Monday, October 18, 2010

Wacana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto : Sudahkah Layak?

*Begian terakhir belum selesai, karena keterbatasan waktu...hehe. Terima kasih!

Senin 18 Oktober, seorang teman bercerita dan bertanya kepada saya..."Gw mau apa tau pendapat lo soal wacana pemberian gelar 'Pahlawan Nasional' kepada Soeharto, beserta alasan-asalannya". Kalau cuma ditanya tentang apa pendapat saya...saya akan jawab tidak setuju. Tapi untuk alasannya, saya lebih suka memaparkan via blog ini, atau bertemu langsung dengan orang yang bersangkutan (orang bersangkutan ini maksudnya teman saya yang berinisial 'P', bukan Soeharto).

Inilah sedikit ulasan mengenai alasan saya yang tidak setuju kepada pemberian gelar kepada Soharto. Perlu diingat bahwa tulisan ini hanyalah essay kecil, tentang pendapat pribadi yang berdasarkan sedikit literatur (yang dapat saya percaya). Jadi ini hanya essay saja, dan bukan karya ilmiah yang sudah diujikan keabsahannya dalam sidang atau presentasi!

Here's your answer P :

Saya membagi tulisan ini ke dalam beberapa bagian, yang kiranya dapat menjelaskan dengan lebih runtun mengenai azas kesesuaian pemberian gelar 'Pahlawan Nasional' kepada Soeharto. Yang pertama, tentu saja kita harus mengetahui definisi 'Pahlawan Nasional', dan batasan-batasan serta indikator yang dapat merujuk kepada status sesorang yang hendak dianugerahi gelar tersebut. Baru pada tahap berikutnya, diperlukan sebuah riset kecil tentang apa saja yang sudah dilakukan oleh Soeharto semasa hidupnya. Kemudian kita akan meninjau kesesuaian batasan-batasan tersebut, dengan nilai-nilai yang sudah dibawa tokoh tersebut.


A. Definisi dan Indikator-Indikator "Pahlawan Nasional"

Setidaknya ada dua hal yang bisa digunakan sebagai alat ukur dalam penetapan kriteria gelar "Pahlawan Nasional". Yang pertama adalah definisi "Pahlawan Nasional" secara etimologis bahasa Indonesia. Yang kedua adalah melihat definisi dan kriteria gelar "Pahlawan Nasional" yang diakui dan tercantum di dalam Perpres No. 33 Tahun 1964.

Untuk mencari asal dan definisi frase “Pahlawan Nasional” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terus terang saya mengalami kesulitan teknis. Mengapa? Karena kebetulan saya tidak punya KBBI……hehe. Tapi biasanya saya selalu mencari lewat situs buatan Diknas yang berisi salinan langsung dari KBBI, menjadi KBBi versi online. Entah mengapa, sudah 2 bulan ini situs tersebut tidak bisa diakses. Mohon maaf sebelumnya, tapi saya terpaksa menggunakan definisi dari kamus bahasa Indonesia lainnya, yang saya peroleh dari situs ini http://kamusbahasaindonesia.org. Menurut situs tersebut, definisi pahlawan dan nasional adalah sebagai berikut[1] :

pah.la.wan
[n] orang yg menonjol krn keberanian dan pengorbanannya dl membela kebenaran; pejuang yg gagah berani

na.si.o.nal
[a] bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dr bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa: cita-cita --; perusahaan --; tarian --

Definisi harus saya bagi menjadi dua, karena kamus tersebut tidak menjelaskan frase langsung pahlawan nasional. Adapun dari definisi tersebut, dapat ditarik beberapa indikator yang kemudian dapat dijadikan sebagai kriteria seorang pahlawan nasional. Untuk lebih ringkasnya, saya menjadikan “nasional” sebagai bagian yang menerangkan (dalam Frase Diterangkan-Menerangkan), sehingga bahasan dan indikator utama akan saya turunkan hanya dari “pahlawan”.

Berikut indikator yang saya turunkan dari “pahlawan” :

  1. Pejuang
  2. Menonjol karena keberanian
  3. Menonjol karena pengorbanan
  4. Membela kebenaran

Sedangkan “nasional” hanya bersifat penjelas, sebagi keterangan sifat dari “pahlawan” itu sendiri.

Berikutnya, kita akan mengurai kepada hal yang lebih spesifik dan lebih jelas, yaitu definisi dan kriteria “Pahlawan Nasional” yang termaktubkan di dalam Perpres No. 33 Tahun 1964[2].

Yang dimaksudkan dengan "Pahlawan" dalam peraturan ini ialah::

a. Warga Negara Republik Indonesia yang gugur atau tewas atau meninggal dunia

karena akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai jasa perjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela Negara dan Bangsa;

b. Warga Negara Republik Indonesia yang masih diridhoi dalam keadaan hidup sesudah

melakukan tindak kepahlawanannya yang cukup membuktikan jasa-pengorbanan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela Negara dan Bangsa dan yang dalam riwayat hidup

selanjutnya tidak ternoda oleh suatu tindak atau perbuatan yang menyebabkan menjadi cacad nilai perjuangan karenanya.

Poin b dapat kita hilangkan, karena wacana pemberian gelar Soeharto baru diapungkan setelah beliau meninggal. Lebih jauh, Perpres tersebut memberikan definisi yang jelas mengenai bentuk dari “jasa” dan”pengorbanan”.

(1) Yang dimaksudkan dengan "jasa" adalah nilai kemenangan dan/atau prestasi

yang telah dicapai, termasuk pula segala tindak dan/atau perbuatan yang menyebabkan

tercapainya kemenangan dan/atau prestasi tersebut.

(2) Yang dimaksudkan dengan "pengorbanan" adalah penderitaan dan/atau

kerugian yang terjadi, akibat suatu pendharmaan diri dalam pelaksanaan tugas dan/atau

perjuangan untuk kepentingan Negara dan Bangsa.

Lebih jauh, definisi dan penjelas tersebut dapat kita tarik menjadi beberapa indikator lagi. Yaitu :

  1. Pencapaian kemenangan dan prestasi
  2. Tindak-tanduk yang mendukung pencapaian
  3. Penderitaan dan kerugian
  4. Pendharmaan diri
  5. Kepentingan negara dan bangsa

Dari kedua sudut pandang tersebut, makan saya memeroleh 7 buah poin yang kiranya dapat menjadi kriteria penetapan seorang “Pahlawan Nasional”, yaitu :

1. Pejuang

2. Menonjol karena keberanian

3. Membela kebenaran

4. Pencapaian kemenangan dan prestasi

5. Tindak-tanduk yang mendukung pencapaian

6. Penderitaan dalam pendharmaan diri

7. Kepentingan negara dan bangsa

Dengan demikian, kita telah memiliki sebuah kriteria sederhana pendefinisian seorang tokoh yang dapat disebut sebagai Pahlawan Nasional.

B. Rekam Jejak Soeharto

Pada bagian ini, akan sedikit saya paparkan apa saja tindakan-tindakan dan pin-poin secara garis besar, yang kiranya dapat dijadikan sebagai acuan mengenai apa saja yang sudah dilakukan Soeharto untuk RI. Sebagai penjelas, banyak dari sekian banyak catatan ini yang diwarnai dengan kontroversi, mengenai sejarah yang sudah dibengkokkan. Karena sudah jamak bagi sejarah di negara manapun, bahwa berlaku hukum yang familiar disebut sebagai “The winner takes all”, termasuk perubahan alur sejarah.

Berikut adalah beberapa daftarnya :

  1. Peran Soeharto dalam perjuangan kemerdekaan, Serangan Umum 1 Maret 1949.

Studi literatur maupun beberapa dokumen yang diungkap pada masa orde baru (baik tertulis, maupun visualisasi dokumen yang menjadi sebuah film layar lebar), menyebutkan bahwa Letkol Soeharto adalah tokoh yang pertama kali mencanangkan, memrakarsai, dan memimpin langsung Serangan Umum 1 Maret terhadap Ibu Kota RI saat itu (Jogjakarta), agar dapat mendeklamasikan RI yang masih berdiri dan masih memiliki eksistensi. Letkol Soeharto terhitung berhasil dalam melaksanakan tugasnya memimpin pasukan gerilya, dengan berhasi menduduki Jogjakart selama 6 jam, dan menyiarkan kepada dunia internasional bahwa RI saat itu masih berdiri. Namun, yang menjadi kontroversi di sini adalah peran Soeharto yang dinilai dibesar-besarkan, dan dianggap hanya sebagai propaganda di saat ia menjabat sebagai presiden di masa Orba. Pendapat ini muncul dari dokumen-dokumen yang dimiliki oleh kekeratonan Jogja, dan laporan saksi, bahwa di dokumen berikutnya yang ditemukan pada saat orab dan film yang dibuat di jaman Orba, digambarkan bahwa Letkol Soeharto pemrakarsa, dan tidak menggambarkan peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX di situ. Padahal, menurut beberapa sumber yang diakui keabsahannya, justru Sri Sultan HB IX yang terlebih dahulu memrakarsai, dan merancang serangan tersebut, sebelum berikutnya kemudian dilaksanakan oleh Letkol Seoharto[3]

  1. Peran Soeharto dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, 1962. Setelah keberhasilannya memimpin tentara gerilyawan dan menduduki Yogyakarta selama 6 jam, karier Soeharto do militer terus meningkat. Hingga pada januari 1962, ia dilantik menjadi Mayor Jenderal, dan diserahi tanggung jawab untuk memimpin operasi militer pembebasan Irian Barat (Komando Mandala). Sejauh ini, belum ada kontroversi soal keberhasilan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala, dalam membebaskan Irian Barat.

  1. Poin berikutnya yang menarik untuk dibahas adalah persoalan mengenai gerakan 30 September 1965. Kontroversi mengenai dalang dibalik peristiwa ini masih bergulir hingga kini, dan bisa jadi tidak dapat diurai dengan sempurna hingga kapanpun. Hal itu berkaitan dengan dokumen-dokumen yang hilang, dan makin sedikitnya jumlah saksi hidup yang dapat dimintai keterangan. Namun, siapapun dalangnya, Soeharto jelas mempunyai pengaruh di dalam peristiwa ini. Hal ini juga diamini oleh John Roosa, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, yang menelurkan sebuah teori termutakhir, yang berusaha mengurai siapa pihak-pihak yang bertanggung jawab di belakang peristiwa 30 September. Di dalam bukunya Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia (yang kemudian diterbitkan di Indonesia sebagai : dalih pembunuhan missal), Roosa juga menyinggung tentang besarnya peranan yang dilakukan oleh Seoharto. Ia tidak menunjuk langsung kepada Soeharto bahwa ia figur sentral di balik peristiwa tersebut, namun lebih jauh ia mengurai tentang persaingan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Darat (AD) yang sedang panas pada pertangahan tahun 1960. Secara ringkas, Roosa menyebutkn bahwa perbutan kekuasaan di antara kedua pihak, membuat AD membuat seuatu rencana untuk menumpas PKI dalam sebuah gebrakan, dan hendak menempatkan orang dari AD di tampuk kekuasaan paska Soekarno. Oleh karena itu, AD membuat sebuah gerakan yang seolah-olah menunjuk bahwa PKI telah melakukan sebuah usaha kudeta, sehingga timbul pembenaran untuk menghabisi PKI hingga ke akar-akarnya. Dan rencana itu dipungkas dengan naiknya Seoharto yang mengambil kursi kekuasaan dari Soekarno, yang dianggap dalam keadaan tidak mampu untuk memimpin.[4]

Kontroversi soal ini juga dilanjutkan dengan Surat Perintah Sebelas Maret 1966, yang diklaim Soeharto sebagai surat penunjukkan dirinya oleh Soekarno, sebagai pemegang kekuasaan (sementara) yang sah, ketika Soekarno masih sakit. Namun hingga saat ini, dokumen tersebut diragukan kebenarnnya (karena hingga saat ini, Supersemar yang beredar hanylah berupa salinan). Dan beberapa saksi sejarah juga menyatakan bahwa surat itu ditandatangani Soekarno, di bawah intimidasi, sementara.saksi lainnya mengatakn bahwa Soekarno tidak pernah menulis surat perintah tersebut. Sementara, bukti lain menunjukkan bahwa Soekarno tidak menulis Supersemar sebagai pengalihan kekuasaan kepada Soeharto, melainkan hanya mandat untuk mengamankan keadaan.[5]

  1. Bagian yang berikutnya adalah bagian saat Soeharto sudah resmi menjabat sebagai presiden hasil legislatif, paska Pemilu 1971. Seharusnya bagian ini justru harus dibuat lebih fokus lagi, tapi karena keterbatasan...errrrr....waktu, maka akan saya singkat saja di dalam poin ini. Sebuah ‘prestasi’ yang menonjol dari Soeharto adalah pembangunan dan kekuatan ekonominya. Saat Indonesia dapat mencapai swasembada pangan, dan PELITA berjalan dengan cukup sukses. Itu sebuah pencapaian, yang banyak dikenang oleh banyak orang tua hingga kini. Biasanya dibumbui dengan kalimat “masih enak jaman Pak Harto daripada sekarang...harga-harga murah, makanan terjangkau”. Sebuah kalimat yang bisa menjadi pujian tersendiri bagi rezim kekuasaannya. Namun benarkah demikian? Benarkah bahwa sejatinya, pertumbuhan ekonomi pada jaman Soeharto jauh lebih pesat dan mencapai hasil yang lebih tinggi daripada sekarang? Pantaskah kalimat pujian tersebut disematkan? Nyatanya, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan bersifat semu. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai, merupakan hasil dari suntikan dana dan hutang dari IMF. Pembangunan memang harus diakui terjadi (ini yang membuat Pak Harto digelari “Bapak Pembangunan”), namun nyatanya pembangunan besar-besaran juga dilandasi di atas hutang. Dan tahun 1998 adalah pukulan telak bagi negara ini yang dibangun di atas hutang. Jadi seharusnya statement tentang “lebih enak jaman Pak Harto” tadi, lebih baik dikoreksi atau dicabut sama sekali. Karena kondisi ekonomi Indonesia akan semakin merosot apabila gaya kepemimpinan Soeharto diteruskan. Dosen saya, yang juga seorang peneilit sosial-politik pernah mengadakan studi dengan kawan-kawannya. Ia menghitung jumlah hutang Indonesia saat ini, dan dibagi dengan angka kelahiran Indonesia di tahun 2004. Saat itu, beliau mendapati hasil bahwa setiap bayi yang lahir pada tahun itu, masing-masing sudah menanggung hutang sekitar 3 juta rupiah. Hal ini belum diperparah dengan korupsi yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya, sewaktu ia masih menjabat menjadi presiden.

Di luar pembangunan ekonomi, permasalahan sosial dan budaya juga harus disorot dengan lebih jelas. Dari segi budaya, rezim Soeharto berusaha membuat kebijakan-kebijakan yang menyeragamkan masyarakat Indonesia, dan justru menghilangkan nilai-nilai asli banga Indonesia. Untuk kaum TiongHoa misalnya, banyak kebijakan Orde Baru yang mewaijbkan orang TiongHoa untuk meninggalkan unsur budaya mereka, misalnya nama, budaya, hingga kepercayaan. Begitu pula dengan penyeragaman masyarakat sosial di pedalaman. Misalnya pergantian nagari di Minang, menjadi desa, yang berbeda secara struktur.

Permasalahan sosial juga kerapkali ditutupi-tutupi oleh Soeharto, sebagai usaha untuk menjalankan sebuah pemerintahan yang solid dan terkesan kondusif. Dengan kata lain, banyak kegiatan yang harus dilakukan secara bawah tanah, agar isu-isu yang berpotensi mengguncang stabilitas nasional, dapat diredam. Salah satu bagian dari usaha bawah tanah tersebut adalah pengiriman intel ke tengah-tengah masyarakat. Tujuannya untuk mengawasi tindak0tanduk atau gerak-gerik yang berafiliasi dengan penciptaan instabilitas dan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Orde Baru. Banyak dosen saya di Ilmu Politik (yang dahulu masih menjadi mahasiswa), harus berusaha ekstra keras hanya untuk mendapatkan kopian buku Das Kapital. Setiap acara keorganisasianpun juga kerapkali diawasi. Dosen saya yang dahulu juga sudah menjadi dosen, kerap disusup intel di dalam kelasnya sendiri. Ia kerap ditegur, karena memberikan kuliah ataupun referensi buku, yang dianggap tidak sejalan dengan pemerinthan Orde Baru. Program ABRI Masuk Desa juga ditengarai sebagai salah satu cara untuk menyisipikan Intel ke dalam masyarakat-masyarakat suburban. Di luar itu, banyak isu-isu tersebut yang kemudian meledak menjadi sebuah gerakan, dan harus ditanggapi dengan kekerasan oleh pemerintahan Orba. Dalam pemerintahan Seoharto, tercatat berbagai kasus yang berhubungan dengan kekerasan, hingga penculikan orang-orang yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Apakah Soeharto secara langsung terlibat? Hal itu baru merupakan asumsi besar, dan hingga kini belum ada pembuktian yang diusahakan oleh penegak hukum Indonesia. Namun satu yang pasti, langsung maupun tidak, Soeharto memiliki keterlibatan. Karena bagaimanapun, kasus-kasus tersebut terjadi di bawah rezimnya.

Di bidang politikpun, banyak dugaan yang merujuk kepada penggunaan kekuasaan dari Soeharto saat itum untuk makin melanggengkan kekuasaannya lagi. Ia memiliki kendaraan politik yang dapat beroperasi dengan ideal dan leluasa, ia memiliki rantai birokrasi yang makin memudahkannya untuk meluaskan jaringannya, dan ia punya popularitas untuk mendongkrak namanya agar semakin dicintai rakyat. Golkar pada masa Orde Baru merupakan partai yang tak mungkin tertandingi. Di bawah masa Soeharto, hanya Golkar yang boleh melakukan aktivitas kampanye hingga ke tingkat paling bawah (grass root), sedangkan PDI dan PPP hanya boleh berkampanye dan memiliki kantor cabang hingga tingkat kota/kabupaten. Menyoal nama Golkar juga pertimbangan yang sangat jitu dari Soeharto dan kroninya. Di satu sisi, pandangan masyarakat terhadap partai, selepas Orde Lama tidaklah baik. Hal ini disebabkan karena trauma Gerakan 30 September yang terjadi karena perselisihan partai politik. Dengan cermat, Soeharto memfusikan partai-partai lain dibawah PDI dan PPP (dengan tetap menggunakan imbuhan ‘P’ sebagai ‘Partai’), sementara Golkar sebagai kendaraan politiknya, tidak diberi status sebagai partai politik. Golkar sat itu mengklaim bahwa mereka bukan Partai Politik, melainkan hanya sebagai sebuah yayasan, dan organisasi sosial saja. Padahal sudah awam di kalangan akademisi politik, bahwa organisasi apapun yang mengikuti pemilu, termasuk dalam definisi sebuah partai politik. Selain itu, Golkar juga hendak dibuat sebagai figur yang menengah, sebuah medium dari dua parti lainnya (PDI dan PPP). Hal itu terlihat dari nomor urut partai saat pemilu. Nomor urut partai yang seharusnya diacak dalam setiap pemilu, tidak berlaku pada zaman Orde Baru. Golkar selalu memeroleh Nomer 2, di tengah-tengah PPP (nomor 1), dan PDI (nomor 2). Dan masih banyak cerita lain yang membuat Golkar menjadi partai sekaligus kendaraan politik yang hegemonik dari Seoharto, sementara kedua partai lain hanyalah pelengkap saja.

Demikianlah sedikit dari sekian banyak hal yang harus diurai dalam langkah Seoharti di Indonesia. Keterbatasan waktu membuat saya mustahil untuk memberikan penulisan lebih jauh, dan juga sumber yang lebih banyak.



[1] http://kamusbahasaindonesia.org (diakses pada tanggal 19 Oktober 2010, pukul 23.00 WIB)

[2] http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/

PERPRES/PERPRES_1964_33_PENETAPAN,%20PENGHARGAAN%20DAN%20PEMBINAAN%20TERHADAP%20PAHLAWAN.pdf (diakses pada tanggal 19 Oktober 2010, pukul 23.07 WIB)

[3] Anonim. Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949 : Polemik tentang Pemrakarsa dan Pelaksana Serangan. (Yogyakarta : Media Pressindo, 2000). Hal 39

[4] John Roosa. (terj.) Dalih pembunuhan missal. (Jakarta : Institut Sejarah Sosial Indonesia. 2008). Hal 250-291

[5] Budi Setiawanto. Setelah 42 Tahun, Siapa tahu Supersemar?.http://web.pab-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=9896 (diakses pada tanggal 21 Oktober 2010, pukul 00.50 WIB)

Saturday, October 9, 2010

Nebeng Numpang Beken

"Si Komo itu bukan Kak Seto, tapi Oom gw! Oom gw yang ngisi suaranya si Komo!!"

(Saya -ketika berdebat dengan teman yang meyakini bahwa Kak Seto-lah si Komo)