Thursday, January 8, 2009

Industri Musik Indonesia, Maju atau Mundur? Sebuah Pandangan Pribadi...

Well, belakangan industri musik Indonesia dibombardir dengan banyaknya nama-nama baru, baik band, vokal group, maupun penyanyi solo.
Sorot utama tentu ada pada sektor grup band. Periode awal 2007 hingga akhir 2008 ditandai dengan menjamurnya band-band baru yang bahkan menutupi pamor band-band senior yang sedang meredup. Di antara band-band yang baru muncul itu terdapat nama semacam Andra and the Backbone, ST12, Wali, Alexa, hingga Angkasa. Dan tentu saja kita tidak bisa melupakan kemunculan band fenomenal yang menuai pro dan kontra sepanjang tahun 2007...Kangen Band.

Perhatian utama masyarakat kepada Kangen Band ini adalah latar belakang mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Tentu saja, pendidikan musik yang mereka tempuh juga non-formal dan belajar dengan menggunakan alat seadanya. Masing-masing personil memiliki latar belakang yang berbeda-beda, dimulai dari Andika sang vokalis yang mempunyai pekerjaan sebagai tukang cendol keliling, hingga gitaris mereka (gw lupa namanya, dan lagi males googling) yang merupakan montir di sebuah bengkel.
Nyatanya, perhatian utama ini pada umumnya tidak diikuti oleh pengakuan yang tulus terhadap kemampuan mereka bermain musik dan kualitas lagu yang mereka hasilkan. Di chart lagu sendiri, mereka juga tidak pernah mendapat posisi yang sangat memuaskan, kendati popularitas mereka tidak surut di saat bersamaan.

Gw sendiri termasuk orang yang kurang lebih agak antipati dengan kemunculan band ini, namun dalam konteks kualitas industri musik Indonesia. Jujur, gw salut dengan daya usaha mereka dalam mencapai posisi yang mereka raih saat ini. Mereka benar2 hardworker sejati dan kumpulan orang ulet. Ya..lagu celaan untuk mereka juga pernah beredar dari komputer ke komputer, dari hape ke hape, tapi mereka tetep cuek dan berkarya.
Emang..dimana-mana yang namanya usaha pasti ada harganya. Tapi harga yang mereka peroleh sungguh terlalu tinggi. Maksudnya, puja-puji yang diberikan masyarakat terhadap mereka teryata benar-benar menutupi semua aspek kualitas yang diperlukan dalam dunia musik.
Kalo soal nasib dan usaha, Padi-pun pernah juga ngalamin kondisi kaya gitu. Gw pernah baca majalah Hai (thn 2003-an kalo ga salah). Zaman Padi masih bolak-balik nawarin lagu mereka, mereka tuh naik kereta kemana2, tidur di lantai dan kadang suka ketendang orang lewat. Kalau mereka kelaparan, apa yang mereka makan? Nasi basi yang udah kering!
Jadi kalo mau diadu dari nasib dan usaha... Padi juga harusnya layak dapet pujian di luar kualitas musikalitas mereka.
Poin gw di sini adalah, Indonesia itu terlalu mendramatisir. Sori, kaya yang gw bilang tadi...gw salut sama usaha mereka. Tapi itu bukan berarti menutupi kelemahan mereka di bidang teknik. Bukan berati kualitas musik mereka ga diprioritasin justru di industri ini
Sampe kapan industri musik di sini ga bisa lepas dari hal-hal yang berbau dramatisir kaya gitu? Dan dampaknya, industri musik sinipun masih terus berusaha 'menjual' apa yang bisa 'dijual' lagi di luar musik itu sendiri. Bahkan terkadang 'jualan' sampingan itu malah lebih laku daripada musiknya.

Kita sendiri ga bisa memungkiri bahwa apa yang terjadi di sini adalah feedback dari mayoritas masyarakat Indonesia. Dan, gw sendiripun ga bisa nyalahin major label yang terkesan begitu pol-polan ngeorbitin band-band seperti itu. Hal itu pasti juga udah melalui penelitian yang dilakuin sama major label tersebut, terhadap tingkat dan apresiasi masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap musik.
Soal budaya lagi-lagi. Lagu dengan nuansa melayu yang kental dengan cengkok yang khas, kemudian dipadu dengan sentuhan pop di sana-sini juga bisa menjadi barang dagangan yang punya nilai tinggi di sini. Soal suka atau ga suka itu selera, masalahnya...band-band yang kemudian mengorbit teryata bertipe itu-itu aja. Sebut saja Wali, ST12, Angkasa, dan Radja yang sudah menjadi pendahulu. Akhirnya, major label mau nggak mau harus kembali tunduk pada selera pasar. Dan kalau gw boleh sok tau dikit, selera pasar sini adalah tipe yang gw bilang tadi di atas (basic melayu dipoles dengan aroma pop - mungkin dengan sedikit gitar distorsi- ), dan nggak terlalu mentingin teknik yang bagus dalam bermain. Bahkan, gw sendiri pernah dapet info dari kakak gw yang menjadi seorang pengajar piano dan cukup dekat dengan orang-orang dalam bagian recording major label X (samaran aja kali yaa, biar etis..hehe). Ada beberapa band cukup terkenal, yang setiap rekaman pasti bukan band mereka itu sendiri yang main lagunya. Artinya, band itu ngasih kopian partitur, dan direkam sama orang-orang jago yang udah disedian di label itu sendiri. Dan..Eng-Ing-Eng, jadilah sebuah album baru yang siap mencetak platinum atas nama band itu. Dan gimana kalau live performance? Ya tinggal Lip Sync, susah banget??!! Buat gw, hmmmmm itu SAMPAH BANGET.
Kalo band kaya gitu bisa ngorbit, lalu apa kabarnya band-band idealis yang notabene dibekali dengan teknik dan skill mumpuni yang kadangkala ga kalah dari musisi tenar luar negeri? Bukan sombong, tapi gw ada beberapa temen dan guru yang punya skill luar biasa, tapi ga pernah dapet kesempatan untuk berkiprah di major. Alesannya : terlalu idealis.
Akhirnya gw sampe pada satu kesimpulan...idealis di sini ga bisa hidup. Oke, mungkin gw berlebihan. Tapi yang jelas, jadi idealis di sini ga bakal bisa makmur. Hal ini ga cuma berlaku buat musik, tapi hampir menyentuh ke semua aspek seni dan budaya Indonesia. Buat para musisi idealis, mereka masih bisa main di jalur indie. Tapi apalah fungsi distribusi dan sosialisasi yang dimiliki indie label, dibanding modal dari major label?
Pikiran kaya gitulah yang membuat gw menilai bahwa secara kualitas indsutri musik indonesia menurun, walaupun tidak secara kuantitas. Dibanding era 80-an dan 90-an, masa ini kayanya terlalu didominasi oleh variabel 'selera pasar' tersebut, dan belum bisa munculin orang-orang idealis ke atas.

Harapan gw, kalo ga selera pasarnya meluas yaa..indie lable lebih punya kemampuan untuk mengakomadasi mereka-mereka yang idealis, yang bernaung di bawah mereka.

No comments:

Post a Comment