Sunday, December 13, 2009

Pers di Dalam Peta Kekuatan Politik Indonesia

*Yak, lagi-lagi karena sedikit seret dalam bahan tulisan yang segar dalam blog ini...marilah saya post salah satu hal yang belakangan agak menyita waktu saya sehingga ga sempet menambhakan sesuatu yang berguan di blog ini : MAKALAH SAYA!!! hehehe..semoga bermanfaat


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sebagai produk dari komunikasi politik, pers dan media memiliki peran yang cukup beragam di dalam sistem politik di setiap negara. Entah peran itu hanya berupa penyedia informasi, sarana propaganda terselubung pemerintah, berdiri sebagai oposisi pemerintah, maupun ditunggangi oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Ragam peranan pers itu kemudian menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas, karena pers yang independen (bukan berasal dari pemerintah dan partai politik), seharusnya bisa memosisikan diri sebagai pihak yang netral.

Namun, pada tingkatan pers yang netralpun, kerapkali mereka bisa tanpa sengaja mengarahkan kepada pembentukan opini publik yang pada akhirnya menggiring masyarakat kepada pilihan untuk menentukan legitimasi kepada pihak-pihak yang bersaing sebagai penguasa.

Sejarah panjang pers Indonesia tidaklah terlepas dari hal-hal yang sudah disebutkan di atas. Ada masa-masa di mana pers berada di dalam rezim pemerintah yang cenderung otoriter. Mereka hanya dijadikan corong suara bagi para penguasa. Ada periode di mana yang tumbuh berkembang saat itu adalah pers yang ditunggangi oleh partai-partai politik, dan tidak jarang hanya menjadi media propaganda idealisme di antara partai-partai tersebut Ada kalanya mereka tidak berani menuliskan kabar pembredelan yang diterima oleh rekan media lain. Ada kalanya mereka justru mengumbar pembredelan media lain dengan mengajukan doktrin yang seolah menjadi pembenaran bagi pemerintah pada waktu yang bersangkutan untuk melakukan pembredelan tersebut. Namun terdapat juga masa-masa di mana mereka bebas untuk menulis dan melaporkan tentang apa yang terjadi di lingkungan pemerintah dan para elit politik secara gamblang, tanpa ragu dan takut terhadap apa yang mereka tulis asalkan masih sesuai dengan norma dan nilai yang terkandung di dalam Undang-Undang Pers.

Hal itulah yang kemudian menjadi menarik bagi penulis untuk membahas mengenai peranan pers di dalam peta politik Indonesia. Pers independen yang dibelenggu, jelas merupakan keuntungan bagi pihak penguasa yang sedang berada di lingkungan pemerintah. Namun kajian itu menjadi dapat dibahas lebih mendalam, apabila melihat pers yang bebas dan berpotensi meimbulkan ancaman bagi keberlangsungan penguasa yang sendag menjabat, mempromosikan oposisi, dan pembentukan opini publik.

2. Permasalahan

Kontrol sosial merupakan salah satu fungsi utama yang dimiliki pers di dalam ranah politik. Banyak pihak yang setuju dan mengutarakan bahwa pers adalah lembaga keempat di dalam trias politika. Di luar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, peran lembaga keempat yang diemban oleh pers adalah sebagai kontrol, dengan melakukan pemberitaan ke masyarakat luas apabila ketiga lembaga lainnya melakukan penyelewengan dalam kewajibannya.[1]

Wacana tersebut adalah sebuah pernyataan yang sebetulnya masih perlu dipertanggungjawabkan lebih jauh, Di dalam memaknainyapun, secara sekilas diperlukan batasan. Pers seperti apa yang masih bisa dikategorikan untuk memegang peranan tersebut? Hal ini seolah menjadi dilematis karena pers diharapkan bisa menjadi pihak yang dinggap tidak memihak, namun di sisi lain mereka merupakan media utama yang paling mempunyai akses menyeluruh di antara pemerintah, kelompo kepentingan, kelompok penekan, dan aspek masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain, mereka adalah pihak yang sangat berpotensi untuk memeiliki andil besar di dalam pergeseran peta kekuatan politik di sebuah negara, dalam hal ini Indonesia. Pers yang bebas dapat menjadi katalisator demokrasi di sebuah negara, di sisi lain juga ‘bebas’ untuk memilih kecenderungan mereka untuk menentukan ke arah mana pemberitaan mereka akan ditampilkan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis mengajukan pertanyaan penilitian sebagai berikut :

  • Seberapa relevan apabila pers dikatakan sebagai pilar keempat demokrasi setelah Ekskutif, Legislatif dan Yudikatif?
  • Seberapa besar peran pers di dalam peta kekuatan politik Indonesia?
  • Bagaimana prospek pers sebagai civil society yang berperan dalam mengawasi pemerintah di masa yang akan datang?

3. Kerangka Teori dan Konsep

3.1 Pers

Secara etimologis, kata pers (Belanda), press (Inggris), presse (Prancis) berarti ‘tekan’ atau ‘cetak’. Definisi terminologisnya adalah media massa cetak, disingkat media cetak. Istilah pers sudah lazim diartikan sebagai surat kabar mingguan (newspaper) atau majalah (magazine).[2]

Namun, kajian dari pers sendiri lambat laun meluas, sehingga pers tidak hanya meliputi media cetak. Pers dalam arti luas meliputi media massa elektronik, antara lain radio siaran, dan televisi siaran, sebagai media yang menyiarkan karya jurnalistik[3]

Secara lebih jauh di dalam bukunya, Prof. Drs. Onong Uchjana Effendi M.A, mendefinisikan pers dan hubungannya di dalam sistem politik sebuah negara : pers adalah lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di negara di mana ia beroperasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya. Pers adalah sebuah sistem yang terbuka dan probabilistik, artinya pers tidak bebas dari pengaruh lingkungan dan di sisi lain, pers juga memberikan pengaruh yang tidak dapat diduga kepada lingkungannya. Dengan sistem yang demikian, maka pers cenderung untuk mempunyai kualitas penyesuaian. Apabila pers tidak mampu menyesuaikan diri kepada perubahan kondisi dan lingkungan, maka ia akan mati. Di atas itu semua, mati hidupnya pers atau lancar tidaknya kehidupan pers di suatu negara dipengaruhi bahkan ditentukan oleh sistem politik dan pemerintahan di negara di mana pers itu beroperasi.[4]

3.2 Pers Pancasila

Sistem pers yang dianut di Indonesia semenjak rapat Dewan Pers pada tahun 1984. Sebuah sistem yang berusaha mencapai kondisi sebagai pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab. Definisi lainnya yaitu pers yang berorientasi, bersikap, dan bertingkah laku berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sayang, definisi pers yang dibuat oleh Dewan Pers itu gagal membuktikan adanya identitas asli Pers Pancasila. Dari segi terminologi definisi “pers yang bebas dan bertanggung jawab”, sulit dibedakan dengan pengertian “ A social responsibility theory of the press” yang disusun oleh Komisi Kemerdekaan Amerika Serikat paska Perang Dunia II.[5]

3.3 Komunikasi Politik

Komunikasi politik adalah pesan-pesan yang ditransmisikan, dan ditujukan untuk mempunyai pengaruh dalam distribusi kekuasaan di tengah masyarakat, ataupun tingkah laku dalam penggunaan kekuatan dan kekuasaan tersebut.[6]

:

3.4 Fungsi Pers

Pers adalah sarana yang menyiarkan produk jurnalisitk. Fungsi pers berarti fungsi jurnalisitk. Secara umum, ada empat fungsi pers, kendati hanya tiga yang berhubungan langsung dan signifikan dengan khasanah studi komunikasi politik. Ketiga fungsi tersebut adalah[7] :

Fungsi Menyiarkan Informasi. Fungsi ini merupakan fungsi yang utama. Informasi tersebut berupa gagasan mengenai apa yang dilakukan orang lain, apa yang dikatakan orang lain, dan lain sebagainya.

Fungsi Mendidik. Fungsi ini dapat bersifat implisit dalam bentuk berita, ataupun eksplisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana.

Fungsi Memengaruhi. Fungsi ini yang menyebabkan surat kabar memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Media yang terutama memiliki fungsi ini adalah media yang independen, bebas menyatakan pendapat, bebas melakukan kontrol sosial, dan bukan surat kabar organ pemerintah yang membawakan suara pemerintah

3. 5 Civil Society

Civil society diartikan sebagai sebuah ide mengenai eksistensi dari sebuah otonomi masyarakat yang terinstitusionalisasi, di luar negara. Ide dasar ini pada kondisi yang ideal, dispesifikasikan bahwa institusionalisasi masyarakat ini harus benar-benar diberi batas pemisah dengan kontrol dari negara. Adapun civil society sendiri seringkali diposisikan sebagai lawan dari totalitarianisme yang berkembang di Eropa Timur. Totalitarianisme yang banyak dibahas di sini menyangkut teror massa, atomisasi pada semua tatananan kehidupan sosial yang ada.[8] Adapun kalangan yang termasuk sebagai civil society dapat meliputi cendekiawan, pelajar, jurnalis, dan yang lainnya.

BAB II

ISI

A. Sejarah Pers dalam Politik Indonesia Paska Kemerdekaan

Sudah disinggung di dalam kerangka konsep sebelumnya, bahwa pers merupakan bagian integral dari negara, sehingga menyesuaikan dengan sistem yang berlaku di negara tersebut. Hidup mati dan lancar tidaknya kehidupan pers bergantung kepada sistem dan kebijakan pemerintahnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sepanjang sejarah Indonesia sejak merdeka hingga kini, sistem pers yang berlaku di Indonesia juga berubah-ubah menyesuaikan dirinya.

Secara garis besar, ada tiga sistem pers yang berjalan di Indonesia, yaitu sistem Pers Merdeka yang berkaitan dengan masa perjuangan kemerdekaan (1945-1950) dan sistem Politik Demokrasi Liberal (1950-1959); sistem Pers Terpimpin yang terpaut dengan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1965) ; dan sistem Pers Pancasila yang bergandengan dengan sistem politik Demokrasi Pancasila (1965-1998).[9]

Pers Merdeka yang dianut pada masa awal kemerdekaan dikumandangkan oleh Menteri Penerangan pertama, yaitu Mr. Amir Syarifuddin. Sistem pada pers ini tidak berbeda dengan sistem pers liberal, yaitu sistem pers yang bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai Fourth Estate atau kekuasaan keempat setelah Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.[10] Pada masa ini pers bebas menyuarakan segala sesuatu yang berjalan di pemerintahan di Indonesia, secara sehat. Sehatnya pemberitaan dan peran pers di masa ini, tentu tidak lepas dari kondisi sosial dan politik di Indonesia pada satu perideo yang sama. Indonesia masih berada di dalam masa perjuangan kemerdekaan. Artinya, secara nasional, pemerintah Indonesia serta segenap rakyatnya mempunyai kepentingan yang sama yaitu mempertahankan kemerdekaan. Belum banyak intrik yang terjadi di antara kalangan penguasa dan elit-elit politik, oleh karena satu tujuan yang sama. Hal itulah yang membuat kebebasan pers digunakan untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan patriotisme, serta mengeluarkan berita-berita propaganda menentang intervensi Belanda di dalam kemerdekaan Indonesia. Kehidupan pers dan politik pada masa ini terhitung bebas dan sehat, secara domestik.

Memasuki era Demokrasi Parlementer Indonesia, sistem pers juga turut berubah. Semenjak era perjuangan kemerdekaan berakhir, terutama dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda di tahun 1949, Indonesia mulai berbenah untuk mengurusi sistem politik domestik. UUDS 1950 mengesahkan dengan apa yang disebut sebagai Demokrasi Parlementer. Presiden berperan sebagai kepala negara, sementara Perdana Menteri bertugas sebagai kepala Pemerintahan, dengan membawahi kabinet yang terdiri dari perwakilan banyak partai. Sistem multipartai ini yang kemudian mewarnai politik Indonesia dengan persaingan sengit dari partai-partai politik yang berusaha memeroleh kekuasaan, dan juga peran serta dari pers yang memiliki kecondongan kepada masing-masin ideologi partai.

Kebebasan pers yang diwarisi dari era sebelumnya (Pers Merdeka) banyak digunakan untuk saling mencaci maki dan memfitnah lawan politik dengan tujuan lawan politiknya tersebut jatuh namanya dalam pandangan khalayak.[11] Hal ini menimbulkan ketidakstabilan politik di Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer. Dalam rangka mempertahankan rezimnya, para penguasa yang silih berganti mengisi posisi jabatan sebagai Perdana Menteri dan parlemen, kerapkali melakukan pembredelan terhadap media massa, dan pengakapan terhadap wartawan-wartawan yang dianggap tidak mampu menjaga kestabilan politik, dengan melakukan serangan terhadap pemerintah maupun saling melakukan propaganda.

Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan surat keputusan pada tahun 1958, yang mewajibkan semua surat kabar dan majalah untuk mendaftarrkan diri sebelum tanggal 1 Oktober 1958 kepada Penguasa Perang Daerah (Peperda) supaya diberi Surat Izin Terbit. Tanggal 1 Oktober inilah yang kemudian dianggap sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia.[12]

Usai dengan kegagalan era Demokrasi Parlementer, presiden Soekarno kembali mengambil alih roda pemerintahan dengan membawa Indonesia kepada masa Demokrasi Terpimpin. Di masa ini, pers semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Segala berita yang terbit dari pers di masa itu, berada di bawah kontrol yang ketat dari pemerintah pusat. Pada tahun 1960, semua penerbit kembali diwajibkan untuk mengajukan permohonan perolehan Surat Izin Terbit (SIT), dengan menerima syarat bahwa andaikata penerbit tersebut diberikan SIT, maka ia akan mendukung manipol Usdek dan mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa.[13] Akibatnya, harian-harian seperti Harian Abadi, Harian Pedoman, Nusantara, Kengpo, Pos Indonesia, dan banyak yang lainnya, menghentikan dan dihentikan penerbitannya. Pers pada masa ini merupakan pers milik pemerintah dan penguasa. Kekuasaan mereka menjadi langgeng karena hanya berita yang mendukung pemerintah yang sampai kepada masyarakat. Tidak ada ruang bagi oposisi, karena peran pers yang besar di dalam menancapkan propaganda dan doktrinasi dari pemerintah. Yang diuntungkan dengan hal ini adalah partai yang berafiliasi dengan pemerintah, maupun Soekarno secara pribadi, yaitu PKI. Dengan situasi ini, PKI mendapatkan akses untuk memengaruhi pers di masa tersebut. Hal ini terus berlangsung hingga terjadinya peristiwa 30 September 1965 dan runtuhnya masa Demokrasi Terpimpin yang mengakhiri Orde Lama secara keseluruhan.

Seiring dengan beralihnya masa pemerintahan menuju Demokrasi Pancasila yang dikomandoi oleh Presiden Soeharto, nasib pers juga turut berubah. Harian-harian yang berafiliasi dengan komunis dibredel dan dicabut izin penerbitannya. Menjadi ironis ketika harian-harian yang beberapa tahun sebelumnya menjadi primadona di kalangan masyarakat, mengalami perbedaan nasib yang drastis paska peristiwa 30 September 1965 dan perubahan alur politik Indonesia yang berjalan dalam waktu yang relatif sangat singkat. Adapun harian-harian yang dihentikan SIT-nya adalah Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti.

Pada masa Orde Baru ini kemudian berjalan sistem pers dengan apa yang disebut sebagai Pers Pancasila. Diawali dengan disahkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentnag Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, pers Indonesia dikembangkan dalam kerangka konsepsional yang disebut Pers Bebas dan Bertanggung Jawab.[14] Namun pada saat itu belum ada rumusan dan definisi yang jelas mengenai tingkat kebebasan dan tanggung jawab pers. Namun, mereka diberi batasan misalnya dilarang untuk menerbitkan hal-hal yang bertolak dari paham Komunisme atau Marxisme/Leninisme. Secara umum, pada masa itu, gagasan ini disambut baik oleh insan pers dan masyarakat. Timbul harapan akan pemerintah yang lebih transparan, dan kehidupan politik yang lebih beragam dan demokratis, karena memberi ruang munculnya oposisi yang sangat mungkin dibantu oleh pemberitaan pers yang (seharusnya) adil.

Kenyataannya, di masa inipun juga terjadi pembredelan. Tidak ada kebebasan pers yang awalnya dijamin pemerintah. Media yang berulangkali menuliskan hal-hal yang cenderung beroposisi terhadap pemerintah dengan menguak semua keburukan pemerintah Orde Baru, diberangus. Kasus yang paling mencolok adalah pembredelan dan pemberhentian izin untuk menerbitkan majalah Tempo di tahun 1994. Tim redaksi dari majalah Tempo sebelumnya sudah berkali-kali mendapatkan surat peringatan dari pemerintah akibat seringkali menuliskan berita-berita yang menjelekkan pemerintah, kendati dengan data yang cukup bisa dijamin kebenarannya. Puncaknya adalah tanggal 21 Juni 1994, ketika Tempo diberedel dan resmi dicabut Surat Izin Penerbitan nya. Bukan hanya Temp yang mengalami nasib ini, tapi beberapa media cetak lainnya yang kerapkali mengkritik pemerintah juga harus rela diberhentikan izin terbitnya oleh pemerintah, misalnya deTIk dan Editor.

Selewat masa orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat luas, dimulai era Reformasi yang kemudian kembali menjanjikan sesuatu yang berbeda pula bagi kehidupan pers. Disahkannya UU No. 4 Tahun 1999 menggantikan UU No. 11 Tahun 1966 adalah langkah awal bagi kebebasan pers di masa ini. Tidak hanya perubahan sistem politik saja yang memungkinkan oposisi untuk berkembang, melainkan juga kebebasan pers pula yang turut berperan serta dalam perkembangan oposisi tersebut. Pers sekarang tidak segan untuk mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-rakyat. Pers juga dimungkinkan untuk meliput dan menerbitkan berita-berita miring sehubungan dengan kinerja pemerintah, maupun skandal yang terjadi di antara aktor pemerintah maupun elit-elit politik. Hal itulah yang kemudian memungkinkan oposisi mendapatkan keuntungan dan dapat menarik simpati dari masyarakat luas. Media-media yang dibredel pada masa Orde Baru juga dapat kembali hidup dan memeroleh Surat Izin Terbit. Misalnya Tempo yang tidak hanya hidup kembali, melainkan berkembang dengan menerbitkan harian mereka sendiri.

Secara statistik, kebebasan pers di Indonesia meningkat, kendati di tidak drastits. Menurut statistik yang dikeluarkan oleh lembaga yang menjadi wadah kebebasan pers dunia asal Prancis, Reporters Without Borders, kebebasan pers Indonesia berada di urutan 105 dari 167 negara pada tahun 2005. Pada tahun 2009, Indonesia naik dan berada pada urutan 101 dari 175 negara.[15]. Peringkat tersebut adalah nomor dua tertinggi di kawasan Asia Tenggara, setelah Timor Leste

Namun, bukan berarti kekhwatiran terhadap pers menjadi lenyap sama sekali. Seperti halnya reformasi yang seringkali dianggap sebagai demokratisasi yang kebablasan karena belum siapnya mayoritas masyarakat Indonesia dengan sistem ini, pers pun seakan mengalami euforia yang berlebih dengan dibukanya keran kebebasan bagi mereka. Banyak dugaan yang muncul, karena ingin meningkatkan oplah mereka, pers cenderung menuliskan sesuatu yang sensansional dan seringkali tanpa sumber data yang akurat. Entah benar ataupun tidak, rupanya hal ini kerapkali menimbulkan kerugian bagi pihak yang dikritik di dalam pemberitaan mereka. Baik tokoh dari pemerintahan yang sedang berjalan, maupun tokoh-tokoh yang berasal dari kelompok kepentingan lain yang berposisi sebaagi oposisi pemerintah. Hal ini terbukti dengan adanya 108 kasus yang dibawa ke pengadilan kepada pers karena dugaan pencemaran nama baik pada periode 2003-2007.[16]

B. Memahami Peranan Pers sebagai Civil Society di Dalam Peta Kekuatan Politik Indonesia

Pers merupakan bagian dari civil society, yang artinya ia berdiri sebagai sebuah entitas yang berada di luar lingkup state. Hal yang menarik adalah wacana mengenai pers sebagai civil society yang menjalankan fungsi kekuasaan keempat (fourth estate) di dalam sebuah sistem negara Demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Menurut Abdul Muis, agar dapat memeroleh kedudukan tersebut, pers haru memiliki hak atau privelese tertentu yaitu hak kritik, hak kontrol, dan hak koreksi. Juga hak khusus bersyarat (qualified privilege) yang memungkikan pers bersifat transparan dalam pemberitaannya. Misalnya, memberitakan secara detail perdebatan sengit dan kejadian lain dalam sidang pengadilan, sidang lembaga legislatif dan yudikatif.[17]

Namun bukan berarti dengan posisi sebagai kontrol sosial tersebut, bahwa pers harus senantiasa berada di posisi sebagai oposisi pemerintah yang berjalan. Peranannya lebih diarahkan kepada sifat independensi di dalam menyebarkan transparansi tanpa rintangan dari pemerintah. Tanggung jawab yang utama dari pers bukan kepada pemerintah, melainkan lebih kepada kode etik yang berlaku di kalangan wartawan dan jurnalis.

Oleh karena itu, di dalam peran ini, pers diharapkan untuk menonjolkan dua fungsi utamanya, yaitu fungsi sebagai penyebar luas informasi dan fungsi untuk mendidik. Pers diharapkan dapat menjadi media yang transparan di dalam mengungkap kinerja pemerintah dan juga sekaligus memberikan pendidikan politik kepada khalayak luas. Apabila dihadapkan kepada relevansi dengan pernyataan bahwa pers adalah fourth estate di dalam sebuah sistem demokrasi, hal itu beralasan namun dengan berbagai pertimbangan yang sifatnya mengikat. Hal yang utama adalah perlunya pengawasan juga terhadap ‘lembaga pengawas’ ini. Pengawasan dan kontrol terhadap pers dapat berasal dari masyarakat luas. Apabila berita dari pers menimbulkan keresahan dari masyarakat karena tidak relevan atau sudah menyinggung hal yang di luar sasaran, maka masyarakat dapat melakukan kontrol langsung terhadap mereka. Contohnya adalah pendudukan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) ke kantor Jawa Pos di Surabaya pada tanggal 6 Mei 2000, karena menyangkut teknis pemilihan kata dan tidak terpenuhinya prinsip jurnalistik dalam salah satu terbitan Jawa Pos.[18]

Selain sebagai agen pengawas pemerintah, pers juga dapat berperan sebagai pembentuk opini publik, dengan menjalankan fungsi mereka sebagai pemengaruh. Hal ini yang kemudian menjadi krusial di tengah pergesaran peta politik, karena opini publik yang terbentuk tidak hanya berlaku kepada pemerintah yang sedang berjalan, melainkan juga untuk oposisi dana kelompok-kelompok kepentingan dan kelompok penekan lain yang berusah masuk ke dalam lingkungan pemerintah dan elit. Hal ini tidak termasuk dengan pemuatan iklan politik di media mereka. Untuk masalah ini, terdapat problema yang dilematis di tengah-tengah kalangan wartawan. Sempat ada hal yang ambigu di antara ‘iklan politik’ dengan ‘karya jurnalistik’.[19] Contohnya adalah pemuatan artikel mengenai keberhasilan pemerintah berjalan di dalam pengadaan swasembada pangan dan alokasi APBN 20% untuk dana pendidikan. Apapun bentuknya itu (iklan atau karya jurnalistik), nyatanya hal itu menimbulkan keuntungan bagi pemerintah yang sedang berjalan tersebut.

Contoh yang termutakhir adalah kisruh kasus Bank Century yang sedang marak belakangan ini. Kegetolan pers dalam meliput berita tentang masalah ini, berujung kepada tumbuh kembangnya gerakan masyarakat di mana-mana terhadap isu yang bersangkutan. Memang pemerintah tidak sedang mengalami masa krisis akibat gerakan yang timbul dari isu tersebut, namun setidaknya berbagai pemberitaan tersebut sudah menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah secara keseluruhan. Hal ini yang kemudian menimbulkan opini di beberapa kelangan seperti “rindu akan sosok JK yang cepat dan tegas dalam menindak masalah”. Artinya, JK seakan memeroleh promosi gratis di tengah kabar miring yang diterima pemerintah akibat pemberitaan-pemberitaan tersebut.

Selain pers sebagai media yang bisa membawa dampak tidak langsung di dalam pergeseran peta politik, mereka juga dapat membawa dampak dan pesan yang eksplisit terhadap pergeseran tersebut. Misalnya sistem pers yang berlaku pada zaman Demokrasi Terpimpin. Saat pers saat itu dijadikan media untuk melakukan propagnda dan doktrinasi dari berbagai pihak. Muncul banyak karikatur dari masing-masing media cetak yang menggambarkan ketidaksetujuan dan perlawanan yang diusung oleh partai atau kalangan oposisi. Pada akhirnya pula, perang media tersebut juga membentuk opini publik. Kalau di akhir cerita Demokrasi Parlementer, PKI berhasil memeroleh posisi yang signifikan, hal itu tidak terlepas dari peran pers di era tersebut. Dari kacamata sebaliknya, yaitu mengenai tidak adanya pergeseran kekuatan politik di Indonesia, hal itu terjadi di masa pers dibungkam oleh penguasa. Informasi yang mengalir ke bawah tentang pemerintah hanyalah info yang baik-baik. Dengan kondisi tersebut, oposisi tidak bisa berkutik menandingin hegemoni penguasa. Tidak ada alasan bagi rakyat untuk tidak memilih pemerintah yang sudah ‘sukses’. Pers digunakan sebagai salah satu mesin utama doktrinasi orde baru. Bagi pers yang menentang, akan dibredel dan dicabut izin terbitnya. Itulah salah satu faktor utama penunjang langgengnya era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Lalu bagaimana dengan peranan pers di masa yang akan datang? Masih mampukah ia bekerja sebagai sarana kontrol yang netral dan menjalankan fungsinya tetap di lingkup civil society dan bukan state? Dengan kondisi sekarang ini, pertanyaan itu menjadi cukup sulit untuk dijawab. Munculnya Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) di pertangahan tahun ini menjadi salah satu hal utama yang memberikan jawaban negatif terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pasal-pasal yang terkandung di dalam RUU RN dianggap sebagai aturan yang berpotensi menimbulkan “pembredelan gaya baru” oleh pemerintah. Secara umum, RUU RN itu berisi mengenai pelarangan bagi semua institusi untuk menyebarkan segala sesuatu yang dianggap sebagai rahasia negara, atau institusi tersebut akan dinyatakan sebagai korporasi terlarang, dipenjara, dan dikenai denda antara Rp 50 Milyar sampai Rp 100 Milyar. Yang menjadi kekhawatiran utama adalah penentuan batas rahasia negara yang tidak boleh dipublikasikan. Hal itu tentau akan mempersempit ruang gerak pers, dan dikhawatirkan tidak dapat memberitakan hal-hal yang mengkritik pemerintah, karena sifatnya yang ‘rahasia’.[20] Kondisi ini tentu kembali mengingatkan kalangan jurnalis akan hal yang serupa pada masa Orde Baru. Hl itulah yang kemudian menuai kritik dan protes dari kalangan pers dan jurnalis yang tergabung di dalam Institut Studi Arus Informasi (ISAI).

Ancaman terhadap peranan pers tersebut harus ditambah dengan syarat dan prakondisi sebelum pers menjadi kebablasan. Menurut Abdul Muis, pers juga memerlukan pengawas. Seperti yang sudah disebutkan pada sub bab sebelumnya, pengawas pers adalah masyarakat, Namun hal itu belum cukup efektif, karena setidaknya perlu ada lembaga sendiri di dalam pengawasan batas pers agar tidak kebablasan. Misalnya dengan membentuk Ombudsman yang khusus menangani pengawasan pers dan memahami kode etik jurnalis.

BAB III

KESIMPULAN

Pers tidak hanya dapat dipandang sebagai agen pembawa informasi, melainkan mereka memiliki peran yang jauh lebih besar di dalam sistem politik sebuah negara. Pemberangusan pers terutama di masa Orde Baru, merupakan bukti otentik mengenai bagaimana pers yang tidak bisa bergerak turut andil dalam langgengnya sebuah rezim yang otoriter. Di sisi lain, terlalu aktifnya pers di dalam propaganda yang kontra pemerintah, pro oposisi satu dan pro oposisi lainnya, serta didudkung oleh sistem multipartai yang cenderung terkesan terlalu bebas, justru menyebabkan pemerintahan yang tidak stabil atau rapuh, karena pemerintah yang satu dan oposisi yang selalu bergantian menguasai kursi pemerintahan. Itulah karakteristik pers dan pemerintahan pada masa Demokrasi Liberal atau Parlementer.

Setidaknya, hal-hal tersebut yang menandai betapa besar peran pers di dalam pergeseran kekuatan politik di Indonesia. Kinerja pers bergantung pada rezim dan aturan yang dikeluarakan disaat rezim itu berdiri. Itulah ciri yang menggolangkan pers sebagai sebuah civil society di dalam sebuah negara. Pers tidak harus kontra pemerintah, namun tidak berarti harus kontra oposisi pula. Perannya yang utama adalah fungsi pers pertama, yaitu pembawa informasi, kendati hal yang berikutnya seringkali terjadi, yaitu terbentuknya opini publik dan kemudian memengaruhi alur roda pemerintahan.

Prosepek mengenai pers yang independen dan bebas di masa depan masih merupakan suatu hal yang perlu dikaji labih mendalam, karena hal tersebut memerlukan berbagai syarat dan prakondisi. Misalnya adanya etika pers yang lebih jelas di tengah kalangan jurnalis, hingga perlunya akan lembaga yang berperan langsung di dalam pengawasan pers. Senada dengan hal ini, konsep pers sebagai fourth estate di dalam demokrasi setelah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif juga merupakan hal yang memerlukan prakondisi. Prakondisi kedua hal ini saling bertautan. Artinya, untuk mewujudkan pers sebagai fourth estate, diperlukan pengawasan yang lebih kritis terhadap mereka, kendati di sisi lain pers juga memerlukan hak dan privilese yang lebih.

Daftar Pustaka

Sumber Buku

Ali, Noval. Perdaban Komunikasi Politik : Potret Manusia Indonesia. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. 1999

Arifin, Anwar. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila : Suatu Kajian mengenai Pers Pancasila. Jakarta : Yayasan Media Sejahtera. 1992.

Effendi, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:PT. Citra Aditya Bakti. 1993

Muis, Abdul. Titian Jalan Demokrasi : Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik. Jakarta:PT Kompas Media Nusantara. 2000.

Whyte, Martin King. Urban China : A Civil Society. dalam Arthur Rosenbaum. State and Society in China. Colorado : Westview Press Publisher. 1992

Sumber Internet

__________. Ancaman Baru Kebebasan Pers. http://www.lbhpers.org/?dir=beritatampil&id=823 (diakses pada tanggal 4 Desember 2009 pukul 09.12)

__________. Hati-hati Pembredelan Pers Gaya Baru! http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/08/08/0225136/hati-hati.pembredelan.pers.gaya.baru (diakses pada tanggal 4 Desember pukul 22.32)

__________. Iklan Politik dan Tanggung Jawab Pers. http://www.dewanpers.org/upload/buletin/8c18c0f947b2acc2faa78ac4604d410a/attach/Buletin_ETIKA_Maret_09.pdf (diakses pada tanggal 5 Desember 2009, pukul 13.12)

__________. Press Freedom Index 2009. http://www.rsf.org/en-classement1003-2009.html (diakses pada tanggal 3 Desember 2009, pukul 22.07)

Khakim, Ahmad. Kontrol Publik atas Pemberitaan Media. Studi Kasus : Konflik Jawa Pos Vs. Banser. www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/abstrakpdf.jsp?id=82078. (diakses pada tanggal 3 Desember 2009 pukul 17.00

Syahri, Mochammad. Intervensi Pemerintah terhadap Kebebasan Pers dan Munculnya Eufimisme.

http://sastra.um.ac.id/wp-ontent/uploads/2009/10/Intervensi-Pemerintah-Terhadap-Kebebasan-Pers-dan-Munculnya-Eufimisme-Moch.-Syahri.pdf

(diakses pada tanggal 3 Desember 2009, pukul 16.35)

.



[1]Mochammad Syahri. Intervensi Pemerintah terhadap Kebebasan Pers dan Munculnya Eufimisme. http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Intervensi-Pemerintah-Terhadap-Kebebasan-Pers-dan-Munculnya-Eufimisme-Moch.-Syahri.pdf (diakses pada tanggal 3 Desember 2009, pukul 16.35)

[2]Abdul Muis. Titian Jalan Demokrasi : Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik. (Jakarta:PT Kompas Media Nusantara. 2000). hal xvii

[3] Onong Uchjana Effendi. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti. 1993). hal 90

[4] Ibid. hal 87

[5] Op. Cit. Abdul Muis. Titian Jalan Demokrasi… hal xvii

[6] Noval Ali. Perdaban Komunikasi Politik : Potret Manusia Indonesia. (Bandung:PT Remaja Rosdakarya. 1999) hal v

[7] Op. Cit. Onong Uchjana Effendi. Ilmu, Teori dan… hal 93-94

[8] Martin King Whyte. Urban China : A Civil Society. dalam Arthur Rosenbaum. State and Society in China. (Colorado : Westview Press Publisher.) 1992

[9] Anwar Arifin. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila : Suatu Kajian mengenai Pers Pancasila. (Jakarta : Yayasan Media Sejahtera. 1992). hal 42

[10] Op. Cit. Onong Uchjana Effendi. Ilmu, Teori, dan… hal 89.

[11] Ibid. hal 107-108

[12] Ibid. hal 108

[13] Ibid. hal 108

[14] Op. Cit. Anwar Arifin. Komunikasi Politik dan… hal 50

[15] Press Freedom Index 2009. http://www.rsf.org/en-classement1003-2009.html (diakses pada tanggal 3 Desember 2009, pukul 22.07)

[16] Ancaman Baru Kebebasan Pers. http://www.lbhpers.org/?dir=beritatampil&id=823 (diakses pada tanggal 4 Desember 2009 pukul 09.12)

[17] Op. Cit.Abdul.Muis. Titian Jalan Demokras… hal 56

[18] Ahmad Khakim. Kontrol Publik atas Pemberitaan Media. Studi Kasus : Konflik Jawa Pos Vs. Banser. www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/abstrakpdf.jsp?id=82078. (diakses pada tanggal 3 Desember 2009 pukul 17.00)

[19] Iklan Politik dan Tanggung Jawab Pers. http://www.dewanpers.org/upload/buletin/8c18c0f947b2acc2faa78ac4604d410a/attach/Buletin_ETIKA_Maret_09.pdf (diakses pada tanggal 5 Desember 2009, pukul 13.12)

[20] Hati-hati Pembredelan Pers Gaya Baru! http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/08/08/0225136/hati-hati.pembredelan.pers.gaya.baru (diakses pada tanggal 4 Desember pukul 22.32)


Sunday, November 29, 2009

Jumpa Lagi!!

Waw, ga kerasa udah lebih dari sebulan yang lalu terakhir kali gw posting..
Dibilang sibuk sih lumayan, tapi nggak segitunya. Ditambah pula banyak pikiran ke tempat lain, jadinya bener-bener belum ada ide untuk nulis-nulis secuap dua cuap kalimat di blog gw ini.

Apa aja yang terjadi di hidup gw dalam sebulan kemarin? Banyak!
Yang pertama adalah sidang Outline bab I untuk jabang bayi skripsi gw. Lancar? Lumayanlaah.. LUMAYAN DIBANTAI!!! Hahahahaha...
Kebetulan gw disidang sama orang yang berkarakter : setengah dosen-setengah seniman. Cukup lama outline gw dikorek-korek sama beliau...yang kebetulan tidak menerima bantahan. Bahkan kadang suka komentar seenaknya sendiri. Ada satu bagian saat dia bertanya ke gw : "Venezuela ini ideologinya apa mas?". Kebetulan beliau memang bukan dosen spesialis Amerika Latin. Saat gw jawab "Sosialisme Kiri-Tengah..." tanpa gw sempat menyelesaikan penjelasan gw, tiba-tiba beliau menghardik : "Ideologi negara apa itu? IDEOLOGI YANG MUNAFIK!!".

DUARRRR!!!! Percaya diri yang udah gw bangun sebelum sidang langsung luluh lantak, hancur menjadi debu. Susah payah ngumpulin data dan fakta, tiba-tiba langsung aja dihajar sama pendapat pribadinya dia...wah...kacau...
Alhasil, outline gw masih harus mengalami revisi di sana-sini. Ga papalah...namanya juga perjuangan anak manusia.

Lalu sebulan kemarin juga diisi dengan berbagai macam hal emosional lainnya. Mulai dari cerita klasik anak muda (baca:kisah cinta!), sampai kepada masalah pekerjaan dan masa depan. Semunya komplit di bulan lalu...senang, senang, kecewa, senang, senang, lebih senang lagi. (Hehehehe, ujung-ujungnya emang banyakan senangnya sih).

Ga pake banyak cingcong, gw senang sudah kembali kepada rutinitas biasa dan blog gw yang tercinta!!
Salam dan Selamat Iedul Adha!!

Thursday, October 22, 2009

Mimpi Tentang Bapak Bangsa


Melayang sergap, dia berjalan tegap
Di tengah kepulan asap, imajiku menguap

Berdirilah dia bercakap lantang
Elok, seolah menantang
Tampil demi tepis gigil
Terampil walau kecil

Harapku pandang Bapak
Dengar ia ucap 'Tidak!'
Seribu Duaribukalipun...
Asal menir minta ampun

Tabirpun menanggap, sosok besar terlihat
Diam, manut, tidak kuat
Gagah tapi lemah
Inikah kini sosok sang pemurah?

Imaji hanya fantasi
Tabirlah realisasi
Mimpiku hanyalah bayang langu
Dari masa lalu



Sunday, October 4, 2009

5 Tokoh Perang Dunia II yang Membuat Rambo jadi Terlihat Culun!!

Oke, ini sebenernya bukan ide yang orisinil. Ide untuk ngebikin ini timbul setelah gw baca di situs cracked.com yang beropini mengenai 5 jagoan yang bikin Rambo terlihat seperti banci.. 
Tapi ga apa-apa lah...sekali-sekali gw menebar unsur plagiarisme di blog gw. Lagian juga ini gw adopsi doang kok. Yang gw ambil itu 5 tokoh dari Perang Dunia II doang, yang merupakan event histori favorit gw. Datanya juga cuman dikit yang gw embat dari situs itu. Ga masalah kaan? (hehehehe, nyari pembelaan).

Ga pake banyak cingcong, mari lihat 5 tokoh pilihan gw (nomer ga urut, karena gw bingung untuk nentuin yang paling MACHO! haha)


1. John Basilone : Tiga Hari tanpa Makan dan Tidur Menghadapi 3.000 Orang


 

John Basilone mendaftarkan diri sebagai U.S Marine Corps pada tahun 1940. Segera setelah itu, ia diterjunkan ke medan perang pasifik, melawan Jepang. Salah satu medan perang yang paling mengerikan bagi sekutu di sana adalah di Guadalcanal, Kep.Salomon. Basilone turut berperang dan mendapatkan nama harum di sana, pada tahun 1942

Tersebutlah, bahwa ia bersama kompinya diharuskan untuk menahan serangan Jepang di satu pos di medan Guadalcanal. (Catetan gw : satu kompi dalam kondisi lengkap dan 'sehat' biasanya diisi sekitar 100-150 an orang, dan dipimpin oleh perwira yang paling tidak berpangkat Letnan sampai Kapten. Basilone sendiri berpangkat Sersan, sehingga dia merupakan orang di rantai komando selanjutnya apabila sang pemimpin kompi terbunuh. Itulah yang kemudian terjadi.)

Seiring dengan terbunuhnya si komandan kompi, Basilone bertanggung jawab atas pos yang dihuninya. Ganasnya serbuan Jepang dan tidak datangnya pasukan bantuan, mengakibatkan Basilone hanya tinggal memiliki 15 orang untuk bertempur melawan 3.000 pasukan Jepang di hari pertama. Hingga hari ketiga, ia kehilangan 12 orang lainnya, dan hanya bertahan dengan 2 orang bawahannya. Dalam sejarah disebutkan bahwa selama 3 hari ia berperang tanpa makan, minum, tidur, maupun istirahat. Ia menggunakan semua senjatanya untuk berjuang mempertahankan posnya dari serbuan Jepang. Mulai dari machine gun hingga pistolnya. Pada akhir hari ketiga, ia berhasil menahan serbuan 3.000 orang itu (ga ada sumber yang jelas, pasukan Jepang itu mati semua atau ditarik mundur. Yang jelas dia menang melawan ribuan orang itu!!).

Kebayang kan, kalo Rambo emang ga ada apa-apanya dibanding Sersan gendeng ini?
Pada akhirnya Basilone ditarik kembali ke Amerika untuk mendapatkan perawatan dan medali. Bukan main-main, yang ia dapat adalah medali tertinggi yang bisa didapat oleh semua prajurit perang, yaitu Medal of Honor.

Orang yang sudah mendapat medali ini biasanya tidak diperbolehkan untuk kembali ke medan perang. Alasannya sih ga dipublikasi, tapi dugaan gw...pada saat itu emang perlu banyak banget orang yang selamat dari medan perang untuk kembali ke tanah air dan menceritakan apa yang terjadi semuanya. Ia berperan baik sebagai pewarta berita, maupun tokoh yang bisa dijadiin panutan dan sumber inspirasi. Banyak banget kasus kaya gitu di medan Perang Dunia II.
Oke, singkat kata, Sersan Basilone ini juga pada awalnya tidak diperbolehkan untuk pergi berangkat lagi ke medan perang. Tapi Basilone memaksa, dan akhirnya ia dimasukkan ke pasukan yang akan bertempur merebut pulau Iwo Jima (ini pulau yang sangat mengerikan dalam sejarah militer Amerika. Alesannya mudah, pulau ini bener-bener makan banyak banget korban jiwa akibat kesadisan dan kegigihan tentara Jepang).

Mendarat di Pulau Iwo Jima, kompi Basilone dihancurkan oleh serangan dan tembakan pasukan Jepang dari garis pantai. Namun ia membalas dendam. Seorang diri berhasil menghancurkan satu rumah persembunyian Jepang yang memiliki tembakan otomatis MG-42 (tembakan yang menyapu kompinya di garis pantai itu). Sayangnya, beberapa menit kemudian ia tewas terkena serangan senjata artileri Jepang. Namanya kini digunakan untuk sebuah kapal induk Amerika, dan nama-nama di ruas jalan Amerika pula.



2. Vassili Zaitsev : Penembak Jitu Rusia yang Menghabisi Nyawa 500 Musuh

Bagi yang pernah nonton film berjudul Enemy at the Gates, tentu akrab dengan nama ini. Ya, film yang dibintangi Jude Law tersebut memang berkisah tentang dirinya, walaupun sebagian besar adalah fiksi. 
Zaitsev merupakan sniper atau penembak jitu Rusia yang lahir dan besar di pegunungan Ural. Sehari-harinya, Zaitsev kecil menghabiskan waktu dengan berburu Serigala menggunakan senapannya. Menjelang Perang Dunia II, ia mendaftarkan diri di angkatan laut Soviet, tapi kemudian dipindahkan ke resimen infanteri. 
Pada tahun 1942, ia ikut dalam peperangan membebaskan Stalingrad. Di sinilah jasa Zaitsev banyak dikenang. Pada medio November hingga Desember 1942, ia membunuh hingga 225 tentara musuh, semuanya hanya bersenjatakan senapan Mosin-Nagant!!

Sasaran utama dari tembakan jitunya adalah para perwira Jerman, sehingga diharapkan ia dapat menyebabakan kekacauan di dalam rantai komando dan struktur kemiliteran Jerman. Pada akhirnya, ia berhasil mencapai hal itu. Selepas perang di Stalingrad, ia masih meneruskan aksinya. Ditengarai ia mampu menghabisi nyawa 500 orang pasukan Jerman lainnya. Vassili sendiri bukan tidak pernah menjadi sasaran penembak jitu musuh yang geram terhadap aksinya. Pencarian besar-besaran pasukan Jerman terhadap dirinya mulai dilakukan.  Ia sendiri pernah nyaris terbunuh oleh penembak jitu Jerman.



Vassili Zaitsev dengan Senjata Andalannya

Di film Enemy at the Gates, difiksionalisasi bahwa ia berduel mati-matian dengan ahli penembak jitu Jerman yang bernama Mayor Erwin Konig. Mayor Konig ini digambarkan sebagai seorang penembak jitu tua yang berpengalaman, dan bahkan ditugasi untuk mengawasi sekolah sniper di Berlin. Mayor Konig sengaja dipanggil dari sekolah yang dikepalainya, untuk datang ke Rusia dan memburu Zaitsev. Cerita ini sempat simpang siur kebenarannya, kendati ada catatan yang menyebutkan bahwa Zaitsev pernah hampir ditembak juga oleh seseorang bernama Konig, kendati akhirnya ia bisa berbalik menang dengan bantuan temannya.

Tidak seperti Basilone, Zaitsev mengakhiri hidupnya dengan relatif tenang di Rusia, pada tahun 1991. Hingga kini senapannya masih tersimpan rapi di dalam museum militer di Moskow. Kemampuan Zaitsev dalam menembak jitu kerap dibandingkan dengan Simo Hayha, penembak jitu dari Finlandia. Kendati tidak pernah bertemu di medan perang yang sama, namun beberapa sejarawan mengklaim bahwa secara data statistik, Hayha masih lebih unggul daripada Zaitsev!! Kisah mengenai Simo Hayha juga ada di post ini..Jadi tenang aja, hehe.



3. Hans - Ulrich Rudel : Penghancur 2.000 Kendaraan Militer Sekutu

Bukan Jerman namanya kalau tidak punya pahlawan perang yang patut dibanggakan. Yang satu ini hadir dari Angkatan Udara Jerman (Luftwaffe), bernama Hans-Ulrich Rudel. Ia adalah penerbang pesawat pembom Jerman yang legendaris, Stuka.  Rudel bergabung bersama Luftwaffe pada tahun 1936, dan pada tahun 1941 ia mendapat misi tempur pertamanya, dengan pangkat Letnan. Atas jasanya hingga perang berakhir tahun 1945, ia mendapatkan satu-satunya medali Knight Cross dengan daun Oak emas. Apa prestasi yang membuat orang ini begitu diagungkan sehingga layak mendapatkan satu-satunya penghargaan yang tidak pernah diterima oleh tentara Jerman yang lain?



Hans-Ulrich Rudel

Well, percaya atau tidak, selama 4 tahun ia telah ikut dalam 2.530 misi penerbangan. Hasil yang diperolehnya adalah, ia mampu mengahancurkan : 800 kendaraan berupa Jip, Truk Angkut dan mobil militer lainnya,  519 Tank, Sebuah Kapal Penghancur, 2 Kapal penjelajah, Sebuah Kapal Induk Rusia, 70 Landasan, 4 Kereta Berpelindung Baja, Beberapa Jembatan, dan 9 Buah Pesawat yang ia tembak jatuh! Ditotal dengan kendaraan kecil lainnya, beberapa sumber mengklaim bahwa ia telah menghancurkan lebih dari 2.000 kendaraan militer sekutu.

Pada tanggal 13 Maret 1944, ia pernah mengalami pertempuran udara dengan pilot legendaris Rusia, yang tidak hanya sekali dianggap sebagai pahlawan besar negara tersebut. Pilot sepanjang masa Rusia (secara statistik) tersebut bernama Lev Shestakov. Dan tebak siapa yang akhirnya menang? Ya, Rudel menembak jatuh sang pahlawan Rusia hingga menyebabkan kekacauan dan kepanikan luar biasa di tengah pasukan angkatan udara Rusia.

Rudel pernah tertembak jatuh di awal tahun 1945, hingga menyebabkan kakinya harus diamputasi. Setelah operasi amputasi, ia masih sanggup menerbangkan pesawatnya hingga menghancurkan 26 Tank lagi.
Setelah Jerman kalah pada bulan Mei 1945, ia terbang ke Amerika untuk menyerahkan diri. Pada tahun 1948 ia dibebaskan dan tinggal di Argentina. Hans-Ulrich Rudel meninggal pada tanggal 18 Desember 1982 di Jerman.



4. Simo Hayha : Pembunuh Massal Penyebar Teror di Hutan Salju

Apabila di atas sudah dituliskan kisah heroik dari penembak jitu bernama Vassili Zaitsev di Rusia, Finlandia memiliki tandingan penembak jitu bernama Simo Hayha. 

Rusia menginvasi Finlandia di pertengahan tahun 1939. Karena hampir keseluruhan perang mempertahankan Finlandia berlangsung di hutan, maka Hayha memilih untuk bersembunyi di atas pohon setinggi 6 kaki, di tengah salju sedingin 20-40 derajat di bawah Celcius. Di titik itulah ia dengan jitu menghabisi nyawa serdadu Tentara Merah. Pada awalnya puluhan, dan terus naik menjadi ratusan.
Pasukan Rusia menjulukinya "White Death" karena ia menggunakan baju pelindung warna putih untuk berkamuflase dengan salju. Beberapa kali Rusia mengirimkan pasukan perintis ke hutan tempat Hayha bersembunyi, namun semuanya berhasil disapu habis olehnya. Pasukan penembak jitu yang dikirm oleh Rusia (minus Vassili Zaitsev, karena waktu itu Zaitsev belum tergabung dalam satuan penembak jitu Rusia) dikirim juga, dan kembali berakhir dengan kematian semuanya di tangan Hayha.



Simo Hayha, The White Death

Selama 100 hari bersembunyi di hutan dengan berkamuflase di tengah suhu sangat dingin, Hayha terhitung berhasil mengeliminasi 542 prajurit Rusia dengan senapan laras panjangnya. Itu belum ditambah dengan jumlah yang ia tembak dengan senapan otomatisnya. yang ditaksir mencapai sekitar 150 orang!!

Komando militer Rusia yang sangat terganggu dengan aksinya, memutuskan untuk membombardir hutan tempat Hayha bersembunyi. Dengan bantuan artileri udara dan darat, hutan itu benar-benar habis dibombardir. Tapi memang beruntung dan luar biasa, Simo Hayha berhasil selamat dari bombardemen tersebut.

Akhirnya, tidak seorang Rusiapun berani masuk ke hutan tersebut, tanpa misi tertentu. Mereka takut akan cerita Simo Hayha dan White Death. Namun seiring berjalannya waktu dan banyaknya pasukan yang dikirim untuk membunuh Hayha, akhirnya ada juga sebuah peluru yang mengenainya. Naasnya, peluru ini bukan peluru biasa melainkan peluru berpeledak. Peluru itu mengenai rahangnya, merobek pipi sebelah kirinya, dan menghancurkan wajah kirinya. 
Akhir untuk White Death? Ya untuk di Perang Dunia II, tapi tidak untuk hidupnya. Setelah menjalani perawatan, Hayha berhasil selamat beberapa tahun kemudian. Sayang ia tidak sempat menghadapi pertarungan dengan Vassili Zaitsev, sniper Rusia yang disebut-sebut tidak kalah jitu dalam menghabisi musuh. Hayha muncul di saat Zaitsev belum terdaftar di pasukan Infanteri, dan Heyha mengalami koma di saat Zaitsev tengah mencapai masa gemilangnya...


5. Lacchiman Gurung : Tangan Kiri Membantai 31 Orang Jepang




Lacchiman Gurung adalah orang Nepal yang tergabung di dalam pasukan Inggris dan Persemakmuran, dan dikirim ke medan perang Pasifik. Tidak banyak sejarah yang bisa didapat mengenai orang ini, baik mengenai karir kemiliteran maupun riwayat hidup yang mendetail.
Tapi, alesan gw bikin post ini adalah untuk menunjukkan sesuatu yang lebih heroik daripada Rambo, sesuatu yang lebih brutal daripada Rambo, dan seseorang yang terluka lebih banyak daripada Rambo. Jadi, tanpa banyak riwayat dan kesejarahan embel-embel yang lain, Gurung sesuai dengan kriteria penulisan gw.

Gurung diterjunkan di Myanmar, tempat ia dan kompinya berserta peletonnya (kelompok terkecil dalam kemiliteran, di bawah kompi) harus bertahan dari serangan Jepang. Saat jumlah orang di kompinya tinggal menyusut hingga jumlah belasan, sekitar 200 serdadu Jepang masih mengepungnya. Dua kali granat tangan dilemparkan kepadanya, namun dua kali pula granat itu ia lempar balik ke arah musuhnya. Kali ketiga granat datang, ia mengambilnya dan kembali hendak melempar balik. Namun sayangnya, granat terlanjur meledak di genggaman tangan kanannya, menyebabkan jari-jari tangannya hancur, dan lengan kanannya tidak bisa digunakan. Serpihan granat juga menyebabkan kakiknya terluka dan tidak bisa berlari, tubuh bagian kanannya luka parah, dan wajahnya juga. Bahkan penglihatannya yang kanan menjadi tidak bisa digunakan. 2 Kawan disampingnya juga terluka parah dan tidak bisa kembali bertempur.

Gurung tetap berusaha melanjutkan posisi bertahannya dengan hanya menggunakan lengan kirinya saja. Dengan kondisi tubuh sebelah kanan yang semuanya nyaris cacat dan lumpuh, ia mempertahankan diri dari serangan Jepang. Selama 4 Jam ia berhasil bertahan, hingga datang pasukan bantuan. Di sekitar lubang perlindungan Gurung, ditemukan 31 mayat serdadu Jepang yang terkena tembakan dari lengan kirinya. 
Segera setelah itu, Gurung ditarik kembali untuk mendapat pengobatan. Dengan mata buta dan tangan kanan hilang, Gurung masih memaksa untuk ikut diturunkan di medan peran Pasifik. Atas jasa dan keberaniannya, tahun 1945 ia menerima medali Victory Cross. Ia selamat dari keseluruhan peperangan dengan luka yang sangat parah, dan pulang kembali ke Nepal pada tahun 1947.


*Setelah baca post ini, masih terpikir untuk memasukkan Rambo ke dalam daftar 5 besar gw? Hehehehehe....semoga tidak! 

Monday, September 28, 2009

Begini Kisah yang Mengharukan Itu Terjadi

"Bokong Mahasiswa UI Tertembak di Stasiun Tebet"

Headline di salah satu situs penyedia berita nasional itu berasa begitu 'ngena' buat gw, dan membuat gw ngerasa sedikit jadi naik daun (yah, walaupun kata 'bokong' itu kok agak geli-geli gimanaaa gitu). Semenjak berita itu terbit, terhitung sudah ada sekitar 2.589.769 post kata-kata simpati yang masuk ke account Facebook gw. (percaya atau nggak itu terserah Anda. Gw sih nggak percaya..)
Bagi yang belum baca beritanya dan ( KALI ) aja penasaran, bisa diliat di sini

Naah, mungkin ada sebagian dari Anda yang merasa 'tertantang' dan 'tergelitik', kemudian bertanya-tanya : "cerita itu bener ga sih??" ,
atau "Lah? Kok bisa gitu??",
daaan....sukur-sukur ada yang bilang "Aduuuh, kasian ya si Indra itu..." (Oke, ini namanya ngarep)

Hmmmmmm, bisa dibilang post ini berisi mengenai curhat gw dan sekaligus klarifikasi dari berita -yang separuh benar-seperempat salah-seperempat mungkin benar mungkin salah- itu...
Ini mungkin juga bisa dikategorikan sebagai sisi narsis, mungkin ada juga sisi heroiknya, dan mungkin (baca : pasti ) banyak sisi ga pentingnya. Jadi....menjadi resiko Anda untuk menarik mouse scroll hingga terus ke bawah! Hehehe

*Foto menyusul ya, males mindahinnya...

1. Awal Berangkat Kuliah
Senin pertama, hari pertama kuliah setelah Lebaran.. Pagi yang indah, namun gw diganggu oleh jadwal kuliah nanggung, yaitu jam 11 siang. Gw berangkat dari rumah pukul 10 kurang 15, tanpa prasangka buruk apa-apa akan sesuatu yang akan menimpa gw hari itu.
Naik motor sehari-hari (silahkan sapa saya apabila menemukan orang yang meluncur di atas motor Suzuki Thunder warna silver, bernopol B 6166 KJU...InsyaAllah itu gw kok), gw berencana untuk berangkat ke Tebet hari itu. Udah biasa bagi gw dan mungkin jutaan pengendara motor yang ingin ke Depok dan Bogor lainnya, yang pergi ke stasiun tebet untuk menitipkan motornya di sana dan berangkat dengan Kereta Api. Proses cepat, kilat, murah, dan praktis (kaya iklan apa gitu...)

Sayang seribu sayang...gw mengalami kecelakaan di tengah jalan. Kebetulan gw melintasi sebuah proyek yang dinamakan "Banjir Kanal Timur". Entah, dari namanya sih itu kayanya semacem.....Kanal di daerah (Jakarta) Timur, untuk menanggulangi Banjir, bener ga tuh?
Yah pokonya gitulah. Pokoknya jalanan di daerah situ berpasir dan berdebu karena proyek itu. Entah gw mengkhayal, atau emang ada taksi yang tiba-tiba motong dari kiri ke jalur kanan (jalur cepat) dan tiba-tiba ngerem seenaknya, gwpun terpaksa membejek (tau arti 'bejek' kan?) rem motor gw (yang berjalan dengan kecepatan sedang 60an Km/Jam) dengan spontan. Daaaan....berhubung itu jalan berpasir dan kerikil, maka slip-lah ban gw, dan menyebabkan gw terpelanting di tengah-tengah jalan, dengan kondisi badan ketiban motor hingga terseret sekitar 2 meter. Untungnya gw pengendara motor yang baik, dengan kelengkapan peralatan keamanan yang mumpuni (asiiiik).

Gw ga luka parah, kendati si manis berwarna silver ( baca : motor gw) mengalami kerusakan cukup hebat. Setang bengkok parah, footstep hancur, dop lampu depan setengah pecah, persneling tersangkut, dll. Lebih dari itu, badan gw baik-baik saja... Ya emang ada luka-luka di tangan, kaki, dan hancurnya barang-barang yang gw pake dan kantongi sih. Tapi, gw selamat!! Waw...

Habis waktu sekitar 45 menit untuk mencari air guna membersihkan luka, dan sedikit duduk untuk melenyapkan deg-deg an. Dengan mengerahkan segenap tenaga dan nyali, gw memutuskan : Lanjut ke kampus, Yeahhh!! (padahal niat gw ini udah ditentang oleh seorang sahabat yang pertamakali gw kabari). Dengan stang miring-miring dan motor ribet, gw lanjut jalan ke stasiun Tebet.
Tebet...tempat terjadinya peristiwa itu...
(di sini mulai serius dan misterius)


2. Dor!! Dan Si Abang Terjatuh dengan Berlumur Darah...
Sekitar pukul 11.25 gw sampai di Stasiun Tebet, dan parkir di tempat langganan. Tempat parkir ini modelnya numpang di sebuah rumah dengan pelataran yang luas, dan dijaga oleh beberapa tukang parkir di situ. Oke, kita panggil sang empunya rumah ini dengan nama 'Mawar' (lagi-lagi). Alkisah, si 'Mawar' ini punya seorang adik bungsu yang diduga mengidap gangguan jiwa, atau istilah kerennya : Setress yang suka kumat.
Sekarang kita panggil si bungsu ini (yang nantinya menjadi tersangka) dengan nama 'Melati'. Gangguan jiwa pada Melati ini relatif tidak pernah dibahas oleh pihak keluarga, karena sang Ibu dan si Mawar mengidap penyakit jantung. Jadi otomatis, Melati dibiarkan tinggal di situ (bukan di Er Es Je) dan dianggap tidak bermasalah, hanya kadang suka kumat. Daaaaaan, si Melati ini punya dua teman dekat, yaitu Senapan Angin Laras Panjang (entah apa merk dan modelnya), plus sebuah senjata genggam gas bermodel Baretta buatan Amerika yang ditebusnya dengan harga 3.5 juta rupiah.

Oke oke oke, cukup dengan duo Mawar - Melati ini. Mari kembalikan gw sebagai topik utama cerita ini! Hehehehe.
Sesampai dan separkirnya gw di Tebet, gw disapa oleh PAK HAMID, seorang juru parkir yang sudah seringkali bertatap dan berbincang dengan gw. Pak Hamid ini melihat luka di tangan gw dan berinisiatif menolong, dengan menawarkan....penyiraman alkohol, dan pemberian Bet*dine (sensor dikitlah biar ga dikira iklan). Saat tangan gw sedang dituang alkohol, otomatis gw agak berjengat karena ngilu yang mendadak itu. Di saat menikmati 'jengatan sensual' itu, tiba-tiba terdengar ada bunyai "DOR!!", dan diiringi dengan rasa nyeri yang mendadak di pinggul gw. Posisi tepatnya ada di bagian pinggul agak ke bawah sedikit, kendati belum mencapai bokong.

Jadi....klarifikasi pertama : Peluru tidak mengenai bokong gw, melainkan tulang duduk gw!!.
Oke, karena jengatan alkohol dan nyeri mendadak akibat ditembak itu, kontan gw teriak "An*ir!!!". Gw menoleh ke belakang, dan tampaklah dia.....sesosok pria berwajah segar (sayur kali), tampang tidak berdosa, dan memegang sepucuk senapan angin yang baru dikokang...jaraknya kurang lebih 3 meter dari tempat gw berdiri. Itu Dia. Itu Melati. Hanya sedetik, dan si Melati masuk kembali ke balik pintu. Sempat meluap emosi untuk menghardik dengan bahasa binatang, sebelum Pak Hamid bilang..."Udah, orang itu emang agak stress. Biarin aja".

Sembari mengusap pinggul gw dan meraba sesuatu (yang kemudian gw ketahui sebagai peluru), gw menenangkan diri....dan meredam emosi yang sempat mau membuncah. Menyadari, itu tindakan di luar sadar dan sengaja dari akal sehat. Dengan agak terpincang karena pinggul nyeri, gw melanjutkan pengobatan.
Menyoal luka gw, pada berita resmi yang gw cantumkan di atas, tertulis bahwa gw berdarah-darah dan segera dilarikan ke RSCM. Well, itu lebay!! Haha. lagi-lagi pria beruntung ini selamat dari luka parah. Kebetulan hari itu gw memakai celana 3 lapis. Celana dalam motif polka dot (wuw), celana pendek olahraga, dan celana jeans. Untungnya 3 lapisan itu mampu menyerap daya tembak si peluru. Setelah belakangan gw menjalami visum, diketahui bahwa celana terluar gw (jeans), sobek dan bolong akibat peluru tersebut, namun masih membal di lapisan ke dua dan ketiga, yang persis jatuh pada bagian karet celana. Jadi peluru hanya mengahantam kulit secara tidak langsung, dan menyebabkan luka kecil dan sedikit berdarah Klarifikasi kedua : BUKAN BERDARAH-DARAH, DAN TIDAK DILARIKAN KE RSCM

Lanjut...
Eh, baru tenang dikit....selang beberapa detik kemudian, ada lagi suara "DOR!!"
Kali ini giliran Pak Hamid yang mengerang. Gw langsung melihat darah yang mengalir dari betis kanannya. Segera setelah itu, Pak Hamid sang penolong gw tiba-tiba terjatuh tertelungkup sambil mengerang sakit dan memegangi betisnya.....yang.....tertembus.....peluru.....hingga.....ke dalamnya....dan....berdarah-darah....parah....ah....

Hanya sekilas menghafalkan wajah Melati untuk yang kedua kalinya, gw langsung fokus untuk menolong Pak Hamid. Beliau langsung diantar ke RSCM, sementara gw yang hanya mengalami luka-luka kecil dan pincang 10 menit, memutuskan untuk melapor ke polisi. Pada awalnya gw hendak melapor hanya sebagai saksi mata, dan tidak ingin dianggap sebagai korban. Toh luka gw ga seberapa, dan gw juga ga dendam sama tuh orang. Tapi oleh polisi yang kebetulan berada di pos terdekat, gw disarankan mengadu sebagai korban juga.

Mungkin ada yang bertanya-tanya : "Ih, kenapa harus lo sih yang sok heroik dan ngadu-ngadu ke polisi" (dengan nada nyolot dan gaul)
Betul juga....kenapa harus gw? Sementara banyak tukang parkir lain yang juga melihat kejadian tersebut dengan jelas.

Pertimbangan utama gw adalah....Pak Hamid dan kolega sesama tukang parkir menumpang cari nafkah di pelataran rumah itu. Pantaskah gw membiarkan mereka menerima resiko untuk kehilangan pekerjaan, sementara gw sendiri dalam kondisi yang memungkinkan untuk melapor? Toh gw di situ hanya tamu yang menitip. Cuma sekedar lewat beberapa jam saja, dan ga nyari nafkah di situ. Apabila ada keberatan, maka gw ga parkir di situ lagi pun bukan masalah besar. Lain dengan mereka yang bisa terancam kehilangan pekerjaan. Oleh karena itu, bukannya sok heroik, tapi gw ga mau ngerepotin orang situ yang udah banyak ngebantu gw. Itu aja

Setelah melapor, 5 polisi datang dan menggerebek rumah itu. Dan mereka segera menciduk Tuan Melati...


3.Polsek, Visum, Bokong, Laporan, Helm Ilang
Setelah Melati diciduk, gw diharuskan ikut untuk memberi keterangan di Polsek Tebet (di jalan Dr. Saharjo, deket balai Sudirman). Alhasil, gw bawa motor dengan susah-payah kesana. Dan karena gw ga menemukan parkir kosong di area dalam, maka parkirlah motor gw di depan gerbang polsek. Di situ duduk seorang tukang parkir. Dan gw masuk ke Polsek, setelah titip pesan kepada tukang parkir "Pak, titip helm yaa". Dan dia mengiyakan dengan pasti dan mantap.

Oke, di sana gw diinterogasi, ditanya-tanyain, terus ditanyain lagi, terus ditanyain lagi, dan terus ditanyain lagi. Intinya, gw ditanyain terus setiap kali ada polisi yang baru masuk ke ruang interogasi gw. Dan setiap begitu, gw harus ngulang lagi ceritanya, ngulang lagi ceritanya, ngulang lagi ceritanya, terus sampe gw kecapean sendiri.
Jam 2, gw diberangkatkan ke RSCM untuk melakukan visum, demi mendapatkan bukti otentik luka gw. Disitulah gw mengalami hal yang mirip tapi sama sekali bukan pelecehan seksual.. Di ruang visum yang dipenuhi cukup banyak orang, baju gw harus berkali-kali diangkat, dengan celana agak dipelorotin ke bawah hingga terlihat secuil buah-buah ranum di balik celana belakang gw!! Whew!! Untung gw buang muka ke arah lain supaya ga ada yang liat muka gw...

Di ruang yang sama, gw kembali bertemu Pak Hamid yang sudah lebih dahulu dilarikan ke RSCM. Melihat hasil Rontgen nya, gw agak ngeri. Peluru menembus dari betis belakang hingga tersangkut di tulang kering. Dan peluru yang menyangkut, sama seperti yang mengenai gw. Peluru timah kecil, tajam seperti mata bor, dan kerapkali disebut 'mimis' (entah, polisinya bilang gitu...ga tau kalo gw salah ngeja). Ga kebayang seandainya peluru yang kena gw itu naik setengah sentiiiiii aja. Pasti kena bagian pinggul ke atas yang ga tertutup celana dan cuma kemeja doang. Dan itu pasti akan tembus juga.....malah bisa jadi tembusannya itu ke sekitar perut. Jadi lagi-lagi, dalam kesialan gw menemukan keberuntungan!! Yeah!!

Oke, itu cuma luka karena pistol dan senapan angin, bukan senjata api betulan. Tapi tetep aja, kebayang ga gimana rasanya dihajar peluru timah (kendati bukan proyektil asli) dari jarak 3 meter dengan senapan angin. Orang main Air Soft aja ada aturan 5 meter minimal. Itu juga harus pake gear lengkap, dll. Lha kalo cuma modal kaos atau malah langsung kena kulit?? Ga ada ampun, itu pasti langsung tembus!!

Balik ke topik..
Selesai visum jam 4 an, gw balik ke Polsek lagi untuk bikin laporan. Selesai akhirnya jam 7. Gw pikir, gw udah merdeka.. Gw turun ke tempat gw parkir motor, dan mendapati helm gw udah lenyap tak berbekas, tak berjejak...raib begitu saja.
Di dalam helm itu juga gw masukkin jaket motor gw yang udah setia menemani gw semenjak Akil baliqh (oke, lebay sih...)
Dengan perasaan dongkol dan merasa ini adalah hari paling apes selama 21 tahun hidup (kecelakaan motor, motor berantakan, ditembak orang, bikin laporan, helm ilang), gw duduk di dekat motor gw sembari menyalakan satu batang rokok yang tersisa di bungkus rokok gw. Beristirahat dan menenangkan diri sebelum menempuh perjalanan pulang dengan motor rusak.
Phew, what a day!!

Yah...kebayangkan kan gimana berita resmi yang ada di lnik atas itu terlalu lebay. Gw ga berdarah-darh sampe segitunya. Luka kecil iya, tapi ga sampe membuat gw langsung dilarikan ke RSCM. Gw ke RSCM murni hanya untuk tujuan visum guna mendapat bukti, bukan perawatan serius. Selain itu, penekanan gw adalah...ITU BUKAN PANTAT ATAU BOKONG!!! ITU PINGGUL (turunan dikit) !!!
Demikian catatan ini dibuat..untuk menjelaskan keadaan yang sebenar-benarnya terjadi saat itu. Terima Kasih, dan tetap baca blog gw!!