Wednesday, May 27, 2009

Saya versus Hidayat Nur Wahid

Posisi MPR sebagai Majelis Ketiga dalam Sistem Trikameral :

Tinjauan Menurut Bentuk dan Fungsi



Rabu 6 Mei 2009, kunjungan mahasiswa Ilmu Politik dari FISIP UI ke MPR disambut baik oleh pemberi kuliah umum, yaitu Hidayat Nur Wahid sang ketua MPR itu sendiri. Dalam sebuah perdebatan di dalam kuliah umum tersebut, sempat terlontar statement dari Hidayat Nur Wahid bahwa Indonesia menganut sistem parlemen Trikameral atau tiga kamar.[1]

Cukup menarik apabila kita menyimak pernyataan tersebut dan membandingkan dengan situasi yang terjadi di lapangan. Sempat muncul keinginan untuk menanyakan argumen dari pernyataan ini kepada Hidayat sendiri. Namun apa boleh buat, kesempatan untuk bertanya sudah habis dikarenakan keterbatasan waktu, dan saya harus rela pulang dengan rasa penasaran. Yang membuat saya penasaran adalah peryataan yang meluncur dari sang ketua MPR itu sendiri, ternyata berbeda dengan asumsi dan pendapat saya mengenai struktur di dalam MPR, serta konsep Trikameral yang diusungnya.

Berikut adalah pandangan dan pendapat saya mengenai sistem yang dianut oleh parlemen Indonesia, yang –dengan segala hormat- sedikit berbeda dengan pandangan dari Hidayat Nur Wahid.


Unikameral, Bikameral, Trikameral : Definisi

Saya akan memulai analisa saya dengan terlebih dahulu memaparkan tiga bentuk parlemen yang lazim digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia. Secara garis besar, ada tiga bentuk sistem parlemen yang ada. Ketiganya adalah Unikameral, Bikameral, dan yang berkembang belakangan yaitu Trikameral.

Unikameral adalah sistem parlemen dengan satu majelis (kamar). Artinya di dalam parlemen atau badan legislatif tidak ada sub kamar lain yang mampu membatasi kewenangan dari satu-satunya kamar tersebut.

Bikameral merupakan sistem parlemen yang menempatkan satu kamar tambahan, yang diharapkan mampu mengimbangi dan membatasi kekuasaan dari kamar lain.[2] Apabila hendak digeneralisasi, semua negera federal menerapkan sistem ini. Hal ini diharapkan agar terdapat perwakilan dari distrik-distrik untuk duduk di satu kamar dan mampu mengwasi kinerja anggota kamar lain dari pemerintah pusat. Sistem bikameral sendiri selalu tidak lepas dari anggapan bahwa wewenang satu kamar biasanya akan dibuat selalu sedikit lebih kecil dibandingkan kamar lainnya, sehingga kemudian menimbulkan pertanyaan akan penting dan efisiennya kamar kedua.[3]

Perlemahan di salah satu kamar inilah yang kemudian disebut sebagai sistem Soft-Bicameral atau, Semi Bikameral, atau meminjam istilah Eep Saefulloh Fatah sebagai ‘Sistem Satu Setengah kamar’. Di sisi lain, ada juga negara yang melakukan perimbangan kepada dua kamar dalam satu parlemen tersebut, dan kemudian sistem ini disebut sebagai sistem Bikameral yang kuat atau Strong-Bicameral. Sistem Bikameral bukan hanya melihat dari adanya dua kamar di dalam satu parlemen, akan tetapi juga dilihat dari proses pembuatan undang-undang dengan mekanisme double check.[4] Adapun sistem ini juga menunjukkan kecedenderungan sistem yang westminster, dan diterapkan di negara-negara seperti Inggris dan Amerika.

Bentuk yang ketiga adalah Trikameral. Menurut Professor.Dr.Jimly Asshiddique, SH. konsep Trikameral diperkenalkan oleh UUD 1945 melalui hasil empat kali amandemen yang menempatkan MPR sebagai kamar ketiga.[5] Kamar ketiga di dalam parlemen ini memiliki fungsi dan wewenang yang berbeda pula dari dua kamar lainnya.


DPD sebagai Kamar Kedua di Dalam Lembaga Legislatif Indonesia

DPD RI lahir sebagai bentuk usaha atas pembentukan lembaga legislatif yang lebh efisien dan seimbang, dengan pemberian fungsi pengwasan terhadap DPR RI. DPD terbentuk setelah adanya amandemen ketiga UUD 1945 yang dilakukan MPR pada bulan Agustus tahun 2001.[6]

Fungsi dan wewenang DPD sendiri tercantum di dalam 6 pasal ( Pasal 2 Ayat 1, Pasal 22 C, Pasal 22 D, Pasal 22 E ayat 2-4, Pasal 23 E Ayat 2, dan Pasal 23 F Ayat 1 ). Secara singkat, berdasarkan keenam pasal tersebut, fungsi DPD dapat dibagi menjadi 4 fungsi umum, yaitu Fungsi Perundang-Undangan, Fungsi Pertimbangan, Fungsi Pengawasan, dan Fungsi Anggaran.[7]

Walaupun secara tersurat DPD memiliki fungsi dan kewenangan seperti yang telah disebutkan di atas, namun pada kenyataannya fungsi itu datang bersamaan dengan berbagai pembatasan wewenang, yang juga bersifat konstitusional. Dalam fungsi legislasi misalnya, DPD tidak berhak untuk memutuskan sebuah undang-undang, melainkan hanya mampu memberikan masukan, pertimbangan, usul maupun saran.[8]


Pernyataan Hidayat Nur Wahid Vs. Fungsi Lembaga

Saya sampai pada bagian akhir, yaitu membenturkan analisa saya dengan pernyataan dari Hidayat Nur Wahid yang sudah dikutip di awal bacaan. Pada akhirnya pertanyaan saya terjawab mengenai argumentasi yang melandasi pernyataan tersebut. Di dalam hand out yang dibuatnya dalam rangka kuliah umum tersebut, saya mendapati bahwa beliau menekankan mengenai kepemilikan fungsi yang terdapat pada MPR. Walaupun mengalami sedikit reduksi kewenangan, namun MPR paska 4 amandemen tersebut masih memiliki legitimasi untuk dapat disebut sebagai sebuah lembaga yang terpisah dari DPR dan DPD. Menurut apa yang dituliskan beliau dalam hand out tersebut, adalah pendapat yang tidak berdasar dan tidak memiliki argumen yang kuat apabila MPR dinyatakan sebagai sebuah ‘forum’ dan ‘tidak dapat dilembagakan’.[9]

Dengan demikian terlihat bahwa argumen beliau yang sesungguhnya adalah menggolongkan MPR sebagai sebuah lembaga yang otonom dalam sistem Trikameral berdasarkan kepemilikan fungsi dan kewenangan. Artinya, poin utama beliau melihat sistem Trikameral adalah pembentukan dan legitimasi atas kelembagaan MPR itu sendiri. Karena MPR mempunyai fungsi, maka ia dapat dilembagakan dan terpisah dari DPR dan DPD.

Namun jika kita melihat dari perspektif bentuk kelembagaan berdasarkan kepemilikan fungsi maka akan timbul pertanyaan lain yang menurut saya bisa diajukan : Mengapa lembaga legislatif Indonesia sebelum amandemen tidak dapat disebut sebagai Bikameral, padahal DPR (yang menjadi bagian dari MPR) dan MPR (gabungan DPR dan utusan golongan) sama-sama memiliki kewenangan masing-masing?

Dalam menjawab pertanyaan ini sekaligus menanggapi pernyataan Hidayat Nur Wahid, maka sebuah pendapat dapat dibentuk.

Untuk melihat sebuah lembaga pemerintahan secara keselurhan, ada dua hal yang harus diperhatikan. Yang pertama adalah bentuk, dan yang kedua adalah fungsi. Dalam perspektif bentuk kelembagaan, pernyataan Hidayat bisa dikatakan tepat sasaran. Andaikata hanya perspektif bentuk yang dilihat dalam menggolongkan sebuah sistem parlemen menjadi sebuah lembaga otonom dalam sistem Trikameral, maka saya sendiripun akan setuju dengan pernyataan beliau. Hal itu terjadi karena memang secara bentuk dan struktur, ada tiga lembaga sendiri di dalam sistem legislatif Indonesia.

Namun, dengan menambahkan perspektif fungsi maka pernyataan tersebut dapat terbantahkan dan sekaligus menjawab pertanyaan yang sudah saya ajukan sebelumnya. Hidayat memang menyebutkan fungsi sebagai kata kunci dalam penggolongan kelembagaan MPR. Akan tetapi fungsi yang disebutkan beliau hanya sebatas memiliki fungsi, bukan seberapa jauh fungsi tersebut berjalan dan bagaimana perimbangan fungsi tersebut mampu memengaruhi kinerja dan prosedur penetapan kebijakan di dalam lembaga legislatif. Perimbangan wewenang itu secara garis besar dapat dibagi manjadi tiga, untuk dilihat dari perlembaga. Dari antara ketiga lembaga legislatif tersebut, DPR memiliki wewenang yang paling luas dan kuat, diantaranya yaitu pengajuan undang-undang maupun penetapan undang-undang. Wewenang legislatif terkuat berikutnya dimiliki oleh DPD, kendati hanya terbatas sebagai pemberi pertimbangan, masukan, usul tanpa bisa menetapkan undang-undang. Dengan demikian, wewenang legislatif DPD setingkat di bawah DPR. Yang terakhir adalah MPR dengan tugas legislatif berupa pengesahan Undang-Undang Dasar (yang notabane pengesahan UUD hanya berlangsung di saat amandemen atau pada kasus ekstrim seperti pembentukan Undang-Undang Dasar Baru).

Pada praktek kesehariannya pun, MPR memiliki porsi paling kecil di dalam menjalankan fungsi legislasinya. Fungsi MPR di bidang ini akan besar hanya apabila terjadi amandemen UUD atau penggantian UUD. Selebihnya, dalam rangka perumusan kebijakan dan undang-undang, DPR lebih berpengaruh, dan disusul dengan DPD di bawahnya.

Hal inilah yang kemudian mendasari saya untuk lebih menekankan kepada fungsi kelembagaan dan bukan kepada bentuk. Walaupun memang secara bentuk dan struktur, lembaga tersebut dapat dilihat sebagai tiga lembaga terpisah, namun tidak ada fungsi yang spesifik dan pembagian fungsi yang signifikan sehingga saya melihat bentuk Trikameral tersebut hanya bersifat prosedural saja.

Selain peninjauan fungsi yang tidak dapat menggolongkan MPR sebagai majelis atau kamar ketiga di dalam parlemen, permasalahn mengenai keanggotaan dapat menjadi pembahasan yang komprehensif di dalam analisa posisi MPR sebagai kamar tersebut. Dalam hal ini, kita bisa berkaca dari sistem parlemen Trikameral yang dianut di Republik Cina Taiwan yang dirumuskan di Konstitusi Republik Cina tahun 1946.[10] Di dalam ketiga lembaga legislatif tersebut, terdapat pemisahan anggota. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di MPR, dimana MPR sendiri hanya merupakan penggabungan dari anggota DPR dan DPD. Hal inilah yang kemudian juga membuat posisi MPR sebagai kamar sendiri kerap dipertanyakan, karena keanggotaan yang ternyata bukan merupakan anggota yang lepas dan mempunyai nilai sendiri di luar anggota DPR dan DPD.

Atas dasar itulah saya cenderung tidak sependapat dengan Hidayat Nur Wahid. Kalau kita melihat hubungan kelembagaan tersebut secara keseluruhan (baik bentuk dan fungsi, maupun struktur keanggotaan) maka saya cenderung melihat sistem Soft-Bicameral yang terjadi di dalam realita keseharian lembaga tersebut. Poin utamanya adalah tujuan dibentuknya kamar-kamar tersebut. Kamar tersebut dibentuk untuk satu tujuan utama, yaitu melakukan keseimbangan wewenang dan menjalankan fungsi check and balances di dalam lembaga legislatif. Disini dapat disimpulkan bahwa hanya DPD yang terlihat diusahakan untuk melakukan peran pengimbangan tersebut. Peran yang diemban MPR tidak berhubungan langsung dengan proses legislasi yang dilakukan DPR, sehingga MPR tidak memiliki kecenderungan untuk bisa membatasi kewenangan DPR. Kewenangan dan fungsi kontrol yang dimiliki DPD pun secara konstitusional tidak bisa membatasi secara langsung fungsi dari DPR, sehingga check and balances sendiri juga tidak dapat dilakukan dengan optimal.

Signifikansi dari penggolongan ke dalam bentuk Soft-Bicameral ini akan semakin terasa apabila kita membandingkan dengan negara lain yang cenderung menerapkan Strong-Bicameral misalnya Argentina, Inggris, atau di sistem pemerintahan Presidensial seperti Amerika Serikat. Di dalam pemerintahan parlementer Inggris, kedua kamar sama-sama memiliki auntuk mengajukan mosi tidak percaya dan mampu menjatuhkan kabinet. Sedangkan di sistem Presidensial Amerika Serikat, Senat dan Kongres sama-sama memiliki kewenangan untuk mengecek dan merevisi semua rancangan kebijakan yang akan diajukan kepada presiden.[11]



[1] Hidayat Nur Wahid dalam kuliah umum “Peran MPR pasca perubahan UUD NRI tahun 1945”. Jakarta 6 Mei 2009

[2] Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2005 ). Hal.180

[3] Ibid, hal 180-181

[4] Saidi Isra. Bikameral yang Efektif.dalam Zainal Arifin Mochtar dan Saidi Isra. Jalan Berliku Amandemen Komprehensif. ( Jakarta : DPD MPR RI. 2009 ), hlm. 36

[5] Jimly Asshiddique. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Denpasar : Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII. 2003. hlm.18

[6] Hidayat Nur Wahid. Untuk Apa DPD RI. (Jakarta : DPD MPR RI. 2006 ), hlm. 25

[7] Ibid. hlm 24

[8] Asshiddique. Op.Cit. hlm 19

[9] Hidayat Nur Wahid. Peran MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945. (Jakarta: MPR RI. 2009) hlm. 4.

[10] Jimly Asshiddique. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalan Sejarah. (Jakarta : UI Press. 1996) hlm. 42

[11] Muhammad Fajrul Falaakh. Menata Sistem Presidensial. dalam Zainal Arifin Mochtar dan Saidi Isra. Jalan Berliku Amandemen Komprehensif. ( Jakarta : DPD MPR RI. 2009 ), hlm.127

No comments:

Post a Comment