Thursday, April 30, 2009

Happy MayDay, Boss!! May our Action Won't be Your 'MayDay' Signal!

Tulisan ini sekedar penyambutan terhadap MayDay atau Hari Buruh tanggal 1 Mei. Sebelum menyambut dengan tulisan ini, gw bersama beberapa temen, juga baru menggagas dan menggelar sebuah acara nonton film dan diskusi bareng, yang sedikit menyinggung tentang realita yang harus dihadapi buruh Indonesia. Acaranya lumayan seru lho! (narsis)
Film yang baru gw puter itu judulnya "The New Rulers of The World".

Gw males juga kalo disuruh nyeritain seluruh isi film itu di post gw ini ( kepedean...siapa juga yang minta diceritain??? ). Yah..gambaran aja kali ya. Seorang buruh di pabrik sepatu merk terkenal berlambang 'centang' mempekerjakan buruhnya dengan shift 36 jam non-stop. Untuk sebuah sepatu yang dijual seharga SATU JUTA EMPAT RATUS RIBU RUPIAH, seorang buruh cuma dapet kompensasi LIMA RIBU PERAK!! Whew, itu bahkan ga bisa buat beli talinya doang! ==> ( talinya harus merk 'centang' itu juga laah. Beli di mall kek. Kalo beli di tampur ato senen sih dapet 2 iket! )
Hal yang sama juga berlaku untuk penjualan boxer bermerk X ( petunjuk : x adalah tiga huruf terakhir dari kata 'GAGAP' ! hehe). Untuk sebuah boxer seharga sekitar 200-300 ribu perak ribu perak, yang mereka dapet cuman gopek!!

Bicara soal buruh....kebanyakan dari kita pasti langsung inget sama satu kata, yaitu 'kuli'. Entah kuli pelabuhan, kuli angkut, de-el-el (kuli tinta not included).
Sebenernya apa status yang ngebedain buruh sama pegawai biasa?
Jawaban awam sih pasti ga jauh-jauh dari : Wah, kalo buruh ato kuli gitu mah cuman ngandelin tenaga doang, ga usah pake otak! Beda man kalo sama pegawai yang kombinasi tenaga sama otak, dan bahkan cenderung otak doang!
Yah, secara umum sih itu sebuah jawaban yang ga bisa disalahkan. Gw juga setuju dengan itu ( lagi-lagi : konteks umum! ).
Konsepsi buruh mulai mencuat sejak Karl Marx memberi definisi yang jelas tentang kelas sosial. Pria berjanggut putih nan lebat ini ( Sinterklas? ) pada mulanya membagi masyarakat industri ke dalam dua kelas, yaitu kelas pemilik modal (borjuis, kapitalis, terserah apaan lagi...) dan kelas pekerja atau proletar. Pada teori pergerakan kelasnya, Marx sendiri punya prediksi bahwa kelas proletar akan berjuang untuk menggulingkan kelas pemilik modal, supaya kelak terbentuk masyarakat tanpa kelas. Teori yang sempat menuai kritik, karena Marx dinilai terlalu filosofis dan terlalu menyederhanakan masyarakat yang heterogen. Di bukunya yang berjudul "Manifesto Komunis" yang dikerjakannya bersama Engel, ia memasukkan masyarakat kelas menengah sebagai kelompok ketiga. Orang yang ga punya modal, tapi punya kemampuan akademik dan lainnya, sehingga punya posisi di atas buruh. Nah, di kelas inilah para pegawai dan karyawan biasa itu digolongkan.
Nah, struktur kelas itu kalau diconvert ke dalem sebuah gambar piramida, hasilnya kaya gini ( sori kalo gambarnya kepotong. Gw bikinnya terlalu semangat, jadinya kegedean dan ga mungkin bisa dikecilin karena tulisannya ga bakal keliatan! hehe ) :




Kalo kita liat lagi, semakin ke atas bentuknya semakin mengecil ( ya iyalah, namanya juga piramida! ). Nah...berarti kan jumlah buruh senantiasa lebih banyak dari kaum kapitalis. Lagipula, piramida kelas di atas ini ditinjau dari fungsi kontrol. Lain cerita kalau dibentuk piramida kelas dengan ditinjau dari kepemilikan, bahkan bener-bener cuman dua kelas (middle class) akan masuk menjadi proletar. See? Jumlah pengusaha ga akan lebih banyak dari buruh. Nah analoginya....bayangin aja kalo duit banyak disebar ke orang yang lebih dikit, dibanding dengan duit seuprit dibagi-bagi orang segambreng! Kebayang kan letak inequality-nya?
Poin utama yang juga penting banget adalah soal kelangsungan berjalannya sebuah industri. Bukti otentik menunjukkan bahwa industri tidak akan bisa berjalan tanpa buruh. Justru sebaliknya, banyak pabrik di Argentina yang tutup karena bangkrut, kembali dibuka oleh buruh di sana. Pabrik itu akhirnya berjalan tanpa sang pemilik pabrik, dan bahkan tanpa manajemen. Inilah pembuktian bagaimana buruh bisa lebih berguna ketimbang para pemilik industri besar.
Kalo gitu, kenapa orang-orang berguna ini cuma bisa makan maksimal 2 kali sehari? Kenapa mereka ga bisa bawa anaknya yang sakit untuk berobat? Kenapa pula mereka kerap melakukan demo?
Tenaga mereka cuman dihargain dua iket tali sepatu di pasar senen! Itu inti masalahnya.

Kenapa tenaga buruh murah?
Tentu untuk narik investor yang bakal buka pabrik di sini.

Kenapa harus murah?
Supaya kelebihan devisa itu bisa balikin utang Indonesia.

Segitu besarnyakah utang Indonesia?
Sejumlah penelitian sekitar pertengahan tahun 2000 menyatakan bahwa bayi Indonesia yang baru lahir udah harus menanggung utang sebesar 3 juta-an *( Nur Iman Subono, Kuliah Politik Amerika Latin 2008 )

Kenapa buruh yang terlihat paling terkena dampak pengembalian utang ini, sehingga muncul kecenderungan eksploitasi?
Ini jawaban yang harus kita cari.
Cari jawaban doang ga cukup...harus ada konsensus dan solusi, demi realisasi.

Demi mereka, atas nama kemanusiaan.
Dan demi INDONESIA

Selamat Hari Buruh

Wednesday, April 22, 2009

Socialist's Words



"Bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus memberikan kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi pada Si Miskin"
( Hugo Chavez, 2005 )

Sejujurnya, setuju dengan semua poin kecuali yang paling penting : memberikan kekuasaan pada Si Miskin. Pada dasarnya semua bentuk kekuasaan tersentralistis cenderung menghasilkan kekuasaan yang represif. Kekuasaan represif itulah yang kemudian berpotensi menimbulkan gerakan anarkisme (menentang eksistensi akan adanya sistem pemerintahan yang dominan dan represif. Kekuasaan harus dapat menjadi sesuatu yang bersifat egaliter). Gerakan sosial ini yang kemudian akan menjadi siklus, menjatuhkan satu rezim pemerintahan menjadi rezim baru yang pasti akan jatuh pula.

Kembali Secuplik Essay Politik



Demokrasi = Pertumbuhan Ekonomi Tinggi ?

Studi Kasus Indonesia




Paska runtuhnya tembok Berlin dan pecahnya Uni Soviet dengan rezim Otaritariannya, studi Demokratisasi merebak di dunia. Bersamaan dengan itu pula, tesis dari Seymour Martin Lipset ( 1959 ) merebak. Tesis Lipset ini berintikan bahwa demokrasi berjalan asalkan sudah terjadi pembangunan ekonomi di dalam sebuah negara. Artinya, indikator ini mengasumsikan bahwa apabila di sebuah negara memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka tingkat demokrasi yang tinggi akan dapat dicapai.[1]

Toh pada akhirnya indikator ini tidak bisa disebut menjadi sebuah indikator yang umum, dan gagal menjelaskan beberapa gejala yang terjadi di sejumlah negara. Misalnya di negara Singapura, semasa Lee Kuan Yew mendominasi pemerintahan dengan PAP-nya. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan tingkat demokrasi yang tinggi pula. Contoh yang sebaliknya berlaku di India, sebuah negara miskin yang mampu menghasilkan nilai-nilai demokrasi tinggi di dalam pemerintahannya. Walaupun gagal untuk menghasilkan sebuah indikasi yang umum, namun indikator inilah yang kemudian seringkali dikaitkan dengan sebuah pertanyaan retoris : Mana yang lebih dahulu dilakukan, pertumbuhan ekonomi atau kestabilan politik?

Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri? Saya berasumsi bahwa hasil yang berbeda bisa terjadi di sebuah negara yang sama, namun dalam periode dan rezim yang berbeda, dan tergantung dari beberapa faktor ( terutama eksternal ) yang berpengaruh. Misalnya pada era Demokrasi Terpimpin Soekarno dan Demokrasi Pancasila Soeharto. Keduanya sama-sama memiliki tingkat demokrasi yang rendah. Hanya saja, pada era Demokrasi Terpimpin tidak ditemui dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang berarti. Sebaliknya untuk Demokrasi Pancasila, ditandai dengan tingkat ekonomi yang tinggi dan bahkan mencapai swasembada pangan. Artinya, indikator tersebut hanya berlaku untuk masa Demokrasi Terpimpin, tetapi tidak di masa Demokrasi Pancasila. Saya akan sedikit membahas mengenai pertumbuhan ekonomi di masa Demokrasi Pancasila, karena salah satu tujuan essay ini adalah untuk membuat perbandingan dengan periode sekarang, dan mencari jalan untuk dapat memajukan sistem ekonomi Indonesia dengan studi kasus Indonesia pada perkembangan ekonomi secara makro.

Kendati menjalankan pemerintahan otoriter, presiden Soeharto mampu membawa Indonesia mencapai puncak pertumbuhan ekonominya pada pertengahan tahun 1980-an. Pertumbuhan ekonomi tersebut mampu dicapai melalui program utama pemerintah saat itu, yaitu Pembangunan Lima Tahun ( PELITA ) yang dimulai pada tahun 1969. Konsep PELITA ini sebenarnya merupakan praktek dari teori yang dikemukakan oleh ekonom bernama W.W Rostow. Teori Rostow sendiri kerapkali dikenal dengan Lima Tahap Pembangunan, yaitu dimulai dari bentuk masyarakat tradisional, dan melakukan pembangunan secara intensif hingga mencapai tingkat konsumsi massal yang tinggi.[2] Salah satu poin yang penting di dalam teori milik Rostow adalah perlunya untuk memasukkan pengaruh eksternal yang kuat, dan terutama dalam bentuk investasi. Hal inilah yang kemudian dapat kita lihat di dalam PELITA, di saat menguatnya gelombang investasi asing ke Indonesia. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak serta merta diikuti dengan pemerataan pembangunan, yang bermuara kepada tingkat demokrasi di Indonesia saat itu. Keberhasilan pembangunan ekonomi ini ternyata hanya menjadi agenda pemerintahan pusat saja. Terjadi sentralisasi dalam distribusi pendapatan negara, hingga menimbulkan ketidakpuasan dari daerah. Namun di bawah pola kepemimpinan Soeharto, keluhan-keluhan yang berasal dari daerah tersebut dapat dibungkam.

Lalu bagaimana dengan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, apabila dihubungkan dengan tingkat demokrasi yang meningkat? Indonesia saat ini sedang berada di dalam tahap transisi demokrasi. Terjadi upaya untuk mengubah arah demokrasi yang sebelumnya berupa demokrasi prosedural, menjadi demokrasi substansial. Tingkat demokrasi yang perlahan-lahan mulai naik inilah yang ingin saya jadikan tolok ukur untuk melihat kemungkinan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Paska reformasi, Indonesia telah resmi menutup hubungan kerjasama dengan IMF. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang dicapai saat ini adalah pertumbuhan ekonomi yang berusaha untuk meminimalisir pengaruh dari luar. Kalaupun pada saat ini pertumbuhan ekonomi tersebut agak tersendat, itu diperkirakan lebih terjadi karena perkembangan ekonomi dunia secara global itu sendiri. Pembangunan dengan fokus internal inilah yang kemudian membuat faktor kuatnya demokrasi menjadi cukup menonjol.

Peningkatan demokrasi di Indonesia dewasa ini, diharapkan akan menumbuhkembangkan partisipasi dari kelompok kepentingan maupun kelompok kepentingan, hingga akhirnya dapat dicapai sebuah keputusan yang dapat memeratakan pembangunan ekonomi. Misalnya dengan pemberian akses yang luas pada sektor pendidikan, maupun membuka jalan bagi efisiensi pengeluaran negara.

Secara teori dan filosofis, demokratisasi juga akan mendorong pengertian akan hak dan kewajiban dari masing-masing masyarakat, sehingga mereka mampu mendorong diri mereka sendiri untuk berperan aktif dalam menggalang perekonomian demi kebaikan mereka bersama. Contohnya adalah yang terjadi di beberapa negara di Amerika Latin, misalnya penjalanan kembali pabrik yang sudah mati atas inisiatif sendiri dari buruh di Argentina, hingga swasembada pengadaan pangan dari masyarakat sendiri di masing-masing distrik Venezuela.

Untuk menanggulangi masalah pembangunan yang tidak tersentralisasi, pembenahan koordinasi dengan pemerintah provinsi dan daerah sangat perlu untuk dibenahi, terutama berkaitan dengan otonomi daerah. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana menguatnya isu pendirian Provinsi Tapanuli mengakibatkan sebuah tragedi yang bahkan merenggut nyawa. Sempat terlontar dari Amien Rais, sebuah ide untuk membuat Indonesia menjadi negara federal. Hal inipun juga sebenarnya sulit untuk dilaksanakan di Indonesia, karena persebaran sumber daya alam yang tidak merata, sehiingga ketimpangan pembangunan di antara daerah justru akan makin terjadi. Jalan satu-satunya adalah dengan membuka partisipasi yang lebar kepada daerah, tanpa melemahkan posisi pemerintah daerah, dan mampu menjaga pengertian demokrasi itu sendiri. Mengapa saya sebut menjaga pengertian demokrasi? Karena saya melihat bahwa kasus yang terjadi di Tapanuli itu merupakan penyalahartian dari makna demokrasi, dan penyalahgunaan cara menyalurkan aspirasi. Mereka telah melangkahi prosedur yang diperlukan dalam pembentukan sebuah Provinsi, yaitu prosedur yang seharusnya melewati persetujuan dari Depdagri, DPR, dan DPD. Sebenarnya, pengadaan prosedur ini adalah sesuatu yang tepat, karena hal tersebut diperlukan untuk menimbang kelayakan sebuah daerah untuk dapat berdiri sebagai sebuah provinsi, dan juga menjadi filter agar tidak begitu mudahnya sebuah kelompok mendirikan provinsi untuk kepentingan beberapa elit. Pengajuan izin dengan prosedur untk mendirikan provinsi adalah sebuah langkah yang menggambarkan demokrasi, hanya saja pengetahuan dari masyarakat yang masih kurang. Penanggulannya adalah dengan membuat aspek demokrasi makin berjalan, pembenahan birokrasi daerah, dan melakukan sosialisasi besar-besaran.

Oleh karena itu, dengan kembali berkaca kepada pertanyaan retoris yang sudah saya ungkapkan di awal : Mana yang lebih dahulu, pembangunan ekonomi atau kestabilan politik? Saya memandang bahwa hal yang disebut belakangan merupakan prioritas utama yang perlu dilakukan saat ini. Pembangunan ekonomi memang bisa dijadikan landasan untuk membuat politik yang stabil maupun demokratis, namun akan menjadi percuma apabila suatu saat nanti negara itu akan goyah karena sistem pemerintah yang tidak satabil. Tidak stabil di sini maksudnya adalah menyisakan ruang-ruang untuk kepentingan elit, dan pada akhirnya menimbulkan pergerakan dari bawah sehingga menyebabkan jatuhnya negara tersebut, seiring dengan menurunnya kekuatan secara ekonomi.

Pendahuluan pada sektor pemerintahan yang stabil akan memiliki kemungkinan yang lebih besar umtuk menumbuhkan perkembangan ekonomi. Setidaknya, peningkatan demokrasi di masa ini turut pula menjaga kestabilan ekonomi di Indonesia sehingga tidak mengalami kemerosotan yang luar biasa. Hal itu dibuktikan misalnya dengan pengadaan Bantuan Langsung Tunai, dan penjagaan terhadap subsidi harga minyak bumi dan bensin. Oleh karena itu, hingga saat ini, arah pemerintahan Indonesia yang sedang mengalami transisi kearah demokrasi substansial sudah mulai membawa pertumbuhan ekonomi dan membawa pembenaran kepada tesis yang menyebutkan bahwa demokrasi merupakan prasayarat pembangunan ekonomi. Asalkan Indonesia terus menapak ada langkah demokratisasi yang konsisten, kita akan dapat berharap pada naiknya pertumbuhan ekonomi untuk jangka waktu mendatang.



[1] Drs. Joelies dalam kuliah Masalah Pembangunan Politik. Depok, 12 Februari 2009

[2] Arief Budiman. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000 ), hal. 25

Membayangkan Dunia Tanpa Amerika dan Australia

Sore ini gw lewatin dengan berbincang seru sama anak Sosiologi angkatan 1992 (yang sekarang udah jadi dosen), ditambah rokok dan kopi yang mengepul...
Berhubung orang yang gw hadapin ini adalah seorang aktivis gerakan sosial, dan beliau merupakan orang yang mengerti banyak tentang teori-teori sosial, maka jadilah perbincangan gw itu lebih banyak diisii tentang tanya jawab menyoal kelas sosial, konflik kepentingan, konsep hegemoni dan fetisisme, and the bray and the scray, de el el.

Satu bahan pembicaraan yang cukup seru adalah mengenai model kapitalisasi yang jadi trend sekarang. Sebut saja nama model itu...Accumulative Captive Disposition. Artinya, pengambilalihan kepemilikan secara kasar, atau menurut bahasa dia....kapitalisasi purba!
Soal bentuknya? Yah...bayangin aja ada seorang pemilik pabrik industri yang kabur di suatu malam sambil ngegondol semua aset cair perusahaannya. Pokoknya model kaya jambret deh, asal embat dan main kotor dengan tindakan mencolok. Yang penting, habis disikat ya dibawa lari ke antah berantah.
Ya, model kaya gitu yang sekarang lagi berkembang lagi. Misalnya kaya yang bulan Desember kemaren terjadi di Wall Street. Seorang pialang bernama Maddoff muter saham punya orang-orang, dan bahakn sampe bikin belasan pengusaha bunuh diri gara-gara bangkrut! Nah, tipe asal colong gitu yang dinamain pengambil alihan kepemilikan secara purba.

Berangkat dari titik tolak itu, pembicaraan berlanjut ke asal-usul Amerika Serikat dan Australia. Menurutnya, kalo dahulu ga dilakukan pengambilalihan (baca:perampasan) tanah secara paksa, ga bakal ada negara yang sekarang Amerika Serikat dan Australia. Karena kita tahu sendiri, sebenernya pada saat Amerigo Vespucci dan Christopher Columbus nemuin benua Amerika, sudah ada penduduk Indian di sana. Akhirnya orang-orang bule yang nyampe ke dataran Amerika juga toh sebenernya orang Inggris. Artinya, para koloni tersebut sebenernya melakukan pengambilalihan atas tanah orang-orang Indian.
Kasus yang sama juga berlaku untuk benua Australia yang ditemuin sama James Cook. Pada awalnya benua itu merupakan temapt pembuangan napi dari Inggris. Dan lagi-lagi, mereka menafikan kehadiran orang aborigin (yang notabene) merupakan orang aseli Australia. Bahkan wacana yang berkembang pada zaman dahulu itu, suku aborigin tidak dianggap sebagai 'orang' (baca:manusia)!! Akhirnya, jadilah para koloni tersebut juga melakukan pengambilalihan hak milik tanah orang aborigin jadi milik mereka.
Hemmmm....kebayangkah kalo zaman dulu ga ada yang namanya Accumulative Captive Disposition, yang bisa jadi (sekedar asumsi) mengakibatkan tidak adanya negara adidaya kaya AS dan negara Australia?

Friday, April 17, 2009

Mari Makan Belatung!!

Pernah membayangkan segenggam belatung yang bergeliat-geliut menggemaskan itu dimasukkan ke dalam sebuah panci berisi air mendidih, kemudian diberi bumbu-bumbuan seperti garam, lada, bawang putih, ditambah sayuran hijau dan bahan-bahan lainnya? Bagaimana kalau setelah itu, sop belatung-belatung itu disajikan di dalam sebuah mangkuk...panas dengan uap mengepul, dan dengan belatung-belatung berwarna putih mengambang di atas kuah yang berwarna kehijauan?

Well, jangan dibayangkan...karena gwpun agak jijik juga...hehe
Lha, terus ngapain gw bahas dan gw kasih judul kaya gitu??
Jawabannya : biar eyecatching ajalah..hehe

Tapi percayalah, isi post ini ga jauh-jauh dari makanan ga lazim, dan hewan (maupun bagian dari hewan) yang juga ga umum dijumpai dalam bentuk masakan.
Baru-baru ini gw habis berbincang-bincang dengan seorang teman...soal masakan aneh-aneh yang pernah dimakan.

Dimulai dari yang cukup umum, misalnya jeroan macem limpa, otak, sampe 'torpedo' sapi. (Ngerti kan apa yang dimaksud 'torpedo' di sini? hehe). Setelah itu, masih ngomongin soal bagian dari badan sapi...yaitu idung sapi. Beranjak ke yang agak 'mahalan' dikit walaupun ga unik-unik amat macem hiu, ular, kelinci dan belalang.

Unuk sapi, buat lo yang berasal dari Jawa Timur mungkin ga heran sama makanan berbahan idung sapi ( kalo bahasa betawinya itu congor sapi kali ya?). Bahasa sananya itu "Cingur", dan biasanya dirujak pake bumbu petis. Kenapa ini gw bilang masih setengah umum? Ya iyalaaah, temen gw aja masih banyak yang doyan rujak cingur ini (termasuk gw sendiri....hehe)

Oke bosen dengan sapi, kita menjajah hewan lain. Bagaimana dengan........bekicot? Gw yakin (lagi-lagi yang orang Jawa Timur) pasti ada juga yang masih familiar dengan masakan berbahan hewan gastropoda ini.
Masakan bekicot yang populer adalah sate bekicot. Ditusuk dan dibakar, kemudian dilumeri bumbu kacang...hemmmm. Dagingnya kenyal (kalo kata Pak Bondan 'Wisata Kulinar' : Mak Nyusss!!). Bagi kalian yang udah jijik duluan dengan ngebayangin tubuh kenyal bekicot yang disate, tenang...masih banyak jalan lain untuk menikmati daging bekicot. Salah satunya adalah keripik bekicot. Banyak dijual di toko oleh-oleh di kota Jawa Timur, semisal Kediri dan Madiun (promosi kampung halaman)

Cukup dengan bekicot karena 'komoditas' ini masih agak umum. Oke, lanjut ke fauna berikutnya. Ada yang pernah makan Laron dan Tawon? Gw pernah. Dan kesan gw.......rasanya aneh. Gimana masak Laron? Gampang : Goreng aja!! Kebayang ga sih binatang dengan daging yang relatif sangat tipis, digoreng sampe dagingnya jadi susut lagi?? hehe.. Rasanya kering banget, dan juga hambar. Tapi banyak yang bilang kalo laron banyak mengandung protein. Sebanyak-banyaknya toh juga harus makan laron berapa banyak??? Lah daging sebiji laron cuma segitu...hehe.
Terus gimana dengan tawon?? Masakan tawon yang pernah gw coba adalah dipepes. Pepes ini punya rasa manis. Dasar gwnya ga terlalu suka lauk dengan rasa manis, jadi gw agak ogah makan nih tawon. Gw sempet ngicip dikit sih. Teksturnya agak benyek-benyek dikit gitu. Rasanya juga ga jelas. Malahan, gw ngerasanya kaya lagi makan tahu!! hehehe. Bodo ah, yang penting udah ngicip..
Oya, gw makan laron sama tawon itu bukan karena gw iseng dan ga ada makanan laen lho. Tapi emang karena dua bintang itu memang lazim dijumpai sebagai menu makanan di beberapa daerah di Indonesia.

Di luar contoh itu, masih cukup binatang yang pernah masuk ke mulut gw dan kemudian gw cerna dengan cukup sukses. Ya itu tadi...hiu (dikit aja...mahal, itu juga oleh-oleh), belalang, dan...tikus. Nah tikus ini yang belum gw ungkapkan di sini, hehe. Sebenernya gw ga yakin sih pernah makan ini apa nggak. Tapi pas zaman gw SD dulu (berapa taun lalu ya?) sempet ada tukang bakso yang nangkring di depan sekolah. Baksonya itu bukan bakso kuah, tapi disate gitu dan digoreng. Kebetulan harga baksonya itu muraaaaaaaaaaaaah bgtbgtbgtbgtbgtbgt!!!! (lebay...). Teksturnya juga agak aneh. Ga kaya bakso sapi maupun bakso yang kebanyakan tepung. Rasanya sih biasa-biasa aja. Dulu gw ga curiga samasekali kali itu daging tikus, walopun ada beberapa gosip yang bilang begitu. Tapi beberapa taun lalu gw liat acara di tv yang ngelacak penggunaan formalin dan daging tikus. Dan....Eng-Ing-Eng!!! Salah satu pengolahan tikus itu rupanya dijadiin bakso dan dijual oleh tukang-tukang yang setipe dengan di SD gw dulu...hehehe.
Masih ada ingetan yang ganjel sih. Pernah ada bintang lain yang gw makan, tapi gw lupa itu apa...hehe.

Anyway
, gw punya daftar fauna yang pengen gw coba lahap nih kalo ada kesempatan..
Yang pertama, telur Ballut a la Filipina dan Thailand. Telur ini adalah telur bebek berusia sekitar 3 minggu, yang kemudian direbus. Jadi hasil rebusannya itu bukan seperti telur rebus biasa. Tapi di dalemnya itu udah berupa embrio bebek, tapi tulangnya masih kenyal semua. Banyak orang yang bilang enak, dan itu makin bikin gw tambah penasaran!!
Yang berikutnya itu jajanan Thailand berupa sate-satean kelabang, cacing, dll. Di sana favorit banget. Sebenernya agak jijik juga sih....tapi katanya proteinnya banyak!! (padahal kalo emang gw mau protein, tinggal makan putih telur ato minum vitamin aja ya...hehe)

Ada yang punya ide lain tentang hewan aneh buat dimakan? Selain sop belatung lho!!

Friday, April 10, 2009

Bantu-Bantu Quick Count, Mengagumi Partisipasi Politik

Kamis 9 April 2009, pesta demokrasi Indonesia dibuka. Undangan udah disebar ( walopun banyak yag ga dapet sih). Yang punya acara ( KPPS ) juga udah siap menjamu tamunya.

Kebetulan, gw dapet kerjaan buat jadi surveyor untuk quick count oleh lembaga Ci*us. Kalo ente-ente nonton SCTV seharian tanggal 9 April kemaren, nah...itulah lembaga tempat gw mencari penghasilan dan sesuap nasi...hehe.
Tugas gw tuh simpel kok, cuma dateng ke salah satu TPS di PuloGebang (tentunya dipilih acak), ngelakuin wawancara sama 4 responden, memantau pelaksanaan keseluruhan pemilu di TPS itu, dan yang paling penting...nunggu hasil penghitungan suara DPR di TPS itu, untuk gw terusin ke pusat data lembaga Ci*us itu.

Oke, gw udah nyampe dari jam 7 kurang. Secara keseluruhan, tugas itu berjalan lancar. Panitia dan ketua KPPS di sana menyambut gw dengan baik, setelah gw tunjukkin surat tugas dan ID Card gw...semua lancar. Bahkan, saking gw disambut dengan baiknya, gw turut menikmati ransum makan siang dan makan malam berupa dua bungkus nasi Padang!! hehe...
Pada awalnya, jujur gw agak underestimate sama para pemilih di TPS itu. Maklum, tempatnya agak terpencil, dan orang-orangnya bisa dibilang agak.....yaaah, tipe yang ga terlalu ngeh sama politik.
Ternyata gw salah besar jack! Emang sih, partisipasinya ga terlalu tinggi. Dari 435 orang yang terdaftar dalam DPT, cuman 274 yang ikutan nyontreng. Tapi dari sejumlah orang yang nyontreng itu, ternyata pengetahuan mereka terhadap dunia politik bisa dibilang cukup baik. Gw sempet mengamati perbincangan seru di antara mereka soal partai-partai dan calonnya. Bahkan terkadang, ada yang sibuk ngomong soal parliamentery treshold segala! Haha, bagus...bagus...
Substansi yang meraka angkat juga bukan cuma pepesan kosong doang. Mereka ngomong kaya gitu bukan cuma dengan tujuan gaya-gayaan. Mereka ngomong karena mereka ngerti, karena mereka peduli, dan karena mereka pengen tau masa depan negara ini.
Sampe para panitia TPS itu menutup waktu pencontrengan, dan mulai penghitungan suara untuk DPRD, DPR dan DPD pun tempat itu masih rame. Bahkan penghitungan baru selesai sekitar jam 11an malem. Tapi itupun juga masih terus ditonton sama masyarakat. Ada yang udah sampe ngantuk-ngantuk, tapi mereka tetep kepingin di situ. Pingin tau, gimana hasil perolehan suara di daerah mereka. Gw cukup salut dengan semangat mereka.

Itulah yang bikin gw cukup heran...gw yang awal mulanya agak underestimate ternyata bisa dibikin takjub (hehe) dengan partisipasi dan semangat mereka.
Gw cukup bersyukur bahwa banyak dari mereka sadar bahwa ga cuma Caleg dengan promo gencar yang harus mereka pilih. Untungnya, kekhawatiran gw bahwa mereka bakal milih caleg yang kurang qualified ga terjadi (berhubungan sama post gw tepat sebelum ini) ga terlalu banyak terjadi.
Mereka milih caleg yang bener-bener mereka kenal, atau tidak sama sekali. Pola mereka sederhana, tapi cukup signifikan. Kebanyakan dari mereka mengincar presiden yang mereka pingin, dengan ngasih dukungan utama hanya kepada partai. Artinya, mayoritas pemilih memberi suara dengan baik. Suara tidak sah cuman dikit, karena minimal ada partai yang dicontreng di sana.
Tapi emang sih, kalo kebanyakan cuma pada milih partai, ujung-ujungnya pemilu ini sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Caleg ga dipilih langsung sama masayarakat. Tapi buat gw, lebih baik kaya gini daripada cuman caleg dengan publisitas tinggi tapi otak NOL besar yang kepilih kan?

Terus, gimana dengan Quick Count-nya? Yah, gw sempet sms temen gw yang juga bertugas sama kaya gw. Dia dapet TPS di Gambir, dan jam 6an tugasnya udah selesai. Gw sendiri baru kelar sekitar jam setengah 10 an. Hasilnya? Yah, ternyata sesuai dengan hasil Quick Count nasional yang juga dilakuin sama LSI juga...di TPS PuloGebang itu, Demokrat juga dominan. Bedanya sama hasil Quick Count Nasional mungkin cuman di posisi 2-5 besar. Di TPS yang gw pegang itu, PKS juga cukup kuat. Bahkan ngalahin PDIP dan Golkar.
Yang jelas, sesuai dengan azas penelitian kuantitatif, bahwa sample harus dipilih berdasarkan acakan murni, gw rasa TPS yang gw pegang itu cukup merepresestasikan pola pemilih Indonesia kok.

Dan yang juga gw harap, semoga partisipasi dan kepedulian mereka terhadap politik Indonesia juga terepresantasikan.
Bukan apa-apa kok, ini semata demi negara kita sendiri. Demi kita bersama, iya kan?

Thursday, April 2, 2009

Caleg yang Menjalankan Fungsi Adminstrasi

Kemaren sore, gw baru aja baca salah satu artikel di Gatra edisi 26 Maret-1April. Di situ gw nemuin artikel menarik, unik, dan sekaligus bikin gw geleng-geleng kepala ngerasa prihatin.

Artikel yang berada di halaman 89 itu mengulas secuplik wawancara singkat dengan pengamat politik Indonesia, bapak Imam Prasodjo.

Tersebutlah bahwa Pak Imam ini pernah jadi host acara Panggung Demokrasi di Glo**l TV, setiap hari Jumat jam setengah sebelas malem. Waktu itu, beliau lagi kebagian tugas ngewawancarain seorang Caleg.
Pak Imam inipun bertanya "Apa tugas seorang anggota DPR?"
Tanpa dinyana, si caleg yang notabene harusnya mencalonkan diri untuk duduk di kursi DPR atau DPRD ini, gelagapan setelah dikasih pertanyaan tersebut. Dengan muka bingung dan celingukan, dia berusaha nyari sumber jawaban (mungkin di contekan yang doi bawa, ga ada jawaban itu kali yaaa...hehe). Bulir keringat menetes deras dari pori-pori wajahnya, dan degup jantungnya berdentum di tengah kepongahan hatinya (apa coba? hehe)
Ngeliat temannya yang sedang panik dan kesulitan, muncul 'pahlawan' dari bangku lain yang berusaha ngasih tau bocoran jawaban ke Caleg naas ini. Dengan nada berbisik, dia mengulang-ulang sepetik kata kunci (jiah, sepetik!!), yaitu "fungsi legislasi" ==> walaopun singkat, tapi paling nggak si teman yang baik hati ini berharap kalo si Caleg bisa ngembangin lagi kata kunci itu.
Dan....entah kuping si caleg rada tuli atau gimana gitu, dia salah denger contekan itu. Dengan pede dia menjawab "Fungsi Administrasi Pak!!"
Denger jawaban alakadarnya itu, Pak Imam pun cuma bisa diem aja sambil sedikit nyengir asem kecut..

Lah wong namanya aja udah "Calon Legislatif", bukan "Calon Administratif", kok bisa-bisanya jawabannya nyasar sampe jadi fungsi administrasi??
Waw, bayangin aja seorang Caleg ga tau tugasnya apabila dia kepilih untuk duduk di lembaga legislatif. Itu baru satu Caleg yang mungkin didapet setelah diacak. Kalau emang Caleg yang ditanya ini dipilih secara acak, berarti logikanya Caleg kaya gini ga cuman ada sebiji atau dua biji doang! Berapa persen sih kemungkinan ngambil acak terus dapet satu-satunya Caleg dengan kepasitas kaya gini diantara ratusan Caleg lainnya?


Terus gimana kalo orang kaya gini duduk di lembaga legislatif sebagai wakil kita? Apa yang mereka mau buat disana? Ibaratnya kaya orang ngelamar kerja, tapi ga tau kerjaannya itu apa. Yang dia tau, kerjaan itu gajinya gede, kualifikasinya ga berat, terus bisa jadi orang beken pula. Siapa yang ga ngiler? Tapi sayangnya, kerjaan itu menyangkut masa depan dan kinerja sebuah negara. Menyangkut kepentingan dan kebutuhan orang banyak. Menyangkut kepercayaan (dan mungkin 'asal contreng') dari para konstituennya itu. Ya caleg itu mungkin cuma 'Beli kucing Anggora dalem karung' (istilah yang aneh...). Kenapa? Yah...dia ga tau kaya apaan bentuknya tuh kucing, ga tau tuh kucing makannya apaan, ga tau tuh kucing penyakitan apa nggak. Yang dia tau cuma itu kucing mahal, dan (kata orang) bagus!

Miris sih gw baca artikel itu. Tapi gimana lagi? Budaya itu lagi (dan udah) menjamur. Terus gimana cara kita ngebedain mana orang yang qualified dan yang nggak qualified untuk kita pilih? Yang kita tau cuma dari foto-foto di poster aja. Mungkin ada yang ganteng, mungkin ada yang cantik...hehe. Mungkin ada yang bokapnya artis, atau justru malah artis itu sendiri. Tapi gw jadi ragu gini, jangan-jangan mereka juga ga tau kalo dikasih pertanyaan kaya tadi?
Kalo Anda sekalian emang cuma pemilih yang berpatokan pada kreatifitas dan juga foto mereka dalam spanduk...mendingan ati-ati deh. Karena ternyata foto orang berpeci belum tentu lebih intelek daripada foto orang dengan sarung tinju. Foto orang naek mobil keren belum tentu lebih 'pinter dan maju' dibandingin foto orang boncengen vespa sama anaknya yang artis itu!

Prihatin cuy, PRIHATIN!!!


Caleg Bahenol Abad Ini