Monday, August 10, 2009

Membangun Kapitalisme di atas Rasisme

*Ditulis dalam rangka presentasi untuk kelompok diskusi sosial bernama Astina, yang saya rintis bersama beberapa teman.


A. Rasisme dalam Sejarah dan Batasan


“Let’s Kick Racism Out Of Football!”

Begitu kira-kira jargon yang beberapa tahun belakangan marak dalam dunia persepakbolaan internasional. Anda tidak hanya akan menemukannya di dalam spanduk pembukaan pertandingan sepakbola bergengsi saja, melainkan juga pada pembukaan game komputer sepakbola sekalipun. Tidak hanya itu, para pemain sepakbola terkemuka juga kerapkali menggunakan gelang tangan dengan warna hitam dan putih saling bertautan, simbolisasi atas penentangan aksi rasisme di dunia sepakbola.
Hal itu serempak seakan menjadi tren, karena banyak sekali insiden berbau rasisme di tengah megahnya kompetisi sepak bola skala dunia. Target para kaum rasis tersebut tentulah para pemain berkulit hitam. Mulai dari sekedar cemooh menirukan suara monyet, hingga melempar kulit pisang kepada pemain yang bersangkutan. Tragis? Mungkin iya.
Contoh di atas hanyalah sebuah kulit muka dari kasus rasime yang telah menjadi sejarah panjang dalam sekelumit kehidupan manusia. Tetapi tentu anda tidak akan bisa menyebut kasus di atas sebagai suatu hal yang ‘tragis’ apabila membandingkan dengan penyiksaan dan pembantaian Hitler atas orang-orang Yahudi di tengah berkobarnya perang dunia kedua.
Lantas apakah itu rasisme? Apakah sebuah bentuk hegemoni dari manusia berkulit putih terhadap kulit hitam? Atau bisa jadi merupakan lambang supremasi sebuah etnis terhadap etnis lainnya tanpa memedulikan warna kulit?
Terus terang, sedikit sumber buku yang sepaham dalam menentukan basis penggolongan tindakan rasisme. Namun dari kesemuanya, buku dari George M. Frederickson berjudul Racism : A Short History menjadi satu dari sekian karya tulis lain yang mengungkit mengenai bersyukurnya umat Kristen di masa awal, atas penemuan orang Afrika. Mereka justru bergembira karena menganggap hal tersebut sebagai kebesaran Tuhan yang termaktubkan di dalam Alkitab, dan kemudian ditindaklanjuti dengan munculnya paham ‘kesetaraaan bagi SEMUA umat manusia’ di tengah umat Kristen. Euforia inilah yang ditangkap oleh seorang antropolog bernama Frank Snowden, sehingga muncul pendapat awal bahwa rasisme tidak didasarkan atas perbedaan warna kulit.
Namun begitu, rasisme awal atas umat Yahudi justru juga berasal dari kaum Kristen. Kaum Yahudi ditengarai menolak Yesus Kristus sebagai Sang Mesias, dengan menerima Kitab Perjanjian Baru yang dianggap lebih terlegitimasi dan mempunyai substansi penting dibandingkan Kitab Perjanjian Lama. Hal itu dinilai sebagai sebuah pengingkaran atas penyaliban dan wafatnya Yesus sebagai tumbal atas dosa seluruh manusia. Atas hal itulah, maka umat Yahudi dianggap sebagai kriminal, termasuk sampai kepada keturunannya sekalipun. Segera pada masa itu, kaum Yahudi seakan menjadi tumbal atas segala hal buruk yang dialami oleh umat Kristen. Oleh karena itulah maka umat Yahudi harus menerima ‘dosa’ dari para leluhur mereka, bahkan hingga saat ini.
Segera setelah itu, pada akhir abad pertengahan, terjadi penaklukan besar-besaran pasukan Umat Kristen atas benua-benua yang sebelumnya tidak pernah mereka singgahi. Di sinilah mulai terjadi pergeseran nilai – nilai ‘kesamaan bagi SEMUA umat manusia’ tersebut. Hal ini yang disebut oleh seorang sejarawan bernama Robert Bartlett sebagai penjelas atas dominasi umat Kristen (yang semuanya saat tu masih ‘berkulit putih’) terhadap penduduk asli dari daerah yang mereka taklukkan, termasuk Asia dan Afrika.
Hingga di titik inilah maka rasisme bukan merupakan sesuatu yang hanya dibebankan kepada umat Kristiani saja, melainkan menjadi sesuatu yang meluas kepada konotasi “supremasi kulit putih terhadap kulit hitam”. Penggolongan atas ciri fisik ini yang kemudian menjadi lebih menonjol dalam pemahaman rasisme secara umum. Belum pula apabila ditambahkan cerita bahwa orang Inggris tidak menganggap suku Aborigin sebagai manusia, pada masa awal kedatangan mereka ke Australia. Kecenderungan ‘warna kulit’ ini selanjutnya dipahami sebagai sesuatu yang lebih spesifik dari sebuah gagasan luas yang mendasari perbedaan atas sebuah ‘ras’. Hal inilah yang kemudian menyebabkan rasisme digolongkan sebagai sebuah Etnosentrisme dalam bentuk yang lebih jauh didorong ke depan, dan bahkan cenderung mencapai titik ekstrim.

B. Kapitalisme Berkaki Rasisme
Percayakah Anda bahwa kapitalisme yang sekarang berkembang menggurita, berdiri di atas ‘satu fondasi kuat’ yang bernama rasisme? Percayakah Anda bahwa rasisme merupakan elemen penting di balik perkembangan kapitalisme di masa-masa awal? Tentu saja, benang merah yang menghubungkan kedua konsep tersebut akan sangat mudah kita tangkap sebagai ‘eksploitasi’.
Penaklukan masyarakat kulit putih Eropa ke berbagai benua seperti Amerika, Asia, Afrika dan Australia pada akhirnya menempatkan masyarakat lokal (indegeneous people) sebagai warga kelas dua dan berujung kepada pendayagunaan mereka hanya sebagai alat produksi belaka.
Akan banyak sekali contoh kasus yang bisa kita ambil. Misalnya orang kulit hitam yang dijadikan budak dan buruh tani di Amerika pada abad 18. Buruh tani kulit hitam tersebut bekerja di perkebunan kapas untuk tuan tanah (tuan tanah di sini tentu berkulit putih), dan selepas dari bekerja di perkebunan kapas, mereka juga diharuskan bekerja untuk industri pemintalan benang. Semuanya dilakukan oleh kaum kulit hitam untuk kepentingan industrialisasi kulit putih. Mereka diperjualbelikan dan dianggap sebagai binatang apabila membangkang. Hal inilah yang kemudian timbul sebagai pemicu Perang Sipil di Amerika Serikat pada masa kepemimpinan presiden Abraham Lincoln.
Para korban bukan hanya berasal dari kaum kulit hitam. Tidak usahlah kita melihat terlalu jauh lagi keluar, sementara masyarakat Indonesiapun sebagai si kulit kuning seakan sudah kenyang dengan tindakan serupa pada masa kolonialisme. Barangkali kita sudah terlalu sering membaca bagaimana para leluhur kita harus bekerja siang-malam penuh derita di perkebunan kolonial. Setidaknya perkebunan milik bangsawan yang telah bekerja sama dengan pemerintahan kolonial. Sebuah cerita klasik yang seakan sudah menjadi doktrin bagi kita bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa terjajah yang hanya menjadi budak untuk mengisi pundi-pundi kekayaan pihak asing. Entah pemerintah kolonial, maupun kongsi dagang luar sekalipun. Akhirnya di Indonesia sendiri terjadi kondisi yang setali tiga uang dengan kejadian yang terjadi di berbagai belahan negara-negara terjajah lainnya.
Pemanfaatan masyarakat kelas dua inilah yang dianggap sebagai sesuatu yang sangat menguntungkan. Toh tenaga kerja yang mereka daya gunakan dari masyarakat non-kulit putih sangatlah murah. Cukup dengan memberi makan seadanya, industri bisa terus berjalan dan mereka tetap dapat memenuhi permintaan produksi. Sesederhana itulah mekanisme kapitalisme bekerja di atas sebuah tindakan rasisme besar-besaran.
Padahal apabila ditarik ke belakang dalam deskripsi dasar dari kapitalisme, maka kita akan mendapatkan serangkaian kalimat yang mungkin terdengar indah seperti : adanya kesamaan hak bagi setiap individu untuk mengejar dan memperoleh keuntungan dan kepemilikan pribadi. Namun, justru pada pemahaman dasar inilah saya melihat bahwa telah terjadi pencederaan yang fatal dari nilai-nilai dasar tersebut. Bagaimana mungkin kesetaraan kesempatan akan diperoleh oleh mereka yang dianggap sebagai ‘bukan manusia’? Bagaimana mungkin si kuning yang notabene jauh lebih inferior daripada si putih, memiliki kesempatan untuk memperoleh kepemilikan pribadi?
Pola pikir diskriminatif itulah yang telah membuat paham kapitalisme dasar tersebut seakan telah diselewengkan menjadi jauh melampaui akarnya. Pada posisi inilah saya meletakkan argumen saya bahwa periode awal perkembangan kapitalisme telah berubah menjadi sebuah konsepsi yang munafik dengan mengingkari paham ‘kesetaraan bagi setiap individu’, yang justru menjadi inti gagasan mereka sendiri.
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa arogansi para pemilik modal dan industrialis seakan telah mengubur isu rasisme jauh ke dalam wacana yang tidak pernah akan muncul melampaui hitung-hitung keuntungan yang mereka peroleh dari hasil industri mereka. Pengabaian atas rasisme melestarikan tumbuh kembangnya nilai kapitalisme, sehingga memiliki pondasi yang cukup kuat untuk terus berada pada posisi yang kokoh. Bahkan hingga saat ini.
Pada masa modern ini, para pekerja non-kulit putih kerapkali masih mendapatkan perlakuan yang tidak setimpal dengan pekerja kulit putih. Lagi-lagi saya akan mengambil contoh yang terjadi di Amerika Serikat, atas dasar pertimbangan bahwa di negara itulah kapitalisme berkembang seakan menjadi hal yang fundamental dan secara nyata tumbuh dengan pesat. Secara umum, ada tiga hal yang dapat didiagnosa sebagai rasisme demi kepentingan kapitalisme di dalam sebuah industri. Ketiga hal tersebut adalah :
1. Pekerja kulit hitam dibayar lebih rendah dibandingkan dengan pekerja kulit putih untuk sebuah pekerjaan yang identik.
2. Kemampuan kerja masyarakat kulit hitam seringkali tidak dipergunakan sesuai dengan potensinya. Misalnya, mereka hanya akan dipekerjakan untuk sebuah posisi rendah atau mereka hanya akan memeroleh pekerjaan dengan gaji yang rendah.
3. Pekerja kulit hitam harus membayar sewa yang lebih tinggi untuk sebuah rumah yang berkualitas di bawah, atau minimal setara, dengan rumah yang dihuni oleh masyarakat kulit putih.


Lebih jauh, penulis seperti John Gabriel mengajukan contoh seperti yang terjadi di rumah makan cepat saji McDonald di Amerika Serikat dan Inggris. Wacana awal yang dilemparkan oleh McDonald adalah tidak adanya eksploitasi dan kesempatan yang setara bagi semua pekerjanya, termasuk untuk kalangan minoritas sekalipun. Gabriel melakukan penelitian dengan mengadakan wawancara kepada dua karyawan McDonald berkulit hitam dan memiliki jabatan manajerial di restoran cabang McDonald. Keduanya mengakui bahwa di dalam pengelolaan staffnya, McDonald menerapkan apa yang disebut mereka sebagai ‘serahkan kepada diri sendiri’. Artinya, McDonald memberi keterbukaan kepada semua pegawainya untuk bekerja sesuai dengan potensi mereka sendiri, dan bagi setiap mereka yang menonjol akan mendapatkan posisinya masing-masing. McDonald sendiri dianggap sebagai restoran cepat saji pertama yang menerapkan prinsip kerja seperti ini.
Namun apabila ditarik lebih jauh lagi, kesempatan kerja ‘luas’ yang diajukan oleh McDonald sendiri pun sebenarnya masih tetap memiliki kecenderungan kepada kesempatan yang ‘sempit’ terhadap para pekerja minoritas. Dua pegawai kulit hitam yang menduduki jabatan manajerial tersebut hanyalah mereka yang sangat beruntung di antara mayoritas besar manajer kulit putih. Kesempatan yang ditawarkan berujung seolah semu. Bukan regulasi dari McDonald yang membuat hal tersebut terjadi, melainkan dampak dari sistem sosial yang ternyata masih rasislah yang membuat kesempatan itu lagi-lagi sulit untuk digapai. Daya saing yang dimiliki oleh pekerja kulit hitam tersebut tidak seimbang, karena pada kenyataannya pola hidup mereka masih di bawah pekerja kulit putih. Banyak yang melandasi faktor ini, misalnya penghasilan orang tua mereka yang tidak seberapa, tinggal di lungkungan yang relatif lebih kumuh dibandingkan pekerja kulit putih, dan yang lainnya.
Pada akhirnya, rasisme secara sosial tersebut tetap menutup kemungkinan mereka untuk mengejar apa yang disebut sebagai ‘kepemilikan pribadi’. Mereka akan tetap bekerja untuk kepentingan individu yang lebih superior lagi.


Kesimpulan

Telah jelas bahwa rasisme merupakan salah satu elemen penting dalam berkembangnya kapitalisme. Bukan hanya kapitalisme yang secara langsung melakukan eksploitasi kepada apa yang disebut sebagai ‘masyarakat kelas dua’, tetapi juga menurunnya daya saing dari masyarakat kelas dua tersebut akibat rasisme sosial secara keseluruhan, yang seakan telah menjadi lingkaran setan.
Hal ini juga menimbulkan sebuah penyelewengan dan intepretasi mengenai ‘kebebasan individu untuk mengejar kepemilikan pribadi’ dengan menambahkan syarat dan kondisi tertentu. Artinya bukan kebebasan murni yang dianut oleh kaum kapitalis, melainkan cenderung direalisasikan sebagai sebuah kebebasan bersyarat. Syarat yang berlaku di sini sangat variatif. Secara luas, syarat ini dapat dilihat atas kedudukan dalam lingkungan sosial. Memang, masyarakat minor masa modern ini telah dianggap untuk layak untuk ikut serta dalam kebebasan tersebut. Namun sejauh Mana mereka akan bisa mengejarnya, di tengah kondisi yang serba terbatas?
Pada akhirnya mereka hanya akan tetap bekerja sebagai alat produksi industri saja. Sejauh mereka berusaha memeroleh kebebasan murni tersebut, sejauh itu pula kapitalisme akan terus berkembang.



Daftar Pustaka

Dennis, Benjamin dan Anita K. Dennis. Slaves to Racism : An Unbroken Chain from America to Liberia. (New York : Algora Publishing. 2008 )

Frederickson, George M.. Racism : A Short History. (New Jersey : Princeton University Press. 2002).

Gabriel, John. Racism, Culture, Markets. (London : Routledge University. 1994 )

Reisman, George. Capitalism : The Cure for Racism. www.capitalism.netexcerpts1-931089-07-8.pdf (diakses pada tanggal 26 Juli 2009, pukul 23.12)

No comments:

Post a Comment