Sunday, December 13, 2009

Pers di Dalam Peta Kekuatan Politik Indonesia

*Yak, lagi-lagi karena sedikit seret dalam bahan tulisan yang segar dalam blog ini...marilah saya post salah satu hal yang belakangan agak menyita waktu saya sehingga ga sempet menambhakan sesuatu yang berguan di blog ini : MAKALAH SAYA!!! hehehe..semoga bermanfaat


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sebagai produk dari komunikasi politik, pers dan media memiliki peran yang cukup beragam di dalam sistem politik di setiap negara. Entah peran itu hanya berupa penyedia informasi, sarana propaganda terselubung pemerintah, berdiri sebagai oposisi pemerintah, maupun ditunggangi oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Ragam peranan pers itu kemudian menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas, karena pers yang independen (bukan berasal dari pemerintah dan partai politik), seharusnya bisa memosisikan diri sebagai pihak yang netral.

Namun, pada tingkatan pers yang netralpun, kerapkali mereka bisa tanpa sengaja mengarahkan kepada pembentukan opini publik yang pada akhirnya menggiring masyarakat kepada pilihan untuk menentukan legitimasi kepada pihak-pihak yang bersaing sebagai penguasa.

Sejarah panjang pers Indonesia tidaklah terlepas dari hal-hal yang sudah disebutkan di atas. Ada masa-masa di mana pers berada di dalam rezim pemerintah yang cenderung otoriter. Mereka hanya dijadikan corong suara bagi para penguasa. Ada periode di mana yang tumbuh berkembang saat itu adalah pers yang ditunggangi oleh partai-partai politik, dan tidak jarang hanya menjadi media propaganda idealisme di antara partai-partai tersebut Ada kalanya mereka tidak berani menuliskan kabar pembredelan yang diterima oleh rekan media lain. Ada kalanya mereka justru mengumbar pembredelan media lain dengan mengajukan doktrin yang seolah menjadi pembenaran bagi pemerintah pada waktu yang bersangkutan untuk melakukan pembredelan tersebut. Namun terdapat juga masa-masa di mana mereka bebas untuk menulis dan melaporkan tentang apa yang terjadi di lingkungan pemerintah dan para elit politik secara gamblang, tanpa ragu dan takut terhadap apa yang mereka tulis asalkan masih sesuai dengan norma dan nilai yang terkandung di dalam Undang-Undang Pers.

Hal itulah yang kemudian menjadi menarik bagi penulis untuk membahas mengenai peranan pers di dalam peta politik Indonesia. Pers independen yang dibelenggu, jelas merupakan keuntungan bagi pihak penguasa yang sedang berada di lingkungan pemerintah. Namun kajian itu menjadi dapat dibahas lebih mendalam, apabila melihat pers yang bebas dan berpotensi meimbulkan ancaman bagi keberlangsungan penguasa yang sendag menjabat, mempromosikan oposisi, dan pembentukan opini publik.

2. Permasalahan

Kontrol sosial merupakan salah satu fungsi utama yang dimiliki pers di dalam ranah politik. Banyak pihak yang setuju dan mengutarakan bahwa pers adalah lembaga keempat di dalam trias politika. Di luar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, peran lembaga keempat yang diemban oleh pers adalah sebagai kontrol, dengan melakukan pemberitaan ke masyarakat luas apabila ketiga lembaga lainnya melakukan penyelewengan dalam kewajibannya.[1]

Wacana tersebut adalah sebuah pernyataan yang sebetulnya masih perlu dipertanggungjawabkan lebih jauh, Di dalam memaknainyapun, secara sekilas diperlukan batasan. Pers seperti apa yang masih bisa dikategorikan untuk memegang peranan tersebut? Hal ini seolah menjadi dilematis karena pers diharapkan bisa menjadi pihak yang dinggap tidak memihak, namun di sisi lain mereka merupakan media utama yang paling mempunyai akses menyeluruh di antara pemerintah, kelompo kepentingan, kelompok penekan, dan aspek masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain, mereka adalah pihak yang sangat berpotensi untuk memeiliki andil besar di dalam pergeseran peta kekuatan politik di sebuah negara, dalam hal ini Indonesia. Pers yang bebas dapat menjadi katalisator demokrasi di sebuah negara, di sisi lain juga ‘bebas’ untuk memilih kecenderungan mereka untuk menentukan ke arah mana pemberitaan mereka akan ditampilkan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis mengajukan pertanyaan penilitian sebagai berikut :

  • Seberapa relevan apabila pers dikatakan sebagai pilar keempat demokrasi setelah Ekskutif, Legislatif dan Yudikatif?
  • Seberapa besar peran pers di dalam peta kekuatan politik Indonesia?
  • Bagaimana prospek pers sebagai civil society yang berperan dalam mengawasi pemerintah di masa yang akan datang?

3. Kerangka Teori dan Konsep

3.1 Pers

Secara etimologis, kata pers (Belanda), press (Inggris), presse (Prancis) berarti ‘tekan’ atau ‘cetak’. Definisi terminologisnya adalah media massa cetak, disingkat media cetak. Istilah pers sudah lazim diartikan sebagai surat kabar mingguan (newspaper) atau majalah (magazine).[2]

Namun, kajian dari pers sendiri lambat laun meluas, sehingga pers tidak hanya meliputi media cetak. Pers dalam arti luas meliputi media massa elektronik, antara lain radio siaran, dan televisi siaran, sebagai media yang menyiarkan karya jurnalistik[3]

Secara lebih jauh di dalam bukunya, Prof. Drs. Onong Uchjana Effendi M.A, mendefinisikan pers dan hubungannya di dalam sistem politik sebuah negara : pers adalah lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di negara di mana ia beroperasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya. Pers adalah sebuah sistem yang terbuka dan probabilistik, artinya pers tidak bebas dari pengaruh lingkungan dan di sisi lain, pers juga memberikan pengaruh yang tidak dapat diduga kepada lingkungannya. Dengan sistem yang demikian, maka pers cenderung untuk mempunyai kualitas penyesuaian. Apabila pers tidak mampu menyesuaikan diri kepada perubahan kondisi dan lingkungan, maka ia akan mati. Di atas itu semua, mati hidupnya pers atau lancar tidaknya kehidupan pers di suatu negara dipengaruhi bahkan ditentukan oleh sistem politik dan pemerintahan di negara di mana pers itu beroperasi.[4]

3.2 Pers Pancasila

Sistem pers yang dianut di Indonesia semenjak rapat Dewan Pers pada tahun 1984. Sebuah sistem yang berusaha mencapai kondisi sebagai pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab. Definisi lainnya yaitu pers yang berorientasi, bersikap, dan bertingkah laku berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sayang, definisi pers yang dibuat oleh Dewan Pers itu gagal membuktikan adanya identitas asli Pers Pancasila. Dari segi terminologi definisi “pers yang bebas dan bertanggung jawab”, sulit dibedakan dengan pengertian “ A social responsibility theory of the press” yang disusun oleh Komisi Kemerdekaan Amerika Serikat paska Perang Dunia II.[5]

3.3 Komunikasi Politik

Komunikasi politik adalah pesan-pesan yang ditransmisikan, dan ditujukan untuk mempunyai pengaruh dalam distribusi kekuasaan di tengah masyarakat, ataupun tingkah laku dalam penggunaan kekuatan dan kekuasaan tersebut.[6]

:

3.4 Fungsi Pers

Pers adalah sarana yang menyiarkan produk jurnalisitk. Fungsi pers berarti fungsi jurnalisitk. Secara umum, ada empat fungsi pers, kendati hanya tiga yang berhubungan langsung dan signifikan dengan khasanah studi komunikasi politik. Ketiga fungsi tersebut adalah[7] :

Fungsi Menyiarkan Informasi. Fungsi ini merupakan fungsi yang utama. Informasi tersebut berupa gagasan mengenai apa yang dilakukan orang lain, apa yang dikatakan orang lain, dan lain sebagainya.

Fungsi Mendidik. Fungsi ini dapat bersifat implisit dalam bentuk berita, ataupun eksplisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana.

Fungsi Memengaruhi. Fungsi ini yang menyebabkan surat kabar memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Media yang terutama memiliki fungsi ini adalah media yang independen, bebas menyatakan pendapat, bebas melakukan kontrol sosial, dan bukan surat kabar organ pemerintah yang membawakan suara pemerintah

3. 5 Civil Society

Civil society diartikan sebagai sebuah ide mengenai eksistensi dari sebuah otonomi masyarakat yang terinstitusionalisasi, di luar negara. Ide dasar ini pada kondisi yang ideal, dispesifikasikan bahwa institusionalisasi masyarakat ini harus benar-benar diberi batas pemisah dengan kontrol dari negara. Adapun civil society sendiri seringkali diposisikan sebagai lawan dari totalitarianisme yang berkembang di Eropa Timur. Totalitarianisme yang banyak dibahas di sini menyangkut teror massa, atomisasi pada semua tatananan kehidupan sosial yang ada.[8] Adapun kalangan yang termasuk sebagai civil society dapat meliputi cendekiawan, pelajar, jurnalis, dan yang lainnya.

BAB II

ISI

A. Sejarah Pers dalam Politik Indonesia Paska Kemerdekaan

Sudah disinggung di dalam kerangka konsep sebelumnya, bahwa pers merupakan bagian integral dari negara, sehingga menyesuaikan dengan sistem yang berlaku di negara tersebut. Hidup mati dan lancar tidaknya kehidupan pers bergantung kepada sistem dan kebijakan pemerintahnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sepanjang sejarah Indonesia sejak merdeka hingga kini, sistem pers yang berlaku di Indonesia juga berubah-ubah menyesuaikan dirinya.

Secara garis besar, ada tiga sistem pers yang berjalan di Indonesia, yaitu sistem Pers Merdeka yang berkaitan dengan masa perjuangan kemerdekaan (1945-1950) dan sistem Politik Demokrasi Liberal (1950-1959); sistem Pers Terpimpin yang terpaut dengan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1965) ; dan sistem Pers Pancasila yang bergandengan dengan sistem politik Demokrasi Pancasila (1965-1998).[9]

Pers Merdeka yang dianut pada masa awal kemerdekaan dikumandangkan oleh Menteri Penerangan pertama, yaitu Mr. Amir Syarifuddin. Sistem pada pers ini tidak berbeda dengan sistem pers liberal, yaitu sistem pers yang bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai Fourth Estate atau kekuasaan keempat setelah Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.[10] Pada masa ini pers bebas menyuarakan segala sesuatu yang berjalan di pemerintahan di Indonesia, secara sehat. Sehatnya pemberitaan dan peran pers di masa ini, tentu tidak lepas dari kondisi sosial dan politik di Indonesia pada satu perideo yang sama. Indonesia masih berada di dalam masa perjuangan kemerdekaan. Artinya, secara nasional, pemerintah Indonesia serta segenap rakyatnya mempunyai kepentingan yang sama yaitu mempertahankan kemerdekaan. Belum banyak intrik yang terjadi di antara kalangan penguasa dan elit-elit politik, oleh karena satu tujuan yang sama. Hal itulah yang membuat kebebasan pers digunakan untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan patriotisme, serta mengeluarkan berita-berita propaganda menentang intervensi Belanda di dalam kemerdekaan Indonesia. Kehidupan pers dan politik pada masa ini terhitung bebas dan sehat, secara domestik.

Memasuki era Demokrasi Parlementer Indonesia, sistem pers juga turut berubah. Semenjak era perjuangan kemerdekaan berakhir, terutama dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda di tahun 1949, Indonesia mulai berbenah untuk mengurusi sistem politik domestik. UUDS 1950 mengesahkan dengan apa yang disebut sebagai Demokrasi Parlementer. Presiden berperan sebagai kepala negara, sementara Perdana Menteri bertugas sebagai kepala Pemerintahan, dengan membawahi kabinet yang terdiri dari perwakilan banyak partai. Sistem multipartai ini yang kemudian mewarnai politik Indonesia dengan persaingan sengit dari partai-partai politik yang berusaha memeroleh kekuasaan, dan juga peran serta dari pers yang memiliki kecondongan kepada masing-masin ideologi partai.

Kebebasan pers yang diwarisi dari era sebelumnya (Pers Merdeka) banyak digunakan untuk saling mencaci maki dan memfitnah lawan politik dengan tujuan lawan politiknya tersebut jatuh namanya dalam pandangan khalayak.[11] Hal ini menimbulkan ketidakstabilan politik di Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer. Dalam rangka mempertahankan rezimnya, para penguasa yang silih berganti mengisi posisi jabatan sebagai Perdana Menteri dan parlemen, kerapkali melakukan pembredelan terhadap media massa, dan pengakapan terhadap wartawan-wartawan yang dianggap tidak mampu menjaga kestabilan politik, dengan melakukan serangan terhadap pemerintah maupun saling melakukan propaganda.

Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan surat keputusan pada tahun 1958, yang mewajibkan semua surat kabar dan majalah untuk mendaftarrkan diri sebelum tanggal 1 Oktober 1958 kepada Penguasa Perang Daerah (Peperda) supaya diberi Surat Izin Terbit. Tanggal 1 Oktober inilah yang kemudian dianggap sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia.[12]

Usai dengan kegagalan era Demokrasi Parlementer, presiden Soekarno kembali mengambil alih roda pemerintahan dengan membawa Indonesia kepada masa Demokrasi Terpimpin. Di masa ini, pers semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Segala berita yang terbit dari pers di masa itu, berada di bawah kontrol yang ketat dari pemerintah pusat. Pada tahun 1960, semua penerbit kembali diwajibkan untuk mengajukan permohonan perolehan Surat Izin Terbit (SIT), dengan menerima syarat bahwa andaikata penerbit tersebut diberikan SIT, maka ia akan mendukung manipol Usdek dan mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa.[13] Akibatnya, harian-harian seperti Harian Abadi, Harian Pedoman, Nusantara, Kengpo, Pos Indonesia, dan banyak yang lainnya, menghentikan dan dihentikan penerbitannya. Pers pada masa ini merupakan pers milik pemerintah dan penguasa. Kekuasaan mereka menjadi langgeng karena hanya berita yang mendukung pemerintah yang sampai kepada masyarakat. Tidak ada ruang bagi oposisi, karena peran pers yang besar di dalam menancapkan propaganda dan doktrinasi dari pemerintah. Yang diuntungkan dengan hal ini adalah partai yang berafiliasi dengan pemerintah, maupun Soekarno secara pribadi, yaitu PKI. Dengan situasi ini, PKI mendapatkan akses untuk memengaruhi pers di masa tersebut. Hal ini terus berlangsung hingga terjadinya peristiwa 30 September 1965 dan runtuhnya masa Demokrasi Terpimpin yang mengakhiri Orde Lama secara keseluruhan.

Seiring dengan beralihnya masa pemerintahan menuju Demokrasi Pancasila yang dikomandoi oleh Presiden Soeharto, nasib pers juga turut berubah. Harian-harian yang berafiliasi dengan komunis dibredel dan dicabut izin penerbitannya. Menjadi ironis ketika harian-harian yang beberapa tahun sebelumnya menjadi primadona di kalangan masyarakat, mengalami perbedaan nasib yang drastis paska peristiwa 30 September 1965 dan perubahan alur politik Indonesia yang berjalan dalam waktu yang relatif sangat singkat. Adapun harian-harian yang dihentikan SIT-nya adalah Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti.

Pada masa Orde Baru ini kemudian berjalan sistem pers dengan apa yang disebut sebagai Pers Pancasila. Diawali dengan disahkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentnag Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, pers Indonesia dikembangkan dalam kerangka konsepsional yang disebut Pers Bebas dan Bertanggung Jawab.[14] Namun pada saat itu belum ada rumusan dan definisi yang jelas mengenai tingkat kebebasan dan tanggung jawab pers. Namun, mereka diberi batasan misalnya dilarang untuk menerbitkan hal-hal yang bertolak dari paham Komunisme atau Marxisme/Leninisme. Secara umum, pada masa itu, gagasan ini disambut baik oleh insan pers dan masyarakat. Timbul harapan akan pemerintah yang lebih transparan, dan kehidupan politik yang lebih beragam dan demokratis, karena memberi ruang munculnya oposisi yang sangat mungkin dibantu oleh pemberitaan pers yang (seharusnya) adil.

Kenyataannya, di masa inipun juga terjadi pembredelan. Tidak ada kebebasan pers yang awalnya dijamin pemerintah. Media yang berulangkali menuliskan hal-hal yang cenderung beroposisi terhadap pemerintah dengan menguak semua keburukan pemerintah Orde Baru, diberangus. Kasus yang paling mencolok adalah pembredelan dan pemberhentian izin untuk menerbitkan majalah Tempo di tahun 1994. Tim redaksi dari majalah Tempo sebelumnya sudah berkali-kali mendapatkan surat peringatan dari pemerintah akibat seringkali menuliskan berita-berita yang menjelekkan pemerintah, kendati dengan data yang cukup bisa dijamin kebenarannya. Puncaknya adalah tanggal 21 Juni 1994, ketika Tempo diberedel dan resmi dicabut Surat Izin Penerbitan nya. Bukan hanya Temp yang mengalami nasib ini, tapi beberapa media cetak lainnya yang kerapkali mengkritik pemerintah juga harus rela diberhentikan izin terbitnya oleh pemerintah, misalnya deTIk dan Editor.

Selewat masa orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat luas, dimulai era Reformasi yang kemudian kembali menjanjikan sesuatu yang berbeda pula bagi kehidupan pers. Disahkannya UU No. 4 Tahun 1999 menggantikan UU No. 11 Tahun 1966 adalah langkah awal bagi kebebasan pers di masa ini. Tidak hanya perubahan sistem politik saja yang memungkinkan oposisi untuk berkembang, melainkan juga kebebasan pers pula yang turut berperan serta dalam perkembangan oposisi tersebut. Pers sekarang tidak segan untuk mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-rakyat. Pers juga dimungkinkan untuk meliput dan menerbitkan berita-berita miring sehubungan dengan kinerja pemerintah, maupun skandal yang terjadi di antara aktor pemerintah maupun elit-elit politik. Hal itulah yang kemudian memungkinkan oposisi mendapatkan keuntungan dan dapat menarik simpati dari masyarakat luas. Media-media yang dibredel pada masa Orde Baru juga dapat kembali hidup dan memeroleh Surat Izin Terbit. Misalnya Tempo yang tidak hanya hidup kembali, melainkan berkembang dengan menerbitkan harian mereka sendiri.

Secara statistik, kebebasan pers di Indonesia meningkat, kendati di tidak drastits. Menurut statistik yang dikeluarkan oleh lembaga yang menjadi wadah kebebasan pers dunia asal Prancis, Reporters Without Borders, kebebasan pers Indonesia berada di urutan 105 dari 167 negara pada tahun 2005. Pada tahun 2009, Indonesia naik dan berada pada urutan 101 dari 175 negara.[15]. Peringkat tersebut adalah nomor dua tertinggi di kawasan Asia Tenggara, setelah Timor Leste

Namun, bukan berarti kekhwatiran terhadap pers menjadi lenyap sama sekali. Seperti halnya reformasi yang seringkali dianggap sebagai demokratisasi yang kebablasan karena belum siapnya mayoritas masyarakat Indonesia dengan sistem ini, pers pun seakan mengalami euforia yang berlebih dengan dibukanya keran kebebasan bagi mereka. Banyak dugaan yang muncul, karena ingin meningkatkan oplah mereka, pers cenderung menuliskan sesuatu yang sensansional dan seringkali tanpa sumber data yang akurat. Entah benar ataupun tidak, rupanya hal ini kerapkali menimbulkan kerugian bagi pihak yang dikritik di dalam pemberitaan mereka. Baik tokoh dari pemerintahan yang sedang berjalan, maupun tokoh-tokoh yang berasal dari kelompok kepentingan lain yang berposisi sebaagi oposisi pemerintah. Hal ini terbukti dengan adanya 108 kasus yang dibawa ke pengadilan kepada pers karena dugaan pencemaran nama baik pada periode 2003-2007.[16]

B. Memahami Peranan Pers sebagai Civil Society di Dalam Peta Kekuatan Politik Indonesia

Pers merupakan bagian dari civil society, yang artinya ia berdiri sebagai sebuah entitas yang berada di luar lingkup state. Hal yang menarik adalah wacana mengenai pers sebagai civil society yang menjalankan fungsi kekuasaan keempat (fourth estate) di dalam sebuah sistem negara Demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Menurut Abdul Muis, agar dapat memeroleh kedudukan tersebut, pers haru memiliki hak atau privelese tertentu yaitu hak kritik, hak kontrol, dan hak koreksi. Juga hak khusus bersyarat (qualified privilege) yang memungkikan pers bersifat transparan dalam pemberitaannya. Misalnya, memberitakan secara detail perdebatan sengit dan kejadian lain dalam sidang pengadilan, sidang lembaga legislatif dan yudikatif.[17]

Namun bukan berarti dengan posisi sebagai kontrol sosial tersebut, bahwa pers harus senantiasa berada di posisi sebagai oposisi pemerintah yang berjalan. Peranannya lebih diarahkan kepada sifat independensi di dalam menyebarkan transparansi tanpa rintangan dari pemerintah. Tanggung jawab yang utama dari pers bukan kepada pemerintah, melainkan lebih kepada kode etik yang berlaku di kalangan wartawan dan jurnalis.

Oleh karena itu, di dalam peran ini, pers diharapkan untuk menonjolkan dua fungsi utamanya, yaitu fungsi sebagai penyebar luas informasi dan fungsi untuk mendidik. Pers diharapkan dapat menjadi media yang transparan di dalam mengungkap kinerja pemerintah dan juga sekaligus memberikan pendidikan politik kepada khalayak luas. Apabila dihadapkan kepada relevansi dengan pernyataan bahwa pers adalah fourth estate di dalam sebuah sistem demokrasi, hal itu beralasan namun dengan berbagai pertimbangan yang sifatnya mengikat. Hal yang utama adalah perlunya pengawasan juga terhadap ‘lembaga pengawas’ ini. Pengawasan dan kontrol terhadap pers dapat berasal dari masyarakat luas. Apabila berita dari pers menimbulkan keresahan dari masyarakat karena tidak relevan atau sudah menyinggung hal yang di luar sasaran, maka masyarakat dapat melakukan kontrol langsung terhadap mereka. Contohnya adalah pendudukan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) ke kantor Jawa Pos di Surabaya pada tanggal 6 Mei 2000, karena menyangkut teknis pemilihan kata dan tidak terpenuhinya prinsip jurnalistik dalam salah satu terbitan Jawa Pos.[18]

Selain sebagai agen pengawas pemerintah, pers juga dapat berperan sebagai pembentuk opini publik, dengan menjalankan fungsi mereka sebagai pemengaruh. Hal ini yang kemudian menjadi krusial di tengah pergesaran peta politik, karena opini publik yang terbentuk tidak hanya berlaku kepada pemerintah yang sedang berjalan, melainkan juga untuk oposisi dana kelompok-kelompok kepentingan dan kelompok penekan lain yang berusah masuk ke dalam lingkungan pemerintah dan elit. Hal ini tidak termasuk dengan pemuatan iklan politik di media mereka. Untuk masalah ini, terdapat problema yang dilematis di tengah-tengah kalangan wartawan. Sempat ada hal yang ambigu di antara ‘iklan politik’ dengan ‘karya jurnalistik’.[19] Contohnya adalah pemuatan artikel mengenai keberhasilan pemerintah berjalan di dalam pengadaan swasembada pangan dan alokasi APBN 20% untuk dana pendidikan. Apapun bentuknya itu (iklan atau karya jurnalistik), nyatanya hal itu menimbulkan keuntungan bagi pemerintah yang sedang berjalan tersebut.

Contoh yang termutakhir adalah kisruh kasus Bank Century yang sedang marak belakangan ini. Kegetolan pers dalam meliput berita tentang masalah ini, berujung kepada tumbuh kembangnya gerakan masyarakat di mana-mana terhadap isu yang bersangkutan. Memang pemerintah tidak sedang mengalami masa krisis akibat gerakan yang timbul dari isu tersebut, namun setidaknya berbagai pemberitaan tersebut sudah menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah secara keseluruhan. Hal ini yang kemudian menimbulkan opini di beberapa kelangan seperti “rindu akan sosok JK yang cepat dan tegas dalam menindak masalah”. Artinya, JK seakan memeroleh promosi gratis di tengah kabar miring yang diterima pemerintah akibat pemberitaan-pemberitaan tersebut.

Selain pers sebagai media yang bisa membawa dampak tidak langsung di dalam pergeseran peta politik, mereka juga dapat membawa dampak dan pesan yang eksplisit terhadap pergeseran tersebut. Misalnya sistem pers yang berlaku pada zaman Demokrasi Terpimpin. Saat pers saat itu dijadikan media untuk melakukan propagnda dan doktrinasi dari berbagai pihak. Muncul banyak karikatur dari masing-masing media cetak yang menggambarkan ketidaksetujuan dan perlawanan yang diusung oleh partai atau kalangan oposisi. Pada akhirnya pula, perang media tersebut juga membentuk opini publik. Kalau di akhir cerita Demokrasi Parlementer, PKI berhasil memeroleh posisi yang signifikan, hal itu tidak terlepas dari peran pers di era tersebut. Dari kacamata sebaliknya, yaitu mengenai tidak adanya pergeseran kekuatan politik di Indonesia, hal itu terjadi di masa pers dibungkam oleh penguasa. Informasi yang mengalir ke bawah tentang pemerintah hanyalah info yang baik-baik. Dengan kondisi tersebut, oposisi tidak bisa berkutik menandingin hegemoni penguasa. Tidak ada alasan bagi rakyat untuk tidak memilih pemerintah yang sudah ‘sukses’. Pers digunakan sebagai salah satu mesin utama doktrinasi orde baru. Bagi pers yang menentang, akan dibredel dan dicabut izin terbitnya. Itulah salah satu faktor utama penunjang langgengnya era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Lalu bagaimana dengan peranan pers di masa yang akan datang? Masih mampukah ia bekerja sebagai sarana kontrol yang netral dan menjalankan fungsinya tetap di lingkup civil society dan bukan state? Dengan kondisi sekarang ini, pertanyaan itu menjadi cukup sulit untuk dijawab. Munculnya Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) di pertangahan tahun ini menjadi salah satu hal utama yang memberikan jawaban negatif terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pasal-pasal yang terkandung di dalam RUU RN dianggap sebagai aturan yang berpotensi menimbulkan “pembredelan gaya baru” oleh pemerintah. Secara umum, RUU RN itu berisi mengenai pelarangan bagi semua institusi untuk menyebarkan segala sesuatu yang dianggap sebagai rahasia negara, atau institusi tersebut akan dinyatakan sebagai korporasi terlarang, dipenjara, dan dikenai denda antara Rp 50 Milyar sampai Rp 100 Milyar. Yang menjadi kekhawatiran utama adalah penentuan batas rahasia negara yang tidak boleh dipublikasikan. Hal itu tentau akan mempersempit ruang gerak pers, dan dikhawatirkan tidak dapat memberitakan hal-hal yang mengkritik pemerintah, karena sifatnya yang ‘rahasia’.[20] Kondisi ini tentu kembali mengingatkan kalangan jurnalis akan hal yang serupa pada masa Orde Baru. Hl itulah yang kemudian menuai kritik dan protes dari kalangan pers dan jurnalis yang tergabung di dalam Institut Studi Arus Informasi (ISAI).

Ancaman terhadap peranan pers tersebut harus ditambah dengan syarat dan prakondisi sebelum pers menjadi kebablasan. Menurut Abdul Muis, pers juga memerlukan pengawas. Seperti yang sudah disebutkan pada sub bab sebelumnya, pengawas pers adalah masyarakat, Namun hal itu belum cukup efektif, karena setidaknya perlu ada lembaga sendiri di dalam pengawasan batas pers agar tidak kebablasan. Misalnya dengan membentuk Ombudsman yang khusus menangani pengawasan pers dan memahami kode etik jurnalis.

BAB III

KESIMPULAN

Pers tidak hanya dapat dipandang sebagai agen pembawa informasi, melainkan mereka memiliki peran yang jauh lebih besar di dalam sistem politik sebuah negara. Pemberangusan pers terutama di masa Orde Baru, merupakan bukti otentik mengenai bagaimana pers yang tidak bisa bergerak turut andil dalam langgengnya sebuah rezim yang otoriter. Di sisi lain, terlalu aktifnya pers di dalam propaganda yang kontra pemerintah, pro oposisi satu dan pro oposisi lainnya, serta didudkung oleh sistem multipartai yang cenderung terkesan terlalu bebas, justru menyebabkan pemerintahan yang tidak stabil atau rapuh, karena pemerintah yang satu dan oposisi yang selalu bergantian menguasai kursi pemerintahan. Itulah karakteristik pers dan pemerintahan pada masa Demokrasi Liberal atau Parlementer.

Setidaknya, hal-hal tersebut yang menandai betapa besar peran pers di dalam pergeseran kekuatan politik di Indonesia. Kinerja pers bergantung pada rezim dan aturan yang dikeluarakan disaat rezim itu berdiri. Itulah ciri yang menggolangkan pers sebagai sebuah civil society di dalam sebuah negara. Pers tidak harus kontra pemerintah, namun tidak berarti harus kontra oposisi pula. Perannya yang utama adalah fungsi pers pertama, yaitu pembawa informasi, kendati hal yang berikutnya seringkali terjadi, yaitu terbentuknya opini publik dan kemudian memengaruhi alur roda pemerintahan.

Prosepek mengenai pers yang independen dan bebas di masa depan masih merupakan suatu hal yang perlu dikaji labih mendalam, karena hal tersebut memerlukan berbagai syarat dan prakondisi. Misalnya adanya etika pers yang lebih jelas di tengah kalangan jurnalis, hingga perlunya akan lembaga yang berperan langsung di dalam pengawasan pers. Senada dengan hal ini, konsep pers sebagai fourth estate di dalam demokrasi setelah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif juga merupakan hal yang memerlukan prakondisi. Prakondisi kedua hal ini saling bertautan. Artinya, untuk mewujudkan pers sebagai fourth estate, diperlukan pengawasan yang lebih kritis terhadap mereka, kendati di sisi lain pers juga memerlukan hak dan privilese yang lebih.

Daftar Pustaka

Sumber Buku

Ali, Noval. Perdaban Komunikasi Politik : Potret Manusia Indonesia. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. 1999

Arifin, Anwar. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila : Suatu Kajian mengenai Pers Pancasila. Jakarta : Yayasan Media Sejahtera. 1992.

Effendi, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:PT. Citra Aditya Bakti. 1993

Muis, Abdul. Titian Jalan Demokrasi : Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik. Jakarta:PT Kompas Media Nusantara. 2000.

Whyte, Martin King. Urban China : A Civil Society. dalam Arthur Rosenbaum. State and Society in China. Colorado : Westview Press Publisher. 1992

Sumber Internet

__________. Ancaman Baru Kebebasan Pers. http://www.lbhpers.org/?dir=beritatampil&id=823 (diakses pada tanggal 4 Desember 2009 pukul 09.12)

__________. Hati-hati Pembredelan Pers Gaya Baru! http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/08/08/0225136/hati-hati.pembredelan.pers.gaya.baru (diakses pada tanggal 4 Desember pukul 22.32)

__________. Iklan Politik dan Tanggung Jawab Pers. http://www.dewanpers.org/upload/buletin/8c18c0f947b2acc2faa78ac4604d410a/attach/Buletin_ETIKA_Maret_09.pdf (diakses pada tanggal 5 Desember 2009, pukul 13.12)

__________. Press Freedom Index 2009. http://www.rsf.org/en-classement1003-2009.html (diakses pada tanggal 3 Desember 2009, pukul 22.07)

Khakim, Ahmad. Kontrol Publik atas Pemberitaan Media. Studi Kasus : Konflik Jawa Pos Vs. Banser. www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/abstrakpdf.jsp?id=82078. (diakses pada tanggal 3 Desember 2009 pukul 17.00

Syahri, Mochammad. Intervensi Pemerintah terhadap Kebebasan Pers dan Munculnya Eufimisme.

http://sastra.um.ac.id/wp-ontent/uploads/2009/10/Intervensi-Pemerintah-Terhadap-Kebebasan-Pers-dan-Munculnya-Eufimisme-Moch.-Syahri.pdf

(diakses pada tanggal 3 Desember 2009, pukul 16.35)

.



[1]Mochammad Syahri. Intervensi Pemerintah terhadap Kebebasan Pers dan Munculnya Eufimisme. http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Intervensi-Pemerintah-Terhadap-Kebebasan-Pers-dan-Munculnya-Eufimisme-Moch.-Syahri.pdf (diakses pada tanggal 3 Desember 2009, pukul 16.35)

[2]Abdul Muis. Titian Jalan Demokrasi : Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik. (Jakarta:PT Kompas Media Nusantara. 2000). hal xvii

[3] Onong Uchjana Effendi. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti. 1993). hal 90

[4] Ibid. hal 87

[5] Op. Cit. Abdul Muis. Titian Jalan Demokrasi… hal xvii

[6] Noval Ali. Perdaban Komunikasi Politik : Potret Manusia Indonesia. (Bandung:PT Remaja Rosdakarya. 1999) hal v

[7] Op. Cit. Onong Uchjana Effendi. Ilmu, Teori dan… hal 93-94

[8] Martin King Whyte. Urban China : A Civil Society. dalam Arthur Rosenbaum. State and Society in China. (Colorado : Westview Press Publisher.) 1992

[9] Anwar Arifin. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila : Suatu Kajian mengenai Pers Pancasila. (Jakarta : Yayasan Media Sejahtera. 1992). hal 42

[10] Op. Cit. Onong Uchjana Effendi. Ilmu, Teori, dan… hal 89.

[11] Ibid. hal 107-108

[12] Ibid. hal 108

[13] Ibid. hal 108

[14] Op. Cit. Anwar Arifin. Komunikasi Politik dan… hal 50

[15] Press Freedom Index 2009. http://www.rsf.org/en-classement1003-2009.html (diakses pada tanggal 3 Desember 2009, pukul 22.07)

[16] Ancaman Baru Kebebasan Pers. http://www.lbhpers.org/?dir=beritatampil&id=823 (diakses pada tanggal 4 Desember 2009 pukul 09.12)

[17] Op. Cit.Abdul.Muis. Titian Jalan Demokras… hal 56

[18] Ahmad Khakim. Kontrol Publik atas Pemberitaan Media. Studi Kasus : Konflik Jawa Pos Vs. Banser. www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/abstrakpdf.jsp?id=82078. (diakses pada tanggal 3 Desember 2009 pukul 17.00)

[19] Iklan Politik dan Tanggung Jawab Pers. http://www.dewanpers.org/upload/buletin/8c18c0f947b2acc2faa78ac4604d410a/attach/Buletin_ETIKA_Maret_09.pdf (diakses pada tanggal 5 Desember 2009, pukul 13.12)

[20] Hati-hati Pembredelan Pers Gaya Baru! http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/08/08/0225136/hati-hati.pembredelan.pers.gaya.baru (diakses pada tanggal 4 Desember pukul 22.32)