Wednesday, April 22, 2009

Kembali Secuplik Essay Politik



Demokrasi = Pertumbuhan Ekonomi Tinggi ?

Studi Kasus Indonesia




Paska runtuhnya tembok Berlin dan pecahnya Uni Soviet dengan rezim Otaritariannya, studi Demokratisasi merebak di dunia. Bersamaan dengan itu pula, tesis dari Seymour Martin Lipset ( 1959 ) merebak. Tesis Lipset ini berintikan bahwa demokrasi berjalan asalkan sudah terjadi pembangunan ekonomi di dalam sebuah negara. Artinya, indikator ini mengasumsikan bahwa apabila di sebuah negara memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka tingkat demokrasi yang tinggi akan dapat dicapai.[1]

Toh pada akhirnya indikator ini tidak bisa disebut menjadi sebuah indikator yang umum, dan gagal menjelaskan beberapa gejala yang terjadi di sejumlah negara. Misalnya di negara Singapura, semasa Lee Kuan Yew mendominasi pemerintahan dengan PAP-nya. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan tingkat demokrasi yang tinggi pula. Contoh yang sebaliknya berlaku di India, sebuah negara miskin yang mampu menghasilkan nilai-nilai demokrasi tinggi di dalam pemerintahannya. Walaupun gagal untuk menghasilkan sebuah indikasi yang umum, namun indikator inilah yang kemudian seringkali dikaitkan dengan sebuah pertanyaan retoris : Mana yang lebih dahulu dilakukan, pertumbuhan ekonomi atau kestabilan politik?

Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri? Saya berasumsi bahwa hasil yang berbeda bisa terjadi di sebuah negara yang sama, namun dalam periode dan rezim yang berbeda, dan tergantung dari beberapa faktor ( terutama eksternal ) yang berpengaruh. Misalnya pada era Demokrasi Terpimpin Soekarno dan Demokrasi Pancasila Soeharto. Keduanya sama-sama memiliki tingkat demokrasi yang rendah. Hanya saja, pada era Demokrasi Terpimpin tidak ditemui dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang berarti. Sebaliknya untuk Demokrasi Pancasila, ditandai dengan tingkat ekonomi yang tinggi dan bahkan mencapai swasembada pangan. Artinya, indikator tersebut hanya berlaku untuk masa Demokrasi Terpimpin, tetapi tidak di masa Demokrasi Pancasila. Saya akan sedikit membahas mengenai pertumbuhan ekonomi di masa Demokrasi Pancasila, karena salah satu tujuan essay ini adalah untuk membuat perbandingan dengan periode sekarang, dan mencari jalan untuk dapat memajukan sistem ekonomi Indonesia dengan studi kasus Indonesia pada perkembangan ekonomi secara makro.

Kendati menjalankan pemerintahan otoriter, presiden Soeharto mampu membawa Indonesia mencapai puncak pertumbuhan ekonominya pada pertengahan tahun 1980-an. Pertumbuhan ekonomi tersebut mampu dicapai melalui program utama pemerintah saat itu, yaitu Pembangunan Lima Tahun ( PELITA ) yang dimulai pada tahun 1969. Konsep PELITA ini sebenarnya merupakan praktek dari teori yang dikemukakan oleh ekonom bernama W.W Rostow. Teori Rostow sendiri kerapkali dikenal dengan Lima Tahap Pembangunan, yaitu dimulai dari bentuk masyarakat tradisional, dan melakukan pembangunan secara intensif hingga mencapai tingkat konsumsi massal yang tinggi.[2] Salah satu poin yang penting di dalam teori milik Rostow adalah perlunya untuk memasukkan pengaruh eksternal yang kuat, dan terutama dalam bentuk investasi. Hal inilah yang kemudian dapat kita lihat di dalam PELITA, di saat menguatnya gelombang investasi asing ke Indonesia. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak serta merta diikuti dengan pemerataan pembangunan, yang bermuara kepada tingkat demokrasi di Indonesia saat itu. Keberhasilan pembangunan ekonomi ini ternyata hanya menjadi agenda pemerintahan pusat saja. Terjadi sentralisasi dalam distribusi pendapatan negara, hingga menimbulkan ketidakpuasan dari daerah. Namun di bawah pola kepemimpinan Soeharto, keluhan-keluhan yang berasal dari daerah tersebut dapat dibungkam.

Lalu bagaimana dengan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, apabila dihubungkan dengan tingkat demokrasi yang meningkat? Indonesia saat ini sedang berada di dalam tahap transisi demokrasi. Terjadi upaya untuk mengubah arah demokrasi yang sebelumnya berupa demokrasi prosedural, menjadi demokrasi substansial. Tingkat demokrasi yang perlahan-lahan mulai naik inilah yang ingin saya jadikan tolok ukur untuk melihat kemungkinan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Paska reformasi, Indonesia telah resmi menutup hubungan kerjasama dengan IMF. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang dicapai saat ini adalah pertumbuhan ekonomi yang berusaha untuk meminimalisir pengaruh dari luar. Kalaupun pada saat ini pertumbuhan ekonomi tersebut agak tersendat, itu diperkirakan lebih terjadi karena perkembangan ekonomi dunia secara global itu sendiri. Pembangunan dengan fokus internal inilah yang kemudian membuat faktor kuatnya demokrasi menjadi cukup menonjol.

Peningkatan demokrasi di Indonesia dewasa ini, diharapkan akan menumbuhkembangkan partisipasi dari kelompok kepentingan maupun kelompok kepentingan, hingga akhirnya dapat dicapai sebuah keputusan yang dapat memeratakan pembangunan ekonomi. Misalnya dengan pemberian akses yang luas pada sektor pendidikan, maupun membuka jalan bagi efisiensi pengeluaran negara.

Secara teori dan filosofis, demokratisasi juga akan mendorong pengertian akan hak dan kewajiban dari masing-masing masyarakat, sehingga mereka mampu mendorong diri mereka sendiri untuk berperan aktif dalam menggalang perekonomian demi kebaikan mereka bersama. Contohnya adalah yang terjadi di beberapa negara di Amerika Latin, misalnya penjalanan kembali pabrik yang sudah mati atas inisiatif sendiri dari buruh di Argentina, hingga swasembada pengadaan pangan dari masyarakat sendiri di masing-masing distrik Venezuela.

Untuk menanggulangi masalah pembangunan yang tidak tersentralisasi, pembenahan koordinasi dengan pemerintah provinsi dan daerah sangat perlu untuk dibenahi, terutama berkaitan dengan otonomi daerah. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana menguatnya isu pendirian Provinsi Tapanuli mengakibatkan sebuah tragedi yang bahkan merenggut nyawa. Sempat terlontar dari Amien Rais, sebuah ide untuk membuat Indonesia menjadi negara federal. Hal inipun juga sebenarnya sulit untuk dilaksanakan di Indonesia, karena persebaran sumber daya alam yang tidak merata, sehiingga ketimpangan pembangunan di antara daerah justru akan makin terjadi. Jalan satu-satunya adalah dengan membuka partisipasi yang lebar kepada daerah, tanpa melemahkan posisi pemerintah daerah, dan mampu menjaga pengertian demokrasi itu sendiri. Mengapa saya sebut menjaga pengertian demokrasi? Karena saya melihat bahwa kasus yang terjadi di Tapanuli itu merupakan penyalahartian dari makna demokrasi, dan penyalahgunaan cara menyalurkan aspirasi. Mereka telah melangkahi prosedur yang diperlukan dalam pembentukan sebuah Provinsi, yaitu prosedur yang seharusnya melewati persetujuan dari Depdagri, DPR, dan DPD. Sebenarnya, pengadaan prosedur ini adalah sesuatu yang tepat, karena hal tersebut diperlukan untuk menimbang kelayakan sebuah daerah untuk dapat berdiri sebagai sebuah provinsi, dan juga menjadi filter agar tidak begitu mudahnya sebuah kelompok mendirikan provinsi untuk kepentingan beberapa elit. Pengajuan izin dengan prosedur untk mendirikan provinsi adalah sebuah langkah yang menggambarkan demokrasi, hanya saja pengetahuan dari masyarakat yang masih kurang. Penanggulannya adalah dengan membuat aspek demokrasi makin berjalan, pembenahan birokrasi daerah, dan melakukan sosialisasi besar-besaran.

Oleh karena itu, dengan kembali berkaca kepada pertanyaan retoris yang sudah saya ungkapkan di awal : Mana yang lebih dahulu, pembangunan ekonomi atau kestabilan politik? Saya memandang bahwa hal yang disebut belakangan merupakan prioritas utama yang perlu dilakukan saat ini. Pembangunan ekonomi memang bisa dijadikan landasan untuk membuat politik yang stabil maupun demokratis, namun akan menjadi percuma apabila suatu saat nanti negara itu akan goyah karena sistem pemerintah yang tidak satabil. Tidak stabil di sini maksudnya adalah menyisakan ruang-ruang untuk kepentingan elit, dan pada akhirnya menimbulkan pergerakan dari bawah sehingga menyebabkan jatuhnya negara tersebut, seiring dengan menurunnya kekuatan secara ekonomi.

Pendahuluan pada sektor pemerintahan yang stabil akan memiliki kemungkinan yang lebih besar umtuk menumbuhkan perkembangan ekonomi. Setidaknya, peningkatan demokrasi di masa ini turut pula menjaga kestabilan ekonomi di Indonesia sehingga tidak mengalami kemerosotan yang luar biasa. Hal itu dibuktikan misalnya dengan pengadaan Bantuan Langsung Tunai, dan penjagaan terhadap subsidi harga minyak bumi dan bensin. Oleh karena itu, hingga saat ini, arah pemerintahan Indonesia yang sedang mengalami transisi kearah demokrasi substansial sudah mulai membawa pertumbuhan ekonomi dan membawa pembenaran kepada tesis yang menyebutkan bahwa demokrasi merupakan prasayarat pembangunan ekonomi. Asalkan Indonesia terus menapak ada langkah demokratisasi yang konsisten, kita akan dapat berharap pada naiknya pertumbuhan ekonomi untuk jangka waktu mendatang.



[1] Drs. Joelies dalam kuliah Masalah Pembangunan Politik. Depok, 12 Februari 2009

[2] Arief Budiman. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000 ), hal. 25

No comments:

Post a Comment