Friday, January 23, 2009

They Were Wonderkid

Ngedenger istilah 'Wonderkid', tentunya akrab di telinga para penyuka game Football Manager. Ya, wonderkid yang dimaksud adalah pemain sepak bola belia yang diramalkan mempunyai potensi luar biasa. Wonderkid (yang kadang-kadang disebut pula sebagai Golden Boy, atau apalah namanya itu ), kerapkali diekspos secara besar-besaran, dan menjadi rebutan klub sepakbola papan atas Eropa.
Mungkin, wonderkid yang kali ini lagi beken-bekennya itu misalnya Lionel Messi, Ezequel Lavezzi, Marek Hamsik, dsb. Mereka menyusul nama macem Igor Akinfeev, Andreas D'alessandro, Ronaldinho, Pablo Aimar, dan yang lainnya beberapa tahun silam. Namun, ada kalanya wonderkid ternyata tidak mengalami perkembangan yang mengesankan. Hal tersebut kerapkali terjadi karena over-exposed yang dilakukan oleh media sehingga membuat mereka tertekan atas 'gelar wonderkid' yang mereka sandang tersebut. Atau alasan kedua, skill mereka emang dasarnya cuma gitu-gitu aja, dan ga bisa berkembang lebih jauh lagi.
Siapa aja Wonderkid yang 'gagal' tersebut? Berikut adalah Wonderkid di era akhir 1990-an sampai pertengahan 2000 yang menurut gw gagal berkembang (beberapa di antara mereka bahkan sempat gw idolakan semasa gw masih SD) :

1. Vincent Pericard

Pericard adalah striker asal Prancis keturunan Kamerun yang sempat membela Juventus pada tahun 2000. Striker kelahiran 1982 ini digadang-gadang memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan Thierry Henry. Pericard sendiri sempat merasakan penampilan internasional bersama Prancis U-21, masa-masa ia ditasbihkan sebagai wonderkid dan membuat Juve kepincut. Nyatanya, Pericard gagal berkembang di Juve. Jangankan disamakan memiliki bakat seperti Henry, mendekati kemampuan Henry-pun tidak bisa dilakukan oleh Pericard. Tahun 2002, Juve meminjamkannya ke Portsmouth untuk memberi kesempatan bermain baginya.
Bermain untuk Portsmouth, Pericard berhasil mengantarkan timnya tersebut promosi ke Premiership. Oleh Portsmouth, iapun dikontrak secara permanen. Sekilas, terlihat bahwa wonderkid ini bisa bangkit dari keterpurukan dan membuat sebuah pembuktian. Sayangnya ia mengalami cedera panjang, dan harus absen selama 2 musim. Iapun dijual ke Stoke City, dan kembali mengawali kariernya dari bawah. Sebuah kelanjutan karier yang tidak menyenangkan untuk pemain yang diramalkan akan menjadi pemain besar yang menjadi rebutan tim elit Eropa.


2. Fabian Carini



Hector Fabian Carini, kelahiran 26 Desember 1979 adalah salah satu kiper besar Uruguay. Masa mudanya dihabiskan dengan melanglang buana membela dua tim serie A ( Juventus dan Inter ). Awal kariernya dimulai ketika ia membela Danubio, klub Uruguay. Bakat besarnya tercium oleh Juventus. Pada tahun 2000, ia resmi dikontrak oleh Juventus. Bakatnya disamakan seperti kiper-kiper muda seangkatannya, yaitu Gianluigi Buffon dan Sebastian Frey. Namun kepindahannya ke Juventus rupanya merupakan langkah yang kurang tepat baginya. Di sana ia hanya menjadi pelapis bagi Edwin Van Der Sar, kiper utama Juve saat itu. Di saat ia hanya menjadi pelapis dan jarang bermain, Buffon dan Frey sama-sama menjadi andalan di timnya masing-masing, sehingga kemampuan mereka berdua berkembang pesat. Sangat bertolak belakang dengan nasib yang dialami Carini. Kedatangan Buffon ke Juve pada akhir musim 2001, kontan membuat Carini tersingkir dari Skuad Juve. Nyaris dipinjamkan ke Arsenal, namun Carini memilih Standard Liege (Belgia), agar kesempatan menjadi pemain utama lebih besar.
Dua tahun dijalani Carini di Standard Liege. Per
mainannya pulih, kembali pada saat ia digadang-gadang sebagai kiper potensial. Reflek dan antisipasinya tidak berkurang sedikitpun. Tahun 2004 ia kembali ke Juventus, dengan harapan dapat bersaing dengan Buffon setelah melihat rapornya yang bagus di Belgia. Namun Juve punya rencana lain. Carini dijadikan alat barter untuk membeli Cannavaro dari Intermilan. Nasibnya malah lebih buruk lagi disana, ia hanya diplot sebagai kiper ketiga. Sempat dipinjamkan ke Cagliari, ia kembali ke Inter pada musim 2005/2006. Perbaikan nasib? Tidak! Lebih parah, ia menjadi kiper keempat di Inter ( di bawah Francesco Toldo, Julio Cesar, dan Paolo Orlandoni ). Akhirnya, ia dijual ke Real Murcia ( Spanyol ), hingga musim ini. Kendati demikian, ia tetap menjadi kiper utama Uruguay.

3. Ivan Kaviedes


Ivan Kaviedes adalah striker Ekuador pertama yang bermain untuk klub Eropa. Striker kelahiran 1977 ini mengawali kariernya di Eropa dengan bermain di klub Perugia (Italia) pada tahun 1998. Sayang, awal petualangannya di Italia gagal. Walaupun begitu, ia tetap dianggap sebagai striker dengan bakat besar dari Ekuador. Permainannya dianggap representasi dari sepakbola latin. Visi tinggi dan sentuhan yang indah, untuk pemain muda seusianya. Namun, bakatnya agak terlambat tercium klub Eropa. Setelah gagal di Perugia, ia mendapat kesempatan di Celta Vigo (Spanyol) pada tahun 1999. Jarang mendapat kesempatan, ia dikontrak Valladolid pada tahun 2001. Di sinilah ia membuat gebrakan besar. Sebuah gol saltonya saat melawan Barcelona di musim 2001-2002, dinobatkan sebagai gol terindah liga Spanyol untuk musim tersebut. Penantian Kaviedes sejak muda untuk bermain di klub elit akhirnya tercapai. Berkat gol indahnya yang menyadarkan dunia atas bakat besarnya, Barcelona mengontraknya pada tahun 2002. Namun di Barcelona, ia kalah bersaing dengan striker yang sudah terlebih dahulu memiliki nama besar. Sebut saja Patrick Kluivert, hingga Rivaldo. Hanya singgah sebentar di Barcelona, ia dipinjamkan ke Celta Vigo, Real Sociedad, hingga Crystal Palace (Inggris). Akhirnya, perkembangannya mandek sama sekali. Skillnya tidak bertambah lebih baik. Tahun 2006 ia kembali dari masa pinjaman ke Barcelona. Lagi-lagi hanya singgah, iapun dijual ke Meksiko hingga sekarang.

4. Massimo Maccarone



Massimo Maccarone adalah striker yang tumbuh dari akademi pemain muda milik A.C Milan. Pemain kelahiran tahun 1979 ini merupakan pemain yang menjadi langganan Timnas U-21 Italia. Dari 15 kali tampil di timnas U-21, ia mencetak 11 gol. Sebuah pencapaian yang luar biasa dan langsung mengantarnya melakoni debut untuk timnas senior. Permainannya di timnas junior membuat Milan sayang untuk melepasnya. Oleh Milan, ia disayang dan dijadikan untuk proyeksi ke depan. Karena kalah bersaing oleh Shevchenko, Milan memilih untuk meminjamkannya agar ia memperoleh pengalaman. Kebetulan, klub-klub Eropa mengantri untuk mendapatkan striker muda ini. Berturut-turut ia dipinjamkan ke Modena, Varese, Prato, Empoli, dan Middlesborough. Saat ia bermain di Middlesborough (2002), dia dianggap sebagai bakat muda yang sudah matang. Pada tahun ini pula ia mengawali debut untuk timnas seniornya. Terlihat, jalan sudah terbentang bagi Maccarone. Baik di timnas, maupun di A.C Milan. Namun, Milan ternyata membuangnya begitu saja. Lini depan mereka sudah diisi oleh Shevchenko dan Inzaghi. Oleh karena itu ia dijual permanen ke Middlesborough. Pada masa inilah kariernya mengalami kemerosotan yang drastis. Permainannya tidak stabil. Middlesborough gerah dan meminjamkannya ke Parma dan Siena. Namun, permainannya tidak kunjung membaik, hingga ia diikat permanen oleh Siena. Pada akhirnya, pemain yang diunggulkan sejak muda ini hanya membela timnas seniornya sebanyak dua kali. Di Siena pun ia tidak selalu menjadi pilihan utama. Sungguh akhir karier yang sangat bertolak belakang dengan saat ia memulainya.

5. Raul Bravo


Raul Bravo, kelahiran 1981 merupakan bek kiri asli didikan Real Madrid. Ia mengawali jenjang pendidikan di Real Madrid C, pada tahun 1996 (saat itu usianya baru 15 tahun). Posisi di timnas Spanyol U-16 pun dikecapnya pada saat itu. Berturut-turut, Bravo selalu masuk ke dalam timnas dangn jenjang usianya masing-masing. Selepas dari Spanyol U-16, ia dipanggil membela Spanyol U-17, Spanyol U-18, Spanyol U-21, dan timnas Spanyol senior. Melihat kinerja di timnas sejak masih muda, maka pantaslah bahwa Bravo diproyeksikan menjadi bek kiri utama dengan bakat besar, untuk Spanyol dan Madrid dalam jangka panjang. Debutnya di timnas Seniorpun dilakoni dalam usia yang cukup muda, 20 tahun.
Kariernya di Madrid cukup cepat. Semenjak mengecap pelajaran di Madrid C tahun 1996, tahun 2001 ia sudah melakukan debut untuk tim Madrid Senior.
Sayang, masalah klasik kembali terjadi. Ia tidak mampu bersaing dengan Roberto Carlos yang sudah menjadi 'menu tetap' di posisi bek kiri Madrid. Posisinya sempat digeser menjadi bek tengah. Namun di sanapun ia kalah bersaing dengan Ivan Helguera dan Fernando Hierro. Walaupun di Madrid ia kerap kalah bersaing, namun karena ketiadaan sosok bek kiri berkualitas di Spanyol, ia tetap mendapat tempat di timnas. Hal ini juga dipengaruhi oleh track record dan bakatnya yang sudah melekat sejak ia masih menapaki timnas U-16.
Namun, Madrid rupanya tidak sabar terhadap Bravo yang belum bisa menandingi Carlos. Tahun 2003, ia dipinjamkan ke Leeds United ( Inggris ). Masa pinjaman tidak berlangsung dengan sukses. Bravo gagal beradaptasi dengan liga Inggris. Lagi-lagi, tidak memengaruhi posisinya di timnas Spanyol. Bravo tetap dibawa untuk mengikuti Euro 2004, kendati sebagai pemain cadangan.
Sesudah Euro, Bravo makin sulit untuk menembus skuad inti Madrid. Spanyol menyerah, namanyapun mulai dilupakan. Spanyol mulai melirik back kiri yang tidak kalah berkualitas, yaitu Asier Del Horno, dan belakangan Mariano Pernia. Bravo kehilangan tempat dimana-mana. Atas keinginan Bravo, Madrid melegonya ke Fenerbahce pada tahun 2007.
Nama besarnya yang disandang sejak mudapun seakan lenyap di klub Turki tersebut.


Nb : Posting ini belum selesai. Masih dalam tahap pengumpulan data dan pengingatan memori gw zaman dahulu. Terima kasih

No comments:

Post a Comment