat abang-abang tukang cendol ketabrak vespa mabuk di deket stasiun Pondok Cina (ini kisah nyata!). Ga kerasa masa gw masih imut dan 'hijau' itu udah lewat gitu aja.

Tiga tahun lalu, gw masihlah mahasiswa sableng dengan motto 'ngelawak dan nongkrong only'. Euforia keterima di perguruan tinggi negeri, tiap hari dilalui dengan 'senang-senang' dan 'senang terus'.
Gw masih inget gimana gugupnya gw waktu pertamakali disuruh presentasi makalah individu gw (yang notabene awut-awutan, setipis kembang tahu, dan tanpa dihiasi footnote). Gw masih inget gimana gw bersama 'geng ancur' dengan isengnya bikin dresscode sendiri. Di satu hari pake batik seragam SMA, besoknya pake baju pantai, besoknya pake setelan rapi (plus blazer), sampe kadang suka ada senior yang menjuluki kami kelompok yang tengil...hehe. Masih juga suka gw kenang masa-masa gw piara rambut tanpa dipotong selama dua semester awal...yang berujung kepada hadirnya sosok gw yang gondrong awut-awutan, kurus, dan bahkan sampai dengan tega banyak yang ngecap gw 'tukang ngobat'!! Sial..

Masih inget pula masa-masa awal kuliah gw yang hancur berantakan, dipenuhi dengan cabut kelas dan nangkring di kantin. Ada satu cerita tentang ini. Gw cabut berempat bersama teman-teman gw (Oke, ada baiknya nama tiga teman itu gw samarkan dengan Mawar, Melati, dan Kamboja). Entah karena terlalu bego apa gimana, kita berempat cabut di tempat yang pasti dilalui dosen kelas tersebut selepas mengajar.
Ga diragukan, selesai kelas...sang dosen lewat di depan kita, dan kami ke-gep!!! Berikut petikan interogasi dosen dengan kami :

Dosen : Mawar, kamu kemana tadi? Kok ga masuk kelas saya?
Mawar : Ehm, anu mas...saya bikin tugas untuk kuliah habis ini
Dosen : Kamu Melati? Kenapa ga masuk?
Melati : Aduh, tadi saya ga dapet kereta mas. Jadinya telat, ga sempet masuk kelas!
Dosen : Kamboja, kamu juga kenapa?
Kamboja : Saya....saya....saya bantuin Mawar bikin tugas mas
Dosen : (tampak kesal karena berbagai alesan ga mutu tersebut) Kamu kenapa Indra?
Gw : Mmmm....maaf mas. Saya khilaf..
Dosen : .............. (malas bicara lagi)

Oke, diliat dari kacamata mahasiswa baru...gw ngeliat kelakuan gw sebagai tindakan konyol-konyol asik bin bodoh (sesuai moto gw dulu "ngelawak only"). Tapi kalo sekarang gw inget lagi, asli...gw ngerasa gw udah berlaku sangat kurang ajar bin biadab.

Begitulah hidup gw di awal kuliah, nyampah banget. Jarang banget megang bahan bacaan wajib kelas. Di kelaspun juga gitu-gitu aja. Duduk belakang, baca novel, atau terkantuk-kantuk denger penjelasan dosen sembari menulis-nulis suatu karangan bebas. kadang ada kelas yang gw suka, dan sangat gw simak penjelasan dosennya. Tapi itu jarang banget.
Ada juga saat di kelas yang gw bener-bener ga pernah merhatiin apa yang diomongin dosen tersebut. Entah karena cara ngajar dosennya yang ga enak (dan ini diakui oleh teman-teman sekelas), atau emang gwnya sangat amat malas!

Di suatu siang yang terik dan damai (oke, ini mengkondisikan sesuatu yang dramatis), gw sedang menghadiri kelas wajib yang males banget gw simak. Hingga sang dosen menawakan wacana : 'ayo, ada yang mau bertanya?'
Gw melihat ada sekitar 3 tangan yang teracung ke atas. Dengan begonya gw punya niatan "Ah, banyak yang ngacung...iseng ah ikutan ngacung biar rame" ==> padahal gw ga nyimak materinya sama sekali.
Tanpa dinyana, Bu Dosen menanggapi : "Ah, mas berkacamata di belakang itu ga pernah nanya sebelumnya! Saya kasih kesempatan sekarang untuk kamu!!"
Dan....tinggallah gw yang tergagap-gagap menyusun pertanyaan yang sebisa mungkin disambung-sambungin sama topik kuliah hari itu (yang ujung-ujungnya, pertanyaan itu makin ga jelas dan membuat Bu Dosen mengernyitkan dahi). Sumpah, waktu itu gw PANIK!!! hahahaha..

Itulah sejarah kenapa nilai gw agak susah gw katrol sekarang. Kebanyakan main, kebanyakan becanda. Bayangin aja, mungkin pas gw masuk sekitar semester 4 atau 5, gw baru mulai berubah dalam menjalani gaya kuliah. Mulai sering nyatet, ngumpulin bahan, nyimak dosen (tapi ga lupa tetep nangkring di kantin sambil makan-minum, main kartu juga..hehe). Dapet IP lumayan sekarangpun, belum cukup untuk nutupin 'dosa' gw di semester awal. Semua emang ada timpalannya. Kalo kata Arnold Schwarzeneger, sekarang gw sedang mengalami 'Judgement Day'..hehe

Dan lagi-lagi, gw cuma bisa inget kalo masa-masa menyenangkan itu udah berlalu tiga tahun lalu. Masa-masa sering ketemu temen seangkatan, sering main bareng mereka, sering cabut kelas, sering nitip absen, sering suka-suka! hahaha


Sekarang, pagi buta 24 Agustus 2009...tiga tahun lewat 4 hari setelah itu.
Gw merindukan dulu. Gw merindukan kumpul sama temen-temen seangkatan, main futsal bareng, belajar bareng (yang ujung-ujungnya gw cuman jadi badut di situ), dan jalan bareng mereka. Naif emang, tapi di satu sisi gw menyesal dengan kelalaian (cih, bahasanya sok berat) gw di masa lalu...kelalaian yang bikin IP gw jadi susah banget buat naik. Udah kaya lomba panjat pinang yang diikutin kakek-kakek. Bisa naik, tapi beraaaaaaat banget. Tapi di sisi lain, gw dulu menikmati itu...hehe
Sekarang gw udah mulai harus menyusun skripsi. Frekuensi ketemu temen-temen angkatan juga paling banter 2 kali seminggu, itu juga pasti ga lengkap dan ketemunya sistem cicilan. Makanya, setiap temen angkatan bikin acarapun gw yang sekarang pasti ikut. Misalnya yang terakhir pada jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor. Yah, mau gw sibuknya kaya apa (maklum, mahasiswa eksis dengan kepadatan waktu tingkat tinggi!! hehe) , pasti itu akan gw sempetin. Apa sih yang nggak buat temen? (Yoi, kata-kata klise...)

Oleh karena itu adik-adik mahasiswa yang sekarang mungkin baru masuk semester awal (paling banter tingkat 2)..jangan sia-siakan kuliahmu nak. Belajar yang rajin di kelas, nyatet terus ya, jangan sering cabut juga. Hehehehe
Sering-sering juga kumpul sama temen seangkatan, karena makin taun ke atas bakal makin jarang ketemu.

Sampai jumpa....lagi....teman.....hiks... (mendadak sensitif)
*Tapi sumpah, gw kangen masa itu!

Wednesday, August 19, 2009

Obscurity

Waiting it's pendant
Swinging left, swinging right
To hope, to despair, to joy, to grieve
All at once in one amplitude

Now, what am i doing?
To be delirious with no cognizance
I'm just sitting here, staring at the pendant of clarity


Monday, August 17, 2009

17 Yang Tidak Terasa 17





Gw memasuki 17 Agustus (tanggal sakral yang termaktubkan dalam sejarah sebuah negara bernama "Indonesia") dengan terus terjaga, dan baru terlelap pukul 05.00 dinihari.
Bangun di siang hari sekitar pukul 12.00 siang, gw melewatkan semua kesakralan tanggal tersebut.

Ya...gw tidak merasakan gemah ripahnya acara-acara perayaan ulang tahun negara ini, tidak juga memerhatikan ritual suci pengibaran Sang Saka Merah Putih di Istana Negara.
Apakah gw menyesal? Tidak sama sekali.

Jangan sebut gw anti-nasionalis, anti-patriotisme kek, atau anti lain apalah yang berasosiasi dengan penolakan cinta gw pada negara.
Gw cinta, tapi bukan kepada sesuatu yang simbolis tanpa realisasi.
Gw cinta, tapi bukan kepada intepretasi dangkal terhadap frase 'kebebasan bernegara'
Gw cinta, tapi bukan kepada bayang semu kemerdekaan
Demi Tuhan, gw cinta negara gw!

Hanya saja...gw terlalu prihatin untuk melihat ritual yang tampaknya dijalani dengan setengah hati, dan dilakukan di atas 'kemerdekaan' yang dilakukan dengan 'tidak merdeka' pula.
Mungkin 'prihatin' juga kata yang terlalu kasar untuk dipergunakan. Yah, sebut saja...gw malas untuk melihat sesuatu yang sangat mirip dan bisa ditayangkan berkali-kali lewat video usang yang mungkin dibuat sekitar 2 atau 3 tahun lalu.
Ritual yang dikonsep dan dibungkus dengan semangat patriotisme, namun dijalankan di tengah segala kebimbangan dan justru tidak mengejewantahkan nilai patriotisme itu sendiri. Buat apa ada upacara kenegaraan dengan simbolisasi kecintaan kepada negara, sementara 'kemerdekaan' kita sendiri dijual untuk perut orang asing?

Gw bukan pembenci 17 Agustus. Gw bukan pembenci Upacara Kenegaraan. Gw bukan pembenci Indonesia.
Seperti yang tadi udah gw bilang dengan membubuhkan penyumpahan : Demi Tuhan, gw cinta negara gw!

Monday, August 10, 2009

Membangun Kapitalisme di atas Rasisme

*Ditulis dalam rangka presentasi untuk kelompok diskusi sosial bernama Astina, yang saya rintis bersama beberapa teman.


A. Rasisme dalam Sejarah dan Batasan


“Let’s Kick Racism Out Of Football!”

Begitu kira-kira jargon yang beberapa tahun belakangan marak dalam dunia persepakbolaan internasional. Anda tidak hanya akan menemukannya di dalam spanduk pembukaan pertandingan sepakbola bergengsi saja, melainkan juga pada pembukaan game komputer sepakbola sekalipun. Tidak hanya itu, para pemain sepakbola terkemuka juga kerapkali menggunakan gelang tangan dengan warna hitam dan putih saling bertautan, simbolisasi atas penentangan aksi rasisme di dunia sepakbola.
Hal itu serempak seakan menjadi tren, karena banyak sekali insiden berbau rasisme di tengah megahnya kompetisi sepak bola skala dunia. Target para kaum rasis tersebut tentulah para pemain berkulit hitam. Mulai dari sekedar cemooh menirukan suara monyet, hingga melempar kulit pisang kepada pemain yang bersangkutan. Tragis? Mungkin iya.
Contoh di atas hanyalah sebuah kulit muka dari kasus rasime yang telah menjadi sejarah panjang dalam sekelumit kehidupan manusia. Tetapi tentu anda tidak akan bisa menyebut kasus di atas sebagai suatu hal yang ‘tragis’ apabila membandingkan dengan penyiksaan dan pembantaian Hitler atas orang-orang Yahudi di tengah berkobarnya perang dunia kedua.
Lantas apakah itu rasisme? Apakah sebuah bentuk hegemoni dari manusia berkulit putih terhadap kulit hitam? Atau bisa jadi merupakan lambang supremasi sebuah etnis terhadap etnis lainnya tanpa memedulikan warna kulit?
Terus terang, sedikit sumber buku yang sepaham dalam menentukan basis penggolongan tindakan rasisme. Namun dari kesemuanya, buku dari George M. Frederickson berjudul Racism : A Short History menjadi satu dari sekian karya tulis lain yang mengungkit mengenai bersyukurnya umat Kristen di masa awal, atas penemuan orang Afrika. Mereka justru bergembira karena menganggap hal tersebut sebagai kebesaran Tuhan yang termaktubkan di dalam Alkitab, dan kemudian ditindaklanjuti dengan munculnya paham ‘kesetaraaan bagi SEMUA umat manusia’ di tengah umat Kristen. Euforia inilah yang ditangkap oleh seorang antropolog bernama Frank Snowden, sehingga muncul pendapat awal bahwa rasisme tidak didasarkan atas perbedaan warna kulit.
Namun begitu, rasisme awal atas umat Yahudi justru juga berasal dari kaum Kristen. Kaum Yahudi ditengarai menolak Yesus Kristus sebagai Sang Mesias, dengan menerima Kitab Perjanjian Baru yang dianggap lebih terlegitimasi dan mempunyai substansi penting dibandingkan Kitab Perjanjian Lama. Hal itu dinilai sebagai sebuah pengingkaran atas penyaliban dan wafatnya Yesus sebagai tumbal atas dosa seluruh manusia. Atas hal itulah, maka umat Yahudi dianggap sebagai kriminal, termasuk sampai kepada keturunannya sekalipun. Segera pada masa itu, kaum Yahudi seakan menjadi tumbal atas segala hal buruk yang dialami oleh umat Kristen. Oleh karena itulah maka umat Yahudi harus menerima ‘dosa’ dari para leluhur mereka, bahkan hingga saat ini.
Segera setelah itu, pada akhir abad pertengahan, terjadi penaklukan besar-besaran pasukan Umat Kristen atas benua-benua yang sebelumnya tidak pernah mereka singgahi. Di sinilah mulai terjadi pergeseran nilai – nilai ‘kesamaan bagi SEMUA umat manusia’ tersebut. Hal ini yang disebut oleh seorang sejarawan bernama Robert Bartlett sebagai penjelas atas dominasi umat Kristen (yang semuanya saat tu masih ‘berkulit putih’) terhadap penduduk asli dari daerah yang mereka taklukkan, termasuk Asia dan Afrika.
Hingga di titik inilah maka rasisme bukan merupakan sesuatu yang hanya dibebankan kepada umat Kristiani saja, melainkan menjadi sesuatu yang meluas kepada konotasi “supremasi kulit putih terhadap kulit hitam”. Penggolongan atas ciri fisik ini yang kemudian menjadi lebih menonjol dalam pemahaman rasisme secara umum. Belum pula apabila ditambahkan cerita bahwa orang Inggris tidak menganggap suku Aborigin sebagai manusia, pada masa awal kedatangan mereka ke Australia. Kecenderungan ‘warna kulit’ ini selanjutnya dipahami sebagai sesuatu yang lebih spesifik dari sebuah gagasan luas yang mendasari perbedaan atas sebuah ‘ras’. Hal inilah yang kemudian menyebabkan rasisme digolongkan sebagai sebuah Etnosentrisme dalam bentuk yang lebih jauh didorong ke depan, dan bahkan cenderung mencapai titik ekstrim.

B. Kapitalisme Berkaki Rasisme
Percayakah Anda bahwa kapitalisme yang sekarang berkembang menggurita, berdiri di atas ‘satu fondasi kuat’ yang bernama rasisme? Percayakah Anda bahwa rasisme merupakan elemen penting di balik perkembangan kapitalisme di masa-masa awal? Tentu saja, benang merah yang menghubungkan kedua konsep tersebut akan sangat mudah kita tangkap sebagai ‘eksploitasi’.
Penaklukan masyarakat kulit putih Eropa ke berbagai benua seperti Amerika, Asia, Afrika dan Australia pada akhirnya menempatkan masyarakat lokal (indegeneous people) sebagai warga kelas dua dan berujung kepada pendayagunaan mereka hanya sebagai alat produksi belaka.
Akan banyak sekali contoh kasus yang bisa kita ambil. Misalnya orang kulit hitam yang dijadikan budak dan buruh tani di Amerika pada abad 18. Buruh tani kulit hitam tersebut bekerja di perkebunan kapas untuk tuan tanah (tuan tanah di sini tentu berkulit putih), dan selepas dari bekerja di perkebunan kapas, mereka juga diharuskan bekerja untuk industri pemintalan benang. Semuanya dilakukan oleh kaum kulit hitam untuk kepentingan industrialisasi kulit putih. Mereka diperjualbelikan dan dianggap sebagai binatang apabila membangkang. Hal inilah yang kemudian timbul sebagai pemicu Perang Sipil di Amerika Serikat pada masa kepemimpinan presiden Abraham Lincoln.
Para korban bukan hanya berasal dari kaum kulit hitam. Tidak usahlah kita melihat terlalu jauh lagi keluar, sementara masyarakat Indonesiapun sebagai si kulit kuning seakan sudah kenyang dengan tindakan serupa pada masa kolonialisme. Barangkali kita sudah terlalu sering membaca bagaimana para leluhur kita harus bekerja siang-malam penuh derita di perkebunan kolonial. Setidaknya perkebunan milik bangsawan yang telah bekerja sama dengan pemerintahan kolonial. Sebuah cerita klasik yang seakan sudah menjadi doktrin bagi kita bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa terjajah yang hanya menjadi budak untuk mengisi pundi-pundi kekayaan pihak asing. Entah pemerintah kolonial, maupun kongsi dagang luar sekalipun. Akhirnya di Indonesia sendiri terjadi kondisi yang setali tiga uang dengan kejadian yang terjadi di berbagai belahan negara-negara terjajah lainnya.
Pemanfaatan masyarakat kelas dua inilah yang dianggap sebagai sesuatu yang sangat menguntungkan. Toh tenaga kerja yang mereka daya gunakan dari masyarakat non-kulit putih sangatlah murah. Cukup dengan memberi makan seadanya, industri bisa terus berjalan dan mereka tetap dapat memenuhi permintaan produksi. Sesederhana itulah mekanisme kapitalisme bekerja di atas sebuah tindakan rasisme besar-besaran.
Padahal apabila ditarik ke belakang dalam deskripsi dasar dari kapitalisme, maka kita akan mendapatkan serangkaian kalimat yang mungkin terdengar indah seperti : adanya kesamaan hak bagi setiap individu untuk mengejar dan memperoleh keuntungan dan kepemilikan pribadi. Namun, justru pada pemahaman dasar inilah saya melihat bahwa telah terjadi pencederaan yang fatal dari nilai-nilai dasar tersebut. Bagaimana mungkin kesetaraan kesempatan akan diperoleh oleh mereka yang dianggap sebagai ‘bukan manusia’? Bagaimana mungkin si kuning yang notabene jauh lebih inferior daripada si putih, memiliki kesempatan untuk memperoleh kepemilikan pribadi?
Pola pikir diskriminatif itulah yang telah membuat paham kapitalisme dasar tersebut seakan telah diselewengkan menjadi jauh melampaui akarnya. Pada posisi inilah saya meletakkan argumen saya bahwa periode awal perkembangan kapitalisme telah berubah menjadi sebuah konsepsi yang munafik dengan mengingkari paham ‘kesetaraan bagi setiap individu’, yang justru menjadi inti gagasan mereka sendiri.
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa arogansi para pemilik modal dan industrialis seakan telah mengubur isu rasisme jauh ke dalam wacana yang tidak pernah akan muncul melampaui hitung-hitung keuntungan yang mereka peroleh dari hasil industri mereka. Pengabaian atas rasisme melestarikan tumbuh kembangnya nilai kapitalisme, sehingga memiliki pondasi yang cukup kuat untuk terus berada pada posisi yang kokoh. Bahkan hingga saat ini.
Pada masa modern ini, para pekerja non-kulit putih kerapkali masih mendapatkan perlakuan yang tidak setimpal dengan pekerja kulit putih. Lagi-lagi saya akan mengambil contoh yang terjadi di Amerika Serikat, atas dasar pertimbangan bahwa di negara itulah kapitalisme berkembang seakan menjadi hal yang fundamental dan secara nyata tumbuh dengan pesat. Secara umum, ada tiga hal yang dapat didiagnosa sebagai rasisme demi kepentingan kapitalisme di dalam sebuah industri. Ketiga hal tersebut adalah :
1. Pekerja kulit hitam dibayar lebih rendah dibandingkan dengan pekerja kulit putih untuk sebuah pekerjaan yang identik.
2. Kemampuan kerja masyarakat kulit hitam seringkali tidak dipergunakan sesuai dengan potensinya. Misalnya, mereka hanya akan dipekerjakan untuk sebuah posisi rendah atau mereka hanya akan memeroleh pekerjaan dengan gaji yang rendah.
3. Pekerja kulit hitam harus membayar sewa yang lebih tinggi untuk sebuah rumah yang berkualitas di bawah, atau minimal setara, dengan rumah yang dihuni oleh masyarakat kulit putih.


Lebih jauh, penulis seperti John Gabriel mengajukan contoh seperti yang terjadi di rumah makan cepat saji McDonald di Amerika Serikat dan Inggris. Wacana awal yang dilemparkan oleh McDonald adalah tidak adanya eksploitasi dan kesempatan yang setara bagi semua pekerjanya, termasuk untuk kalangan minoritas sekalipun. Gabriel melakukan penelitian dengan mengadakan wawancara kepada dua karyawan McDonald berkulit hitam dan memiliki jabatan manajerial di restoran cabang McDonald. Keduanya mengakui bahwa di dalam pengelolaan staffnya, McDonald menerapkan apa yang disebut mereka sebagai ‘serahkan kepada diri sendiri’. Artinya, McDonald memberi keterbukaan kepada semua pegawainya untuk bekerja sesuai dengan potensi mereka sendiri, dan bagi setiap mereka yang menonjol akan mendapatkan posisinya masing-masing. McDonald sendiri dianggap sebagai restoran cepat saji pertama yang menerapkan prinsip kerja seperti ini.
Namun apabila ditarik lebih jauh lagi, kesempatan kerja ‘luas’ yang diajukan oleh McDonald sendiri pun sebenarnya masih tetap memiliki kecenderungan kepada kesempatan yang ‘sempit’ terhadap para pekerja minoritas. Dua pegawai kulit hitam yang menduduki jabatan manajerial tersebut hanyalah mereka yang sangat beruntung di antara mayoritas besar manajer kulit putih. Kesempatan yang ditawarkan berujung seolah semu. Bukan regulasi dari McDonald yang membuat hal tersebut terjadi, melainkan dampak dari sistem sosial yang ternyata masih rasislah yang membuat kesempatan itu lagi-lagi sulit untuk digapai. Daya saing yang dimiliki oleh pekerja kulit hitam tersebut tidak seimbang, karena pada kenyataannya pola hidup mereka masih di bawah pekerja kulit putih. Banyak yang melandasi faktor ini, misalnya penghasilan orang tua mereka yang tidak seberapa, tinggal di lungkungan yang relatif lebih kumuh dibandingkan pekerja kulit putih, dan yang lainnya.
Pada akhirnya, rasisme secara sosial tersebut tetap menutup kemungkinan mereka untuk mengejar apa yang disebut sebagai ‘kepemilikan pribadi’. Mereka akan tetap bekerja untuk kepentingan individu yang lebih superior lagi.


Kesimpulan

Telah jelas bahwa rasisme merupakan salah satu elemen penting dalam berkembangnya kapitalisme. Bukan hanya kapitalisme yang secara langsung melakukan eksploitasi kepada apa yang disebut sebagai ‘masyarakat kelas dua’, tetapi juga menurunnya daya saing dari masyarakat kelas dua tersebut akibat rasisme sosial secara keseluruhan, yang seakan telah menjadi lingkaran setan.
Hal ini juga menimbulkan sebuah penyelewengan dan intepretasi mengenai ‘kebebasan individu untuk mengejar kepemilikan pribadi’ dengan menambahkan syarat dan kondisi tertentu. Artinya bukan kebebasan murni yang dianut oleh kaum kapitalis, melainkan cenderung direalisasikan sebagai sebuah kebebasan bersyarat. Syarat yang berlaku di sini sangat variatif. Secara luas, syarat ini dapat dilihat atas kedudukan dalam lingkungan sosial. Memang, masyarakat minor masa modern ini telah dianggap untuk layak untuk ikut serta dalam kebebasan tersebut. Namun sejauh Mana mereka akan bisa mengejarnya, di tengah kondisi yang serba terbatas?
Pada akhirnya mereka hanya akan tetap bekerja sebagai alat produksi industri saja. Sejauh mereka berusaha memeroleh kebebasan murni tersebut, sejauh itu pula kapitalisme akan terus berkembang.



Daftar Pustaka

Dennis, Benjamin dan Anita K. Dennis. Slaves to Racism : An Unbroken Chain from America to Liberia. (New York : Algora Publishing. 2008 )

Frederickson, George M.. Racism : A Short History. (New Jersey : Princeton University Press. 2002).

Gabriel, John. Racism, Culture, Markets. (London : Routledge University. 1994 )

Reisman, George. Capitalism : The Cure for Racism. www.capitalism.netexcerpts1-931089-07-8.pdf (diakses pada tanggal 26 Juli 2009, pukul 23.12)

Sunday, August 9, 2009

Secuplik Review dari Java Rockingland (Day Two Only!!)

Java Rocking Land 2009, 8 Augustus 2009
Venue : Pantai Karnaval, Ancol.

Gw beli tiket acara ini tanpa ragu sekalipun. Untuk tanggal yang gw incer, paling nggak ada 2 band yang sangat gw tunggu aksinya di panggung : Secondhand Serenade sama Mr.Big. Kalaupun gw nonton yang lain, itu gw anggep sebagai bonus.

Secondhand dijadwalin untuk main jam 20.30 - 21.45 dan Mr.Big untuk pukul 23.00-00.00
Entah emang gw ga terlalu niat apa gimana, tapi kok ya gw nyampenya di venue itu pas jam 20.00 kurang ya? Artinya emang gw melewatkan performer yang lainnya, dan terkesan emang cuma mau nonton dua band itu aja.

Secara umum venue-nya oke, dan menurut gw, Java udah milih Pantai Karnaval dengan desain panggung yang pas buat event kaya gini. Lokasi dan konsep tempatnya, sedikit banyak ngingetin gw sama Woodstock. Untuk artis yang perform? Ha...jawabannya ada dua bentuk, dan dua-duanya kontras banget! Berikut sedikit ulasan singkat mengenai performa panggung band-band yang gw tonton :


Secondhand Serenade
Gw berharap banyak sama mereka untuk bisa bikin gw yang baru dateng ini, jadi 'hot' dan kebawa suasana. Di lagu pertama, harapan gw kayanya bakal terwujud. Lagu 'Your Call' langsung digeber, dan dimainkan dengan rapi. Jamming mereka untuk pemanasan sebelum lagu itu juga cukup oke. Tapi entah...mulai lagu kedua sampai lagu terakhir, mood gw malah jeblok ga karuan! Cukup banyak kekurangan dari performa mereka.
Yang pertama lebih ke sosok John Vesely yang ga kreatif dan di setiap jeda lagu cuma bilang 'thank you Jakarta' atau 'thank you Indonesia'. Terkadang cuma ditambahin beberapa kalimat dengan logat Inggris agak aneh yang malah cuma kaya terdengar sebagai gumaman.

Kekurangan berikutnya (dan paling fatal) adalah masalah sound!! Disinilah momok sebenernya yang menjadi penghancur mood gw dan mungkin banyak orang lainnya. Sound-nya terdengar agak berantakan, dan sangat amat treble sekali...kedengaran tajam dan sakit di kuping. Terutama untuk suara gitar sama crash drum-nya. Waaahhh, pedes pokoknya di kuping! Makanya agak disayangkan kalo denger lagu yang harusnya oke dengan sound yang bising banget.
Dan yang makin fatal, seringkali terjadi overgain, jadinya suara 'kresek-kresek' di beberapa bagian lagu. Malahan ga cuma sekali-dua kali suara gitar sama bass-nya mati sama sekali! Kacau deh tuh masalah sound!

Satu yang bikin gw agak heran lagi...mereka kayanya ga enjoy pas bawain lagu mereka sendiri. Entah kenapa, feel-nya kurang dapet. Mereka sempat bawain satu lagu orang lain (Fix You-nya Coldplay), dan itu jauh lebih asyik dan dapet sambutan yang lebih meriah ketimbang mereka bawain lagu sendiri.
Gw ga mau nyalahin Secondhand juga sih. Mungkin mereka lagi apes aja, dan untuk masalah sound mungkin emang operator Java-nya yang ngaco. Tapi tetep, penampilan mereka...cukup mengecewakan gw.


Mother Jane
Gw denger band ini bener-bener secara ga sengaja. Secara emang gw ga tahu menahu samasekali tentang band ini. Pas itu kebetulan gw lagi cari makan di deket stage mereka manggung. Sambil ngantri, kok tanpa sadar gw menikmati musik dari stage sebelah ya? Langsung gw buka jadwal dan ngeliat nama 'Mother Jane' di situ. Gw pertama agak kaget setelah tahu mereka itu band dari India. Tapi gila banget pas gw dengerin lagu-lagunya. Progresif, dengan beat dan beberapa bagian yang ngingetin gw sama Dream Theater. Performa mereka juga rapi luar biasa, sampe gw sempet curiga....jangan-jangan ini lip sync? Hahaha...tapi gw buang pikiran bodoh itu setelah gw melihat penampilan mereka dengan lebih seksama. Dan di sinilah gw mulai amat tertarik dengan band 'asing' ini, serta mulai berusaha untuk mencari lagu-lagunya (bahkan sekarang lagi coba cari di 4shared!!! hahahaha..memang mental pembajak)


Mr.Big
Sulit dapet ruang kosong di depan panggung mereka. Mentok, gw cuma bisa sampai di tengah-tengah dengan dikepung kepengapan luar biasa. Sebelum mereka mulai, panitia maju dan minta kita nyanyi lagu 'Indonesia Raya'. Tepat setelah lagu itu selesai dilantunkan, Mr.Big masuk ke panggung disambut teriakan histeris massa (termasuk gw sih...hehe). Seperti yang gw harapkan...mereka semua lengkap. Pada awalnya, Eric Martin sang vokalis langsung ngenalin satu-satu personilnya : This is Mr.Billy Sheehan! (bahkan dia pake celana kebangsaannya : kulit ketat, warna merah kinclong), This is Mr. Pablo Gilbert, and This is Mr. Torpey!!!!.
Selesai kenalan, mereka langsung menghentak dengan lagu "Daddy Brother Lover Little Boy" yang disambut dengan tangan-tangan yang mengacung ke atas dan hentakan kaki dan kepala (lho?).
Secara umum, lagu mereka mengalir sangat lancar dengan variasi luar biasa pada setiap jeda lagunya. Sound yang sangat baik (walaupun ga perfect banget sih) dan terutama....skill teknik mereka yang sama sekali belum mengendur di usia senja. Eric Martin masih bisa mengeluarkan lengkingannya, dan Gilbert belum kehilangan kecepatan tangannya di grip gitar.
Yang makin oke, seringkali Paul Gilbert battle lawan Billy Sheehan. Ada adegan keren saat Gilbert ganti gitar dengan double neck dan seolah Sheehan ga mau kalah dengan ganti bass jadi double neck juga! Performa panggung mereka atraktif luar biasa!

Puncak kegilaan ada saat mereka bubar ke balik panggung, dengan salah satu kojo utama mereka yang belum dinyanyiin, yaitu : 'To Be With You'.
Teriakan-teriakan 'We want more!!!' mengalir dari seluruh penjuru.
Tiba-tiba Eric Martin masuk lagi disusul semua personil...seakan berlagak baru mau mulai manggung untuk pertamakalinya. Dan lagi-lagi Eric Martin ngomong :

"This is Mr.Billy Sheehan, This is Mr.Paul Gilbert, This is Mr. Pat Torpey, And Me? I am....the one who wants to be with you...."

Dan lagi-lagi, massa histeris dan melanjutkan malam sambil terus menyanyi hingga suara mereka menjadi habis.. (termasuk gw juga)


I started a disappointing night with Secondhand, but end up in wonderful night with Mr.Big!

Wednesday, August 5, 2009

Amuk

Dandy yang tempramental...mungkin ga pernah keliatan pada beberapa tahun belakangan ini.

Gw yang dikit-dikit selalu menukas dengan emosi..dan yang dikit-dikit bawaanya pingin marah mulu.
Masa itu udah jauh gw tinggal di belakang.
Be a nice person, smile at peoples, having well controlled emotion
. Itu yang berusaha gw wujudkan dalam mencapai kedewasaan gw.

Tapi ga tau kenapa, belakangan gw ngerasa agak sedikit 'ketarik' ke belakang. Ke masa gw dulu. Masalah numpuk dikit, pasti pelampiasannya jadi amukan dan bawaannya pingin mukul sesuatu (kalo nggak seseorang).

Masih jelas di ingetan gw, gimana dulu gw pernah mukul temen SD gw hanya gara-gara dia nyolong buku gw. Bahkan gwpun masih inget bagaimana dia nangis kesakitan, dan nangis gara-gara ngerasa hukuman yang dia terima ga setimpal (For God' sake!!! It's only stealing a book, not even stealing my money or my wallet!!).
Atau gw yang pernah berantem sama kakak gw sendiri yang beda umur nyaris 7 tahun. Waktu itu gw masih SMP, dan dia udah kuliah. Karena suatu masalah kecil, gw marah dan ngajakin dia ribut. Bahkan gw yang mulai nampol dia duluan. Dia ngebales, kita tampol-tampolan dan akhirnya....kalahlah gw dengan berujung terkapar di lantai rumah sambil nangis. Tangis gw bukan karena sakit dipukul, bukan juga karena gw ngerasa bersalah. Tapi kekecewaan mendalam karena gw merasa sangat lemah, dan pikiran bahwa : apabila saat itu gw lebih kuat...tentu dia yang akan terkapar di lantai, bukan gw!
Beranjak ke masa SMA. Disinilah gw mulai menemukan ketenangan di dalam diri gw. Kendati di masa inipun, gw juga pernah ribut untuk satu hal yang seharusnya ga perlu berujung pada adu jotos. Saat itu gw lagi berdiri di balkon sekolah, ngelamun sambil memandang ke lapangan bawah. Tiba-tiba ada seorang teman yang iseng, nepuk punggung gw dengan sangat keras. Pas gw nengok, dia pura-pura bukan dia yang ngelakuin dengan bersikap seolah munggungin gw. Ngerasa ga suka, gw juga melakukan 'tepukan' balik ke punggung dia dengan jauh lebih keras lagi (bunyinya udah bukan 'pak' tapi udah 'bug'). Dan ujung-ujungnya....haha, saling adu 'tepuk'. Lagi-lagi, masalah kecil ga jelas yang udah berdampak kepada keributan yang gw picu.

Amukan kaya gitulah yang menurut gw sangat ga wajar, dan yang pingin gw buang jauh-jauh ke masa lalu. Ga akan gw bawa ke masa sekarang.
Nyatanya, belakangan gw ngerasa sangat ingin untuk marah. Hal kecil, masalah kecil, ditambah sedikit masalah kecil lainnya, ditambah sedikit keresahan lain...bawaannya pingin meledak. Gw ngerasa kalo gw sedikit kehilangan kontrol atas diri gw sendiri.
Mikir, terus stuck dikit..bawaanya ngomel. Sambil menggerutu, gw mukul kursi yang gw dudukin. Agak sedikit susah buat nenangin diri.
Resah dikit, bawaanya berujung kepada marah-marah. Omongan jadi ga nyantai, cenderung nyolot. Gw sendiri juga ga tau kenapa...tiba-tiba gw jadi semoody ini?

What now? Am I really in the deep shit??
Well...Gw berharap gw ga terjerumus makin jauh ke dalam 'shit' itu.

Gw resah, tapi gw masih megang kontrol.
Bukan emosi dan tempramen yang menang atas gw, tapi gw yang mengatur saat-saat kemunculan mereka.
Gw bos nya. Gw yang berkuasa. Gw yang megang mereka..kendati ga tau sampai kapan...

Saturday, August 1, 2009

Orange Latte's New Three Songs! Enjoy!

Dengan kecepatan yang luar biasa...dalam seminggu ini Orange Latte (OL), sudah merampungkan rekaman untuk 3 (baca : tiga) lagu barunya! Yeaaaayyy!!

Hmmmm, proses recording yang kita lakukan di sini masih terbatas pada home production dan bukan studio production. Artinya, proses take, recording dan mixing kami lakukan dengan komputer pribadi dan software sendiri pula, seperti Cool Edit Pro, dll. Apabila masih sedikit terasa kasar, harap maklumlah...namanya juga rekaman hasil home production! Hehehe (alasan yang bagus bukan?)

Karena OL formasi saat ini memutuskan untuk beralih genre menjadi chill/mobster jazz, maka tiga lagu inilah yang kami ajukan sebagai lagu pertama..dan dengan segala hormat pada personil OL pendahulu dan the founding fathers, lagu-lagu OL sebelum tiga di bawah ini biarlah menjadi masa lalu dan kenangan indah mereka (hehehe).

Satu yang masih kurang dari lagu-lagu ini adalah masih adanya ruang kosong yang belum diisi suara flute, karena kebetulan Carol sang pemain flute kami sedang berada di Yogyakarta untuk kuliah. Jadi kami terpaksa harus menunggu kepulangan dia ke Jakarta untuk bisa merampungkan lagu Orange Latte yang seutuhnya dan menampilkan diri kami yang 'setelanjangnya' kepada kalian!

Berikut adalah sedikit ulasan dan contoh lagu baru kami :


Rain Song


Sejauh ini Rain Song merupakan lagu Orange Latte yang paling easy listening dan sederhana. Tidak banyak menggunakan progresi chord yang aneh. Memang sedikit njelimet, tapi progresinya tidak terlalu banyak. Tidak banyak memasukkan melodi dan bass yang ribet juga.

Rekomendasi : Versi instrumental mengandalkan sound yang sedikit treble pada main leadnya, memberi kesan optimis dan fresh pada suasana lagunya. Namun kalau ingin menikmati kesan yang lebih mellow dan mendalam...silahkan dengarkan versi vokal yang menawarkan suara sedikit berat pada awal hingga tengah lagu, dan perlahan meninggi hingga mencapai falset pada titik puncak lagu ini! (oke, sedikit lebay..tapi kurang lebih begitulah maksudnya)

Orange Latte - Rain Song (Instrumental)
Orange Latte - Rain Song (Vocal)


The Director is Me

Lagu ini mungkin tidak terlalu easy listening dan sedikit memiliki sound yang agak 'tua' (baca : oldies). Tapi tepat pada lagu inilah Orange Latte mewartakan musiknya. Lagu inilah yang mencirikan aliran Chill/Mobster Jazz yang kami geluti. Dan lagu-lagu seperti inilah yang ke depannya akan banyak kami produksi. Progresi chord yang cukup ribet dan unik, ditambah dengan permainan walking bass senada swing dan bossanova. Belum lagi apabila kita mendengar vokal berat khas wanita jaman dulu (ya, vokalis kami memang diduga sebagai ibu-ibu berpenampilan mahasiswi!).
Pada intro saja kita bisa mendengar permainan keyboard dengan tempo yang agak nyeleneh dan progresif. Tepat setelah berakhirnya intro, kita akan langsung 'dihajar' oleh walking bass dan petikan gitar treble yang tetap smooth. Akan menjadi lebih segar apabila ditambahkan alunan flute pada bagian bridge.


Orange Latte - The Director is Me


Tertarik dengan Orange Latte?
hendak menghubungi untuk info atau reservasi?
Hubungi Dandy : 02199586031/08999333285
Atau Email : Orangelatteku@yahoo.com ; Dandy.Pradana87@Yahoo.com
Thanks!!